MENGGAGAS KESEIMBANGAN PERAN MEDIA DAN KPK

 

Sejak dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2003, upaya pemberantasan korupsi kian santer terdengar. Isu pemberantasan korupsi pun menjadi populer. Hal ini terjadi karena peran media massa dalam menentukan agenda kebijakan yang wajib diketahui oleh publik.

Dalam teori agenda-setting media misalnya disebutkan, bahwa media akan mendorong masyarakat menganggap suatu isu itu penting (key issue). Apalagi dengan isu korupsi yang memang telah digolongkan ke dalam jenis extraordinary crime (kejahatan luar biasa). Yang dalam praktiknya biasa melibatkan para oknum kerah putih dalam setiap tindak-tanduknya, dan kerap kali berujung pada usaha memperdagangkan perkara di pengadilan.

Jelas, isu semacam ini penting di mata media, dan akan dipandang penting pula oleh masyarakat yang mengetahui dan turut merasakan dampaknya. We judge as important what the media judge as important. Serta menjaga bara asa masyarakat Indonesia terhadap upaya pemberantasan korupsi.

Namun, apa yang disampaikan media massa tentunya tetap berpedoman pada kaidah/kode etik juralistik yang berlaku. Terlebih lagi, media wajib memiliki para wartawan yang professional, yang meliput dan memberitakan informasi harus senantiasa sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalistik.

Dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran misalnya menyebutkan, bahwa “Wartawan penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-udangan yang berlaku”.

Lebih rinci lagi, P3SPS sebagai turunan Undang-Undang Penyiaran dalam hal code of ethics menjabarkan, bahwa “Lembaga penyiaran wajib menjunjung tinggi prinsip-prinsip jurnalistik, antara lain: akurat (accurate), berimbang (balance), adil, tidak berpihak, tidak beriktikad buruk, tidak menghasut dan menyesatkan, tidak mencampuradukkan fakta dan opini pribadi, tidak menonjolkan unsur sadistis/unsur kekerasan, dan tidak mempertentangkan suku, agama, ras dan antargolongan, serta tidak membuat berita bohong, fitnah, dan/atau cabul,’

“menerapkan prinsip praduga tak bersalah dalam peliputan dan/atau menyiarkan program siaran jurnalistik dan tidak melakukan penghakiman; dan melakukan ralat atas informasi yang tidak akurat” (Pasal 22 ayat 2 P3 dan Pasal 40 huruf a, b dan c serta d SPS).

Artinya media lewat program siaran jurnalistiknya, hanya akan menyampaikan dan merepresentasikan apa yang benar-benar ada dan terjadi di tengah masyarakat. Seperti akurat yang berarti dipercaya benar sesuai dengan keadaan objektif ketika peristiwa terjadi (Pasal 1 KEJ). Serta faktual yang berarti menyajikan fakta nonfiksi (Pasal 9 P3 dan Pasal 11 SPS).

Pemberantasan korupsi dan media massa memang punya kaitan yang erat. Pemberantasan korupsi membutuhkan media sebagai ajang untuk menginformasikan (to inform) kepada publik, bahwa tidak ada lagi tempat bagi para koruptor di Indonesia.

Pemberantasan atau pencegahan korupsi juga membutuhkan media sebagai ajang edukasi/pendidikan/to educate kepada publik, bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa dan harus ditinggalkan sejak dini, serta dilaporkan apabila terjadi. Mulai dari lingkungan di sekitar kita, baik dalam proses pengurusan apapun. Sehingga, negara kita lebih mengedepankan kualitas SDM. Bukan malah mengedepankan mereka yang lewat jalur tol (suap-menyuap).

Hal di atas sangat berkesesuaian dengan teori Model Hierarki Media Shoemaker dan Reese. Terutama pada level rutinitas media dalam sub-bab sumber informasi/berita (suppliers of information). Dalam sub-bab tersebut dijelaskan, bahwa sumber berita seperti KPK mendapatkan pencitraan yang baik tentang lembaga/institusinya, dalam rangka memberantas korupsi di Indonesia, yang jelas-jelas menghambat pembangunan bangsanya sendiri.

Adapun bagi media, isu pemberantasan korupsi memiliki nilai-nilai berita (news value). Seperti menonjol dan penting serta menarik, mengandung konflik dan kontroversi, tidak biasa, serta aktual dan faktual, juga adanya unsur kedekatan (proximity) dengan berbagai sektor kehidupan yang dialami langsung oleh masyarakat Indonesia.

Selain itu, isu pemberantasan korupsi juga termasuk ke dalam komodifikasi isi dan khalayak/audience media. Komodifikasi menurut Vincent Mosco (1996: 140) adalah perubahan bentuk nilai guna lewat program siaran menjadi nilai tukar berupa keuntungan secara ekonomi (rating, share dan peningkatan pendapatan). Di mana media seperti penyiaran memproduksi konten siaran untuk mendapatkan banyak pemirsa, dan kemudian menyerahkannya kepada pengiklan. Walhasil, terciptalah hubungan simbiosis mutualisme antara sumber berita dengan media.

Sebagaimana kita ketahui, media terkhusus penyiaran sendiri memiliki fungsi kontrol/pengawasan (surveillance) dan perekat sosial, sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Penyiaran. Karena memang dalam peraturan penyiaran, isu pemberantasan korupsi menyangkut kepentingan publik yaitu penggunaan anggaran negara yang menyalah. Padahal, anggaran tersebut dibayarkan oleh rakyat melalui mekanisme pajak. Adapun teori komunikasi massa menyebut fungsi ini dengan istilah watch dog (anjing penjaga) dalam upaya mewujudkan transparansi bernegara.

Keyakinan tersebut juga didasarkan pada apa yang disebut oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam “Sembilan Elemen Jurnalisme”, yang salah satunya ialah kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Dalam konteks pemberantasan korupsi, media memang berkewajiban melakukan pemantauan sosial, agar tindak korupsi dapat dicegah jika belum terjadi, sebab media memiliki fungsi meramalkan berdasarkan rentetan kasus yang telah diliputnya. Atau dibongkar jika telah/sedang terjadi.

Terakhir, media memiliki kans/peluang yang sangat penting dalam upaya menggagas keseimbangan antara peran media dan KPK. Terutama dalam usaha mencegah perilaku koruptif di tengah masyarakat kita sejak dini. Baik itu lewat sajian siarannya yang informatif dan mengedukasi. Terlebih, dalam teori kultivasi, media juga memiliki kemampuan untuk menanamkan nilai-nilai tertentu secara jangka panjang. Yang berlangsung secara sedikit demi sedikit (slowly but steady), bertahap (step by step), tidak langsung, namun kumulatif dan signifikan.

Semoga ke depannya, media dapat terus memberikan peran terbaiknya, agar partisipasi dan kepedulian publik terhadap isu-isu anti-korupsi tak pernah padam. Begitu pula dengan KPK lewat komisioner dan undang-undangnya yang baru, agar tetap memelihara optimisme dan kepercayaan publik terhadap lembaga negara independen ini dalam perang melawan korupsi, kolusi dan nepotisme di negeri tercinta. Amin. Sekian.

Komentar

Postingan Populer