6 TIPS CERDAS MEMILIH MEDIA DAN WASPADAI HOAKS
sumber: www.google.go.id |
Ada 6 tips cerdas
dalam memilih media dan mewaspadai hoaks. Yaitu: 1) Media terdaftar dan
memiliki standarisasi sesuai dengan Surat Edaran Dewan Pers; 2) Media memiliki
Badan Hukum; 3) Media terdaftar di Dewan Pers; 4) Konten pemberitaan tidak
berisi hasutan dan fitnah; 5) Konten pemberitaan memiliki sumber yang jelas;
dan 6) Isi berita bersifat mendidik dan mencerdaskan bangsa.
Pertama,
media harus terdaftar dan memiliki standarisasi sesuai dengan Surat Edaran
Dewan Pers. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir keberadaan media abal-abal.
Walaupun media abal-abal tersebut masih akan tetap ada, namun paling tidak
dengan terdaftarnya suatu media sesuai dengan standar Dewan Pers berhasil
membatasi ruang gerak media abal-abal. Hal
ini tidak bermaksud untuk melarang tumbuhnya media di era reformasi, namun hal
ini bertujuan agar kita hanya akan mengonsumsi media yang berkualitas, kredibel
dan tepercaya, serta anti-hoaks.
Di
Provinsi Sumatera Utara sendiri hal ini telah diatur dalam Surat Keputusan (SK)
Gubernur Sumatera Utara No. 188.44/146/KPTS/2019 tentang Penetapan 80 Media
Massa yang terdaftar pada Biro Humas dan Keprotokolan Sekretariat Daerah
Provinsi Sumatera Utara Tahun Anggaran 2019. Berdasarkan SK tersebut 80 media
ini terdiri dari: 22 surat kabar harian, 3 surat kabar mingguan, 12 lembaga
penyiaran elektronik seperti radio dan televisi, dan 43 media online.
Hanya
saja untuk media elektronik sendiri, seperti radio dan televisi yang legal di
Sumut berjumlah 131. Baik itu yang berjenis publik, swasta, komunitas dan
berlangganan. Baik itu lokal maupun berjaringan. Namun tentu tidak semua dari
media tersebut melaksanakan tugas-tugas jurnalistik. Ada juga di antara media
tersebut yang hanya melaksanakan fungsi informasi dan menghibur, serta edukasi
saja. Tanpa melaksanakan fungsi kontrol dan perekat sosial, mungkin hal ini
terjadi karena keterbatasan Sumber Daya Manusia Penyiaran-nya.
Kedua, media
memiliki Badan Hukum. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri komunikasi massa, yang
salah satunya ialah komunikator dalam komunikasi massa melembaga. Ciri inilah
yang membedakan antara media legal dan ilegal. Media ilegal tentu akan
cenderung memberitakan sesuatu yang belum tentu layak untuk dikonsumsi oleh publik.
Biasanya karya jurnalistik yang dihasilkan juga bersifat tendensius, dan tidak
mengindahkan pakem jurnalistik. Hal ini bisa terjadi lantaran tidak memiliki
struktur kerja yang jelas, dan cenderung memiliki motif yang tidak baik secara
ekonomi seperti keinginan untuk memeras korban, ataupun motif politik untuk
menjatuhkan sepasang calon partai politik tertentu yang sedang bertarung di
pemilu.
Musabab,
Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik[1]
telah berbunyi, “Wartawan Indonesia tidak
menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap”. Dengan penjelasan, bahwa
menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan
pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas, sebelum informasi tersebut
menjadi pengetahuan umum; dan suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang,
benda atau fasilitas dari pihak lain (ekstra media) yang memengaruhi
independensi. Tentu hal-hal negatif semacam ini akan memunculkan kekhawatiran di
tengah publik.
Ketiga, media terdaftar di Dewan
Pers. Hal ini diperlukan karena semakin menjamurnya berbagai jenis platform media di era pasca reformasi
kini. Tujuan lainnya dari harus terdaftarnya suatu media di Dewan Pers ialah
untuk membuktikan kepada publik, bahwa media tersebut termasuk ke dalam
golongan media yang profesional dalam melaksanakan tugas-tugas jurnalistiknya.
Selain itu, dikarenakan banyaknya media yang ‘tidak jelas’ statusnya. Sehingga,
masyarakat cukup meng-klik di www.dewanpers.or.id jika ingin mengetahui, “apakah
suatu media itu profesional atau tidak?”. Dan, jika tercatat di situs resmi
Dewan Pers, maka berarti status legal medianya jelas, karena telah memenuhi
persyaratan dan peraturan yang berlaku.
Keempat,
konten pemberitaan tidak berisi hasutan dan fitnah. Hal ini sesuai dengan Kode
Etik Jurnalistik Pasal 1 yang berbunyi, “Wartawan
Indonesia… tidak beriktikad buruk”. Dengan penjelasan, bahwa tidak ada niat
secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain; Pasal 3
yang berbunyi, “Wartawan Indonesia…,
serta menerapkan asas praduga tak bersalah”. Dengan penjelasan bahwa
wartawan Indonesia memegang teguh prinsip untuk tidak menghakimi seseorang; dan
Pasal 4 yang berbunyi, “Wartawan
Indonesia tidak membuat berita…, fitnah”. Dengan penjelasan, bahwa tidak
membuat berita berdasarkan tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja
dengan niat buruk; serta Pasal 8 yang berbunyi, “Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan
prasangka…”. Dengan penjelasan, bahwa prasangka adalah anggapan yang kurang
baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
Dalam
Undang-Undang Penyiaran sendiri, isi siaran juga dilarang bersifat fitnah dan
menghasut. Poin ini terdapat dalam Pasal 36 ayat (5) huruf a. Adapun dalam
turunan Undang-Undang Penyiaran seperti Pasal 22 ayat (2) P3 dan Pasal 40 SPS
huruf a disebutkan, bahwa lembaga penyiaran wajib menjunjung tinggi
prinsip-prinsip jurnalistik, yang dua di antaranya yaitu tidak menghasut dan
menyesatkan; serta Pasal 35 P3 disebutkan, pewawancara suatu program siaran
wajib mengikuti ketentuan yang salah satunya ialah tidak menghasut penonton
atau pendengar.
Penulis juga menambahkan, ciri-ciri pemberitaan berisi hasutan dan fitnah, seperti: 1)
Judul cenderung bombastis dan didramatisasi, sehingga mengakibatkan kecemasan,
kebencian, dan permusuhan; 2) Tidak jelas sumbernya. Umumnya pemberitaan yang
berisi hasutan kerap tidak memiliki sumber yang jelas, tidak jelas tautan media
pengirimnya, selalu mengutip pernyataan orang-orang terkenal, tidak berimbang,
menyudutkan dan mendiskreditkan pihak-pihak tertentu. Bahkan, menjual ayat-ayat
suci dengan maksud dan tujuan yang salah agar semakin dipercaya; dan 3) Info
yang dibagikan kerap memperlihatkan permusuhan serta menunjukkan fanatisme buta
terhadap suatu ideologi tertentu. Termasuk dengan cara membuat judul dan teras
berita yang tendensius, provokatif, menghakimi, serta cenderung menyembunyikan
fakta dan data yang sebenarnya. Penyebarannya pun dibuat seluas mungkin
sehingga berpotensi viral.
Oleh
karena itu, penulis mengajak kita semuanya untuk memeriksa suatu berita dengan
teliti, agar kita tidak turut menimbulkan kepanikan-kepanikan antar sesama
dengan cara menyebarkannya kembali di media sosial kita. Ayo,
#CerdasdiDuniaMaya. Bersama cerdas memilih media.
Kelima, Konten
pemberitaan memiliki sumber yang jelas. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 Kode Etik
Jurnalistik yang berbunyi, “Wartawan
Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas
jurnalistik”. Artinya, hanya menghasilkan berita yang faktual dan jelas
sumbernya. Dalam P3SPS sendiri, yang dimaksud dengan faktual ialah siaran yang
menyajikan fakta nonfiksi, dan lazimnya terdapat dalam program siaran
jurnalistik.
Selain
itu, produk KPI berupa code of ethics ini
juga mewajibkan agar lembaga penyiaran menggunakan narasumber yang berkompeten
dan dapat dipertanggungjawabkan. Terlebih lagi di tengah pandemi seperti
sekarang ini, program siaran jurnalistik
tentang bencana wajib menampilkan narasumber kompeten dan tepercaya dalam
menjelaskan peristiwa bencana secara ilmiah. Sesuai dengan bunyi Pasal 51
SPS. Serta melarang anak-anak di bawah umur ataupun korban pelecehan seksual,
untuk diwawancarai terkait dengan hal-hal yang dapat menimbulkan dampak traumatis
di kemudian hari.
Terakhir
Keenam, Isi berita bersifat mendidik
dan mencerdaskan bangsa. Sebagaimana kita ketahui, bahwa salah satu amanat
Undang-Undang Dasar kita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam
upaya mewujudkan itu salah satu saluran penyampaiannya dapat melalui media.
Oleh karena itu, pers nasional harus kembali kepada fungsi dasarnya, yaitu
sebagai media informasi dan mendidik serta kontrol sosial (Pasal 2 ayat 1
Undang-Undang Pers). Hal ini berbanding sama dengan Undang-Undang Penyiaran
yang juga menyatakan, bahwa “Penyiaran sebagai
kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan,
hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial (Pasal 4 ayat 1
Undang-Undang Penyiaran).
[1] Yang dimaksud dengan ‘Kode Etik Jurnalistik’ adalah kode etik (code of ethics) yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.
Komentar
Posting Komentar