NEW NORMAL DARI SEGI KOMUNIKASI
Apa
itu New Normal? Sepengetahuan saya
sebagai seorang yang awam, New Normal adalah
tatanan kehidupan baru di tengah pandemi Covid-19.
Hal ini dilakukan, karena sampai dengan saat ini, dunia belum menemukan vaksin dalam
menangani Virus Corona. Sehingga, apabila lockdown
dalam skala yang paling moderat seperti PSBB (Pembatasan Sosial Berskala
Besar) diteruskan, justru akan sangat menyulitkan perekonomian rakyat. Terutama
terhadap perekonomian masyarakat di kalangan akar rumput, seperti Usaha Mikro Kecil
Menengah dan pekerja sektor informal lainnya.
Sehingga
di satu sisi, penerapan New Normal tetap
memperhatikan aspek kesehatan warganya, sekaligus aspek kesejahteraan
masyarakatnya. Berbeda halnya dengan dulu, ketika diterapkannya PSBB yang lebih
mengedepankan kesehatan warga dengan #dirumahsaja. Jelas sangat memukul
perekonomian warga kurang mampu. Di beberapa daerah yang masih atau hendak
mengajukan PSBB kepada Kementerian Kesehatan pun, kini lebih memilih untuk
bersikap transisi (dari PSBB menuju New
Normal).
Sebagai
alumnus Magister Ilmu Komunikasi, saya memandang aspek pemberlakuan New Normal dari segi Komunikasi. Salah
satunya ialah dalam hal penerapan social
dan physical distancing, atau jaga jarak di beberapa tempat yang berpotensi
menimbulkan kerumunan. Dalam Ilmu Komunikasi, penerapan jaga jarak ini telah
dijelaskan dalam teori pengelompokkan ruang gerak pribadi (proksemik) oleh
Antropolog Edward T. Hall (dalam Samovar, dkk, 2010: 322).
Dia
menjelaskan, bahwa ruang gerak pribadi di Amerika Serikat dibagi ke dalam empat
kategori, yaitu: jarak intim, jarak pribadi, jarak sosial, dan jarak publik.
Jelas, apabila merujuk ke dalam penerapan physical
dan social distancing, maka jarak
yang dimaksud dalam teori ini ialah jarak sosial. Sebagaimana diketahui dalam
teori Non Verbal Expectancy Violations
Theory (NEVT) atau teori pelanggaran harapan, bahwa zona sosial berjarak
mulai dari 1,2 – 3,6 meter. Jelas sama dengan rentang jarak yang kini banyak
diterapkan antar sesama manusia ketika berinteraksi. Baik yang sudah saling
mengenal maupun dengan orang-orang baru.
Hanya
saja permasalahan dari penerapan jaga jarak ini ialah munculnya antipati kebanyakan
masyarakat kita terhadap sesama. Kebanyakan masyarakat kita menjadi saling
curiga, lantaran takut tertular Virus Corona. Baik melalui semburan air liur
ketika berbicara, atau pun ketika bersin. Ditambah lagi dengan dikenalnya
istilah ‘Orang Tanpa Gejala’ (OTG), semakin menambah level ketakutan masyarakat,
karena semakin buramnya kita terhadap siapa yang sebenarnya dianggap
‘berpotensi’ menjadi pembawa virus (virus
courier).
Seperti
tiba-tiba ada yang membutuhkan pertolongan, tapi kita enggan mendekati
pesakitan tersebut. Kebanyakan dari kita malah sibuk merekam dengan telepon
pintar kita, dan sebagian dari kita juga takut-takut jikalau pesakitan terkait
positif mengidap Virus Corona. Oleh karena itu, saya menyarankan kita semua untuk
segera menghubungi pihak-pihak terkait jika mendapati kasus-kasus tersebut.
Sehingga permasalahan pandemi seperti yang sekarang ini kita hadapi, tidak
sedikit pun menggerus rasa empati sosial kita. Musabab, bagaimana pun kita
adalah makhluk sosial (homo homini socius)
yang saling membutuhkan satu sama lain.
Menurut
saya, kepanikan ini banyak berkontribusi dalam merubah persepsi dan menumbuhkan
prasangka di antara kita. Dalam Ilmu Komunikasi sendiri, persepsi dipengaruhi
oleh salah satu elemen yaitu cara pandang (world
view). Cara pandang sendiri terdiri dari nilai-nilai yang ditanamkan oleh
salah satunya media. Media secara perlahan tapi pasti terus menanamkan
nilai-nilai tertentu yang membentuk sistem kepercayaan dan sikap atau perilaku
kita. Oleh karena itu, saya tidak bosan-bosannya mengingatkan media, terutama
media baru dan terlebih lagi media sosial untuk tidak menakut-nakuti atau
mendramatisir, agar tidak menimbulkan persepsi publik yang menyebabkan
kepanikan.
Selain
itu, mulailah berinteraksi, karena interaksi merupakan salah satu solusi dalam
mengurangi ketidakpastian, dengan masuknya informasi yang belum kita ketahui.
Ada satu contoh menarik terkait hal ini, yaitu ketika calon istri saya salat
berjamaah di salah satu musala. Di sana ia merasa dicurigai karena merupakan
pendatang. Oleh karena itu, dia pun berinisiatif proaktif untuk bertanya kepada
salah seorang ibu di sampingnya. Ia mengatakan, “Apakah kita saling menjaga
jarak atau rapat sebagaimana biasanya?”. Akhirnya si ibu pun menjawab, agar
mereka saling menjaga jarak di tengah pandemi seperti sekarang ini. Dengan
demikian, calon istri saya pun terbebas dari situasi yang tidak menyenangkan
dan menghasilkan tekanan secara kognitif.
Walhasil,
dalam hal pengkajian dan penerapan New
Normal di mana pun itu. Menurut kajian saya secara komunikasi, maka hal
yang paling dibutuhkan ialah kedisiplinan masyarakat kita dalam menjalankan
protokol kesehatan. Baik itu dalam menjalankan pola hidup bersih dan sehat,
senantiasa menggunakan masker ketika beraktivitas, serta senantiasa menjaga
jarak dan menjauhi kerumunan. Baik itu di daerah urban maupun rural. Baik itu
melalui mekanisme sanksi (punishment)
bagi para pelanggar dengan dikeluarkannya regulasi terkait. Sehingga, penerapan
New Normal baru nantinya tidak
menimbulkan konsekuensi negatif, seperti gelombang baru Covid-19 (second wave).
Semoga badai ini segera berlalu. Sekian.
Komentar
Posting Komentar