KENAPA ANAK-ANAK KITA MAKIN KEJAM?

https://www.kompasiana.com


Ya. Judul itu saya ambil dari salah satu tema Indonesia Lawyer Club tempo lalu. Tema diskusi itu menurut saya cukup menarik dan patut menjadi perhatian bersama, karena bagaimana pun anak adalah masa depan bangsa. Sangat memprihatinkan memang, sekarang ini perilaku anak-anak kita kadung memburuk. Mulai dari mem-bully (melakukan perundungan) terhadap sesama atau juniornya hingga astaghfirullah membunuh.

Dari fenomena yang terjadi, ada satu hal yang menarik perhatian penulis yaitu pembunuhan sadis bocah berusia 5 tahun oleh tetangganya yang masih berusia 15 tahun. Ia mengaku terinspirasi dari film pembunuhan/thriller. Terlepas dari judul film yang ia tonton, saya rasa perlu mengkaji ini dari aspek ilmu komunikasi.

Pertama, saya amat sangat meyakini bahwa setiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah, hingga lingkungan lah yang turut membentuk kebiasaan hingga karakter mereka, dan media massa seperti film juga punya andil untuk itu. Dalam sejarah proses perkembangan ilmu komunikasi massa disebutkan, bahwa film menempati urutan ke-5 sesudah media cetak dan sebelum media elektronik. Adapun film thriller semacam ini memang dapat dengan mudah diakses lewat media baru bernama YouTube.

Kedua, secara dampak tontonan yang disajikan cukup memberikan pengaruh dalam skala yang paling moderat. Artinya terdapat pola uses and gratification di sana. Maksudnya ialah selama anak tersebut mendapatkan kegunaan dan kepuasan dari tayangan yang ditontonnya itu, maka ia akan senantiasa menonton tayangan tersebut dalam mengisi hari-harinya. Ketika ia terus-terusan menonton melebihi 4 jam per hari, maka pesan-pesan yang disajikan tontonan tersebut akan tertanam (kultivasi) di benak si anak, yang notabene masih memiliki tingkat peniruan yang tinggi. Akhirnya akan terjadi ketergantungan (dependensi media), dan ini bakal sangat sulit untuk dilepaskan.

Ketiga, pelaku yang telah ditetapkan sebagai tersangka itu merupakan anak korban broken home. Artinya efektivitas komunikasi interpersonal antara orang tua dan anak tidak dapat terjadi secara maksimal. Saya pikir, keberadaan film yang ditontonnya itu menjadi pemicu terjadinya pembunuhan atas berbagai eskalasi permasalahan yang melingkupi diri dan keluarganya yang berantakan. 

Lantas, fenomena ini menjadi pembelajaran bagi kita semua, bahwa tak peduli apa status kita, anak-anak harus tetap kita damping ketika mengonsumsi media, baik itu media konvensional terlebih lagi media baru. Dalam tulisan terdahulu, saya juga pernah membahas bagaimana pentingnya pendampingan anak dalam bermedia, sehingga anak memiliki tempat untuk bertanya, dan sekaligus dapat mencegah mereka dari mengakses tontonan yang tidak layak untuk mereka konsumsi. Saya pikir, tidak ada alasan sibuk dalam membentuk kepribadian anak, sebab anak adalah anugerah yang telah dititipkan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Last but not least, sebagaimana bunyi salah satu jurnal yang saya baca, bahwa kekerasan di dalam media masih sulit dilenyapkan, karena kekerasan itu sendiri begitu mempesona. Selain itu, kekerasan masih menjadi komoditas yang ampuh dalam mendulang subscriber, like dan share. Oleh karena itu, tampaknya ‘pendampingan anak dalam bermedia’ merupakan salah satu hal wajib untuk dilakukan guna membendung persoalan ini. Begitu pula dengan para pembuat konten untuk lebih mengedepankan kemaslahatan dan hiburan yang sehat. Bukan malah konten yang menyebabkan dorongan untuk berbuat hal-hal yang terlarang (mafsadat) seperti salah satunya kekerasan. Serta perlu pula kiranya kita memberikan rekomendasi kepada pemerintahan terkait, untuk meningkatkan upaya mengedukasi masyarakat guna membangun literasi penggunaan media digital. Sekian.

Komentar

Postingan Populer