Belajar dari Teori Jarum Suntik, Teori Kepala Batu, dan Teori Virus N-Ach

dok. pribadi
Dekan FISIP UMSU, Dr. Arifin Saleh, S.Sos, MSP, dalam pemaparannya berjudul “Literasi Media: Belajar dari Teori Jarum Suntik, Teori Kepala Batu, dan Teori Virus N-Ach” menjelaskan, bahwa literasi media berasal dari Bahasa Inggris, yaitu Media Literacy, yang terdiri dari kata ‘media’ atau tempat pertukaran pesan, dan ‘literacy’ (sadar/melek/cakap) bermedia. Jadi, literasi media adalah kemampuan (kompetensi) khalayak terhadap media dan pesan media dalam konteks komunikasi massa. Literasi media juga disebut sebagai kemampuan untuk mengakses, memahami, meneliti, mengevaluasi, dan mempersepsi media di dalam bermacam wujudnya. Turow (2014: 21) mendefinisikan, literasi media sebagai kemampuan untuk menggunakan pola berpikir kritis pada media massa, sehingga bisa menjadi warga negara yang lebih sadar dan bertanggung jawab ketika dipengaruhi oleh media. Mengutip pernyataan Dr. Siti Kartinah, M.Si pada Studium General FISIP Universitas Negeri Palembang (11/12/17), Arifin juga menambahkan, bahwa literasi media dalam konteks kesadaran politik dan menyambut Pilkada 2018 memiliki beberapa dampak positif, seperti: 1) Paham pengaruh yang menuntun organisasi media; 2) Up to Date terhadap isu-isu politik yang berhubungan dengan media; 3) Sensitif terhadap bagaimana menggunakan konten media sebagai pembelajaran budaya; 4) Sensitif tentang dimensi etis dari aktivitas media; 5) Pengetahuan tentang efek media; dan 6) Mampu menikmati materi media dengan cara yang lebih terpelajar.

Arifin mengutip temuan Wally Bowen (1996) juga memetakan tujuan gerakan literasi media, sebagai berikut: “Memperkuat kemampuan masyarakat dalam mentransformasi hubungan pasif dengan media, menjadi hubungan yang lebih aktif, serta membangun sikap kritis atas sajian dan dampak media, hingga mampu mengambil jalan keluar yang bermanfaat bagi diri dan lingkungannya. Literasi media sangat diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam ranah politik, seperti yang saat ini sedang hangat. Literasi media di ranah politik tidak bisa dilepskan dari komunikasi politik. Komunikasi politik sendiri adalah bentuk komunikasi, berupa pemberian pesan/informasi yang terjadi dalam sistem politik yang berkaitan dengan kekuasan politik negara, aktivitas komunikasi para pelaku kegiatan politik, termasuk juga komunikasi pemerintahan. Literasi media juga sangat diperlukan untuk mengantisipasi dan melawan penyebaran hoaks (berita bohong). 

Berikut beberapa elemen literasi media: 1) Kesadaran akan pengaruh media terhadap individu dan sosial; 2) Pemahaman akan proses komunikasi massa; 3) Pengembangan strategi untuk menganalisis dan mendiskusikan pesan media; dan 4) Mengembangkan kesenangan, pemahaman, dan penghargaan terhadap isi media. Adapun perihal kecakapan literasi media menurut Potter (2004) bakal diraih setelah seseorang melakukan kegiatan literasi media, maka diharapkan ia akan memiliki setidaknya tujuh kecakapan, diantaranya: 1) Analysis; 2)  Evaluation; 3) Grouping; 4)  Induction; 5) Deduction; 6) Synthesis; dan 7) Abstracting

Lantas, untuk mengetahui bagaimana caranya agar cakap dalam literasi media, maka harus memahami pola Teori Jarum Suntik, Teori Kepala Batu, dan Teori Virus N-Ach. Berikut penjelasan masing-masingnya:
  • Teori Jarum Suntik (Hypodermic Needle Theory), yang disebut juga Teori Peluru atau Teori Sabuk Transmisi. Teori ini berpendapat, bahwa seluruh pesan yang disampaikan kepada masyarakat, terutama melalui media massa pasti memengaruhi pembacanya dan memberikan efek positif. Pembaca/Pendengar/Penonton dianggap tidak berdaya, dan secara pasif akan menerima informasi tersebut. Jika menurut media benar, pasti benar atau semacamnya. Salah satu contoh pengaplikasian teori ini adalah pada politik pencitraan yang kerap dilakukan oleh politisi.   

Secara ringkas, Teori Jarum Hipodermik ini sebagai konsep awal efek komunikasi massa, yang berkembang pada tahun 1930 – 1940-an, dan merupakan teori media massa pertama yang ada. Definisinya yaitu media massa dapat menimbulkan efek yang kuat, langsung, terarah, dan bersifat segera. Teori ini berasumsi, bahwa media massa secara langsung, cepat, dan mempunyai efek yang kuat atas mass audience (khalayak media massa). Juga media massa digambarkan lebih pintar dan lebih segalanya dari khalayak. Media massa diibaratkan layaknya jarum suntik raksasa yang menyuntikkan ide-ide/gagasan/propaganda atau informasi ke aliran darah khalayak. Model dari teori ini adalah aliran satu tahap (one step flow communication), yaitu dari media langsung kepada khalayaknya. Dimana orang-orang dalam teori ini, dianggap sebagai sekumpulan orang yang homogen dan pasif, sehingga apapun yang diberikan media dapat diterima begitu saja oleh mereka, dan bahkan bisa menjadi kebudayaan baru (pop culture) dalam kehidupan mereka.

Sejarah Teori Jarum Hipodermik sendiri lebih dikenal dengan sebutan Teori Peluru. Dimana teori ini merupakan konsep awal sebagai efek komunikasi massa, yang pada akhirnya dinamakan Hypodermic Needle Theory oleh para teoritikus komunikasi tahun 1970-an. Teori ini ditampilkan pada tahun 1950-an, setelah peristiwa penyiaran opera singkat stasiun Radio CBS di Amerika Serikat yang berjudul “The Invasion from Mars”. Wilbur Schramm (1950-an) mengatakan, bahwa seorang komunikator dapat menembakkan peluru komunikasi yang begitu ajaib kepada khalayak yang pasif dan tidak berdaya.
  • Kemunculan Teori Kepala Batu (Obstinate Audience Theory) menolak asumsi Teori Jarum Suntik. Teori Kepala Batu berpendapat, bahwa masyarakat tidak pasif dalam menerima informasi dan mampu melawan media. Masyarakat bahkan memiliki kemampuan untuk memilih, menyerap, atau menangkal semua informasi yang ditujukan kepada mereka. Komunikasi diyakini dalam teori ini sebagai sebuah transaksi (transaction). Dimana informasi yang diterima akan diseleksi terlebih dahulu oleh filter (penyaring) konseptual; mana yang perlu dan mana yang tidak. Kemunculan Teori Kepala Batu turut menggugurkan asumsi, bahwa khalayak tidak berdaya dan media sangat berkuasa. Kemunculan Teori Kepala Batu telah memunculkan asumsi baru, bahwa khalayak media sangat berdaya dan tidak pasif dalam setiap proses komunikasinya.

Walhasil, Teori Kepala Batu menolak Teori Jarum Suntik atau Teori Peluru, dengan alasan jika suatu informasi ditembakkan media, mengapa khalayak tidak berusaha untuk berlindung menghindari tembakan informasi tersebut? Masyarakat atau khalayak dalam teori ini dianggap memiliki hak untuk memilah informasi yang mereka perlukan, dan informasi yang mereka tidak perlukan. Masyarakat atau khalayak memiliki hak untuk memilih informasi mana yang mereka butuhkan, dan informasi mana yang mereka tidak butuhkan. Kemampuan untuk menyeleksi informasi tersebut, ada pada khalayak menurut perbedaan individu, persepsi, dan latar belakang sosial – budayanya.
  • Teori Need for Achievement (Virus N-Ach) dipelopori oleh David McClelland. Teori ini beranggapan, bahwa kebutuhan atau dorongan berprestasi (Need for Achievement/N-Ach), mendorong manusia untuk mau berproses, maju dan membentuk prestasi tertingginya. Dalam proses terbentuknya teori ini, McClelland mengumpulkan lebih dari 1300 cerita/dongeng dari pelbagai negara, dari era 1925 – 1950-an. Setelah dikaji dan diselidiki, hasilnya menunjukkan, bahwa cerita-cerita anak yang mengandung nilai N-Ach yang tinggi pada suatu negeri, selalu diikuti dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula di negeri itu dalam kurun waktu 25 tahun kemudian. Walhasil, dari kacamata McClelland kita bisa mencermati jawaban kenapa mental KKN, misalnya, sangat identik dengan budaya masyarakat kita di Indonesia, dari tingkat bawah sampai ke atas, dari orang biasa sampai pejabat negara.

Mental seperti ini tentu saja akar psikologisnya adalah sifat-sifat seperti cerdik, licik, dan suka menipu yang merujuk pada figur populer kancil dalam dongeng kita, yang telah berkembang selama lebih dari berpuluh-puluh tahun silam. Sangat naif dan ironis, sebagaimana yang menggejala secara umum sekian lama ini, bahwa yang lebih ditonjolkan adalah unsur-unsur mistik (horor), “sim-salabim” (instan/mistik), fantasi, kengerian (horor), dan semacamnya, yang tentu saja kontras (berlawanan) dengan tiga unsur yang diandaikan dalam N-Ach McClelland, yaitu: optimisme yang tinggi, keberanian untuk mengubah nasib, dan sikap tidak gampang menyerah.

Pada akhir sesi pemaparan, Arifin mengatakan, bahwa mahasiswa harus menghindari jarum suntik, menjadi kepala batu dan lebih selektif dengan tontonan mereka.   

Komentar

Postingan Populer