RAMADAN DI TENGAH PANDEMI
sumber: Kompasiana.com |
Sangat
tidak mudah memang, menjalankan ibadah puasa di tengah pandemi atau wabah virus
corona seperti sekarang ini. Bagaimana tidak? Sejumlah masjid sebagai tempat
pelaksanaan ibadah secara berjemaah ditutup, guna menerapkan social atau pun physical distancing antar jemaah. Sebagaimana kita ketahui dari pelbagai
pemberitaan, bahwa virus ini sangat cepat penyebarannya melalui cairan dari
batuk, flu atau pun sentuhan tangan yang belum tentu steril dari kuman atau
mikroorganisme lainnya. Di Indonesia sendiri, sebagaimana di belahan dunia
lainnya, virus ini telah menjangkiti ribuan masyarakat kita. Ada beberapa di antara
mereka yang sembuh, namun tidak sedikit pula yang meninggal dunia tanpa bisa
didampingi keluarga, sesuai dengan protokol pemakaman Covid-19.
Di
bulan ini biasanya di tahun-tahun sebelumnya merupakan ladang umat Islam
berbondong-bondong untuk mendapatkan pahala. Mulai dari tadarus (membaca)
Al-Quran, beriktikaf di sepuluh malam terakhir ramadhan, dan melaksanakan shalat
tarawih secara berjemaah di masjid yang dilengkapi dengan bilal. Namun semua
berubah sejak pandemi ini melanda. Masyarakat muslim pada umumnya tetap
menyambut dengan riang gembira atas kedatangan tamu agung ini, namun kegembiraan
itu kurang bisa diekspresikan lewat adanya pembatasan-pembatasan sosial
berskala besar, yang bertujuan baik guna memutus mata rantai penyebaran virus
ini.
Ada
memang beberapa masjid yang tetap melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah.
Hal ini lantaran masih banyaknya animo masyarakat yang ingin mengerjakannya di
masjid. Terlebih karena bacaan imam yang membuat hati khusyuk, masjid-masjid
ini juga tetap melaksanakan protokol kesehatan Covid-19. Seperti para Jemaah dianjurkan membawa sajadah sendiri,
adanya pemeriksaan suhu tubuh, lantai masjid yang setiap habis salat dilakukan
penyemprotan disinfektan, hingga kewajiban memakai masker bagi setiap Jemaah
yang datang. Mungkin, menurut penulis, inilah bentuk kecintaan masyarakat
terhadap bulan Ramadan guna mendapatkan gelar takwa. Sebagaimana bunyi firman
Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).
Kesulitan
lainnya dalam melaksanakan ibadah puasa tahun ini ialah kurangnya bertatap muka
dan bersilaturahmi antarsesama muslim, baik itu tetangga maupun kerabat. Sebab,
kebanyakan keluarga muslim melakukan santap sahur dan berbuka puasa di rumahnya
masing-masing. Di satu sisi bagi masyarakat pekerja formal di perkotaan,
merupakan suatu hal yang jarang dapat berkumpul bersama keluarga. Artinya,
terdapat hikmah tersendiri bagi mereka. Sedangkan, bagi para pekerja informal
ini merupakan situasi tersulit, sehingga kita harus senantiasa membantu mereka.
Dapat kita pahami, mereka yang biasanya berbuka puasa di masjid, kini harus
mencari bukaan sendiri-sendiri sejak takmir sepakat memutuskan tidak mengadakan
buka bersama. Keadaan ekonomi yang tidak menentu seperti sekarang ini, juga
semakin menyulitkan mereka untuk membeli takjil atau pun sahur. Namun, penulis
yakin walau halangan rintangan membentang takkan menjadi masalah bagi setiap
mukmin untuk melaksanakan kewajiban dari rukun Islam yang ketiga itu.
Kesulitan terakhir dari Ramadan di tengah pandemi ini adalah tidak bisa mudik atau pulang ke kampung halaman. Berjumpa dengan keluarga besar, terutama ibu dan ayah; istri dan anak; kakek dan nenek; serta cucu dan sebagainya. Namun di setiap musibah pastilah ada hikmah yang dapat kita petik bersama. Semoga amal dan ibadah kita di bulan yang suci ini diterima di sisi Allah SWT. Amin ya Rabbal ‘alamin. Tetap semangat dan positive thinking. Sekian.
Komentar
Posting Komentar