Iklan Kampanye dalam Komunikasi Politik
http://www.unpad.ac.id |
Dalam Ilmu Komunikasi Politik, kegiatan politik itu sendiri
dipandang sebagai kegiatan yang membutuhkan keterlibatan masyarakat, yang
membutuhkan dukungan dan yang membutuhkan pembentukan opini publik untuk
membentuk citra dan simpati dari masyarakat selaku audience. Untuk
itu dalam komunikasi politik, para pelaku politik memerlukan penyampaian pesan
dan itu melalui media massa, seperti televisi, radio, koran, majalah dan lain
sebagainya, juga dapat melalui media personal, seperti selebaran, spanduk,
telepon dan lain sebagainya, bahkan dapat pula melalui acara pertunjukan, acara
silahturahmi, acara debat, acara diskusi dan lain sebagainya. Media massa
cenderung menggunakan berbagai jenis media yang ada secara kombinatif, walaupun
masing-masing media tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya
masing-masing.
Pandangan mengenai citra sebuah partai politik berasal dari orang
lain yang melihatnya, dalam hal ini adalah masyarakat selaku audience.
Orang yang melihat atau masyarakatlah yang dapat menilai bahwa partai politik
tersebut baik, itu dinamakan pencitraan, yang dapat diperoleh berdasarkan
realitas yang dihantarkan, sebagai contoh bahwa kita tidak pernah mengetahui
Presiden kita persisnya seperti apa, tapi yang kita peroleh adalah citra
melalui media bahwa ia adalah orang baik.
Jika yang ditinjau adalah skala Pemilu, maka yang dimaksud dengan
masyarakat di sini adalah dalam arti luas, yaitu melibatkan berbagai lapisan
elemen dalam jumlah yang besar dari masyarakat tersebut dalam wilayah yang
luas. Maka, tentu saja media mempunyai keunggulan dalam hal jangkauan, dan
dengan demikian akan memberikan pengaruh yang lebih menyeluruh kepada
masyarakat. Walaupun dengan kadar yang berbeda-beda, seperti halnya koran,
radio, televisi dan media sosial, yang masing-masing memberikan pengaruh yang
berbeda-beda. Berbagai riset telah dilakukan terkait pengaruh-pengaruh
tersebut, yang mana riset dalam komunikasi politik sendiri diantaranya melihat
pengaruh media massa dari takaran perilaku politik masyarakat, dan berdasarkan
beberapa riset diperoleh hasil yang secara nyata menyatakan, bahwa media massa
memiliki pengaruh yang sedang hingga besar terhadap perilaku politik masyarakat
untuk memberikan dukungannya kepada suatu partai politik.
Jika dalam hal ini ada sebuah partai politik yang belum dikenal,
maka terdapat riset yang menyatakan bahwa televisi[1] memberikan
pengaruh yang sangat kuat ketika kita berbicara pada sasaran pengaruh Knowledge
Level atau Cognitif Level. Karena bagi sebuah partai
politik yang masih termasuk kedalam kategori belum dikenal oleh khalayak, belum
dapat berkompetisi dalam Pemilu menghadapi partai politik lain yang sudah punya
nama atau dikenal oleh khalayak, melainkan terlebih dahulu harus melewati
Tahapan Dikenal oleh masyarakat. Sebagai bagian dari proses Surfacing[2] atau
Kemunculan sebuah partai politik, sehingga akan tercapai proses Name
Recognition atau Primery, dimana sebuah partai
politik namanya dikenal di benak khalayak yang merupakan hal utama yang paling
penting, dan tahapan tersebut dapat dicapai dengan baik dengan sosialisasi
melalui televisi. Bahkan televisi memiliki kemampuan untuk mengatasi apa yang disebut Selective
Exposure, yaitu sebagai salah satu contoh bahwa orang dapat saja tidak
membaca iklan di koran, akan tetapi walaupun terpaksa orang tetap akan
menyaksikan siaran-siaran iklan di televisi yang diputar secara berulang-ulang.
Lalu setelah Knowledge Level atau Cognitif Level yang
menjadi tahapan berikutnya adalah Afectif Level, Atitude
Level dan Election Level.
Surfacing bagi sebuah partai politik sangat penting dan menentukan. Jika
sebuah partai politik gagal dalam Surfacing, maka partai politik tersebut
dapat dikatakan mati sebelum berkembang. Surfacing merupakan
hal penting bukan saja bagi partai politik yang masih baru. Surfacing juga
merupakan hal penting bagi partai politik yang pernah memiliki catatan buruk di
mata khalayak. Selain itu, aktor politik yang juga pernah cacat nama baiknya di
mata khalayak juga memerlukan Surfacing sebagai masa pemulihan
citranya. Dalam hal Surfacing pada buku berjudul “Iklan dan
Politik”, peranan koran dan majalah hanya sebagai sampingan saja dan
membutuhkan waktu Surfacing sampai delapan bulan hingga sebuah
partai politik baru dikenal oleh khalayak. Sedangkan televisi memiliki peranan
yang sangat menonjol dalam hal Surfacing, dengan waktu yang
relatif lebih cepat bagi sebuah partai politik baru hingga dapat dikenal oleh
khalayak.
Riset membuktikan,
sesungguhnya masyarakat memperoleh pengetahuan dari iklan partai politik.
Sehingga disimpulkan bahwa iklan partai politik memberikan manfaat yang besar
bagi masyarakat, hanya saja porsinya yang berkemungkinan terlalu besar,
sehingga dapat mambuat masyarakat menjadi jenuh. Namun, jika iklan partai
politik tersebut dihilangkan maka akan menjadi masalah, baik masalah bagi
pengetahuan masyarakat itu sendiri terhadap dunia politik maupun masalah bagi
partai politik terutama yang masih baru. Yang dapat dilakukan adalah membatasi
iklan partai politik tersebut, baik dari segi segmen, konten maupun waktu
tayang, dan satu hal bahwa tidak semua dari enam belas partai politik tersebut
yang akan menayangkan iklan partai politiknya diluar masa kampanye. Untuk
partai politik besar sebagai salah satu contoh adalah PDI-P, tidak akan
tertarik lagi untuk manayangkan iklan partai politiknya diluar masa kampanye,
dan justru akan menayangkan iklan partai politiknya pada masa kampanye, karena
partai politik tersebut sudah melawati proses Surfacing atau
Kemunculan.
Adapun dampak negatif ataupun positif yang dapat ditimbulkan oleh
iklan politik diluar masa kampanye, sangat bergantung pada apa yang menjadi
kontennya. Jika konten tersebut mengandung unsur SARA, seruan kebencian atau
lain-lain semacamnya, maka akan menimbulkan dampak negatif di masyarakat,
demikian pula sebaliknya. Sebuah iklan dapat saja mendapat banyak aduan dari
masyarakat, diantaranya dikarenakan oleh faktor over timing pada
waktu tayangnya, yang mana ketika telah sampai pada titik jenuh, maka orang
dapat saja bertindak, diantaranya dengan melakukan pengaduan. Namun, hal
tersebut dapat diatasi dengan melakukan pembatasan dan pengurangan terhadap
waktu penayangannya.
Iklan politik tidak memberikan dampak atau pengaruh apapun bagi
anak yang masih di bawah umur, karena mereka memang tidak terlibat. Melainkan
yang terjadi adalah mereka hanya mengulang apa yang disaksikan dan didengarnya
saja, namun tanpa disertai pemahaman apapun, sepanjang konten yang ditampilkan
tersebut tidak mengandung adegan yang berupa perilaku negatif, seperti
kekerasan dan lain semacamnya.
Dalam perspektif
komunikologis, yang diperlukan bukanlah pelarangan penayangan iklan partai
politik, melainkan pengaturan terhadap waktu penayangannya. Sepanjang iklan
partai politik tersebut mengadung seruan kepada Bhineka Tunggal Ika, Pancasila
dan lain semacamnya, maka dapat dikatakan hal tersebut merupakan bagian dari
upaya edukasi masyarakat. Untuk menjawab siapakah yang menentukan sebuah iklan
partai politik bermanfaat atau tidak bagi masyarakat, apakah masyarakat itu
sendiri ataukah partai politik selaku pemillik iklan, memerlukan survey
tersendiri dimana diajukan pertanyaan kepada masyarakat apakah sebuah iklan
partai politik bermanfaat atau tidak. Yang tentu saja melalui survey dengan
desain yang tepat dan lembaga yang independen, agar hasil survey tersebut tidak
bias dan valid.
Pendidikan politik
kepada masyarakat adalah segala upaya yang dilakukan untuk membangun pengetahuan,
kesadaran dan perilaku politik yang baik kepada masyarakat, berdasarkan
aturan-aturan ataupun sistem yang berlaku. Ketika sebuah iklan partai politik
itu berbicara mengenai aspek-aspek yang disebutkan didalam Peraturan KPU, yang
mana salah satunya adalah komitmen kepada nilai-nilai semangat berkebangsaan,
maka iklan partai politik itu termasuk dalam pendidikan politik.
*Merupakan Keterangan Ahli dari Pihak Penggugat, DR.
Antar Venus, M.A.Comm (Dosen pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas
Padjadjaran Bandung dan pada Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta), dalam Sengketa Surat Edaran Komisi Penyiaran Indonesia Nomor: 225/K/KPI/31.2/04/2017.
[1] Nielsen Cross-Platform pada tahun 2017 menunjukkan, meski
keberadaan internet sebagai media yang masyarakat konsumsi semakin tinggi,
namun belum menggeser keberadaan televisi yang masih memiliki pengaruh hingga
96%. Adapun teori-teori komunikasi yang memandang media memiliki pengaruh yang
luar biasa terhadap khalayaknya ialah teori Stimulus-Respon (S-R
Theory) oleh Wilbur Schramm pada tahun 1930-an; teori jarum hipodermik (hypodermic
needle theory) oleh Elihu Katz juga pada tahun 1930-an. Teori-teori
‘pengaruh media’ beranggapan bahwa konsumen media cenderung bersifat atomistis,
pasif dan homogen.
[2]Surfacing merupakan masa dimana sebuah partai politik
membangun brand-nya, hadir dalam benak khalayak, diingat. Barulah
setelah itu mempu berkompetisi pada garis start yang sama
dengan partai politik lain yang sudah lebih dahulu dikenal oleh khalayak.
Sehingga Surfacing merupakan hal mutlak bagi sebuah partai
politik yang masih baru dan belum dikenal oleh khalayak, dan dilain sisi
dengan Surfacing maka hak informasi politik bagi rakyat juga
akan dapat terpenuhi, karena rakyat juga mempunyai hak untuk mengetahui apa
yang tengah berkembang dalam dunia politik, termasuk alternatif partai politik
yang dapat didukung. Dengan demikian Surfacing juga merupakan
instrumen demokrasi, baik bagi partai politik terutama yang masih baru, juga
bagi rakyat.
Komentar
Posting Komentar