KISAH SEDIH MALAM MINGGU
Menjadi
jomblo di kota besar adalah aib. Menjadi jomblo ketika nyantri adalah suci.
Dulu ketika nyantri “La taqrabu zina”
menjadi tameng yang kuat untuk tidak berpacaran. Tapi sekarang, teman-temanku di
kota besar menyergah “Kami tidak berzina, kami cuma pacaran”. Aku mau jawab
apa?! Aku meradang!
Teman-temanku
punya banyak alasan untuk membuatku bungkam. Diantaranya: pacaran menjadikan
mereka bersemangat dalam belajar, pacaran membuat mereka punya tempat untuk
curhat, tempat makan, dan cuma mereka yang jomblo yang skeptis terhadap orang
yang berpacaran. Demokrasi benar-benar membuat teman-temanku pintar bicara,
dalam konteks dipacari-memacari. Aku bingung!
Manusia
memang diciptakan berpasang-pasangan; laki-laki dengan perempuan, ibu dengan
ayah, paman dengan bibi, jantan dengan betina begitu seterusnya sampai kiamat. Tapi pertanyaannya “Bagaimana dengan mereka
yang belum memiliki pasangan?” Apakah belum waktunya? Jangan tanya aku! Aku cuma
tukang ketik di malam minggu, yang mengetik dengan penuh kekesalan.
Kadang
aku juga ingin punya pacar yang bisa kusuruh mencuci bajuku, membayariku makan,
mengerjakan tugas kuliahku, dan mendengarkan curhatku. Lantas apakah ini yang
disebut pacaran? Bukankah pacaran itu menjadikan kita semangat belajar=membuat
tugas kuliah, menjadi tempat curhat=mendengarkan curhatku tanpa interupsi,
tempat makan=bayari makan, dan seterusnya. Mungkin ini yang menjadikan setiap
laki-laki menjadi jomblo. Mereka belum mengetahui landasan disahkannya pacaran;
apa uu-nya, apa dalilnya, apa tujuannya. I
never know!
Atau
mungkin kami para jomblo termasuk laki-laki yang kritis yang tidak mau mengeluarkan
uang orangtua, kuliah yang belum selesai, tidak punya bahan cerita, dan
benar-benar tidak suka makan yang tidak mengenyangkan. Adakah satu orang saja yang bisa meyakinkanku kenapa kita harus pacaran? Jika tidak,
mengapa kau lakukan? Ikut-ikutan?[]
Komentar
Posting Komentar