KALA ‘REALITAS‘ DITAMPILKAN OLEH MEDIA
Sumber: www.google.co.id |
A. Media
dalam Berita Penuh Konstruksi Realitas
1. Media
tidak menampilkan ‘realitas’ yang sesungguhnya, melainkan penuh dengan
konstruksi realitas, seperti: hanya mengambil angle-angle tertentu untuk ditampilkan di media massa.
2.
Wartawan memiliki subjektifitasnya
sendiri dalam meliput sebuah pemberitaan.
3.
Pepatah mengatakan, “Rambut boleh sama hitam, pikiran orang siapa yang tahu..”
B. Mengapa Media Melakukan Konstruktivitas?
1.
Tenggat
waktu
Jurnalis yang ‘dikejar’
deadline pemberitaan, sehingga tidak
dapat mengumpulkan informasi secara maksimal. Minimnya informasi yang
didapatkan, membuat jurnalis tidak akurat
dan cenderung hanya menceritakan sebagian berita kepada khalayak (un-objective).
2.
Narasumber
Terbatas
Keterbatasan narasumber
yang diwawancarai, ‘memaksa’ redaktur pemberitaan untuk memutuskan ‘cerita’
mana yang akan ditonjolkan, dan mana yang akan dikurangi.
3.
Fokus
Geografis
Setiap pemberitaan
memiliki ceruk pasarnya sendiri. Teori Niche menyebutkan, bahwa setiap media
memiliki segmentasinya sendiri. Sedangkan, media yang tidak memiliki
‘kejelasan’ posisi target audience, rentan menyebabkannya gulung tikar. Hanya,
saja, pemberitaan yang terlalu ‘fokus’ pada suatu wilayah geografis, menyebabkan
masyarakat tidak dapat mengetahui perkembangan di dunia luar.
4.
Pengaruh
Komersialisme
Altheide pada tahun 1976 menyebutkan, “Pengaruh terbesar dalam pembentukan berita
adalah sisi komersialnya”.
5.
Perspektif
Pemasaran dan/atau Kepemilikan
Sisi ‘pemasaran’ sebuah
perusahaan media kerap kali mengintervensi newsroom
(ruang redaksi) dalam meliput dan mem-publish
suatu pemberitaan. Hal ini kerap sering menimbulkan ‘dilema’ tersendiri bagi
wartawan. Disatu sisi, memiliki rasa ‘tanggung jawab’ atas profesi mereka,
untuk menginformasikan kepada publik tentang isu-isu terpenting, sehingga
publik dapat mengambil suatu kebijakan yang bijak. Namun, disisi yang lain,
wartawan ‘diintervensi’ untuk tidak memberitakan sesuatu yang menimbulkan
‘ketersinggungan’ pihak-pihak tertentu, yang memberikan sumbangsih ‘iklan’
cukup besar bagi media terkait. Terlebih lagi, apabila yang ‘mengintervensi’
adalah sang pemilik media.
6.
Pemilihan
Narasumber
Pemberitaan bisa
menjadi konstruktif, apabila dalam memilih narasumber cenderung ‘tebang pilih’/settingan, sehingga menghasilkan ‘statement-statement/pernyataan’ yang dikeluarkan
cenderung mengikuti ‘nilai-nilai tertentu’ yang digiring melalui
pertanyaan-pertanyaan wartawan, sekaligus sebagai bahan penguat (reinforcement) terhadap suatu sikap yang
media ambil.
7.
Gaya
Menulis/Melaporkan Pemberitaan oleh Wartawan
8.
Fabrikasi
Faktor kemalasan wartawan untuk mengumpulkan
‘informasi/data-data’ atau ‘check and
re-check’ terkait pemberitaan, sehingga suatu
pemberitaan menjadi kering dan tidak ber-nash. Perilaku semacam ini
jelas merusak kredibilitas seorang wartawan.
C. Bahaya yang Dimiliki Pemberitaan yang Penuh Konstruktivitas
1. Semakin kaburnya pemahaman masyarakat,
akan mana yang dimaksud ‘realitas kenyataan’ dan mana ‘realitas yang telah
dikonstruksi’ oleh wartawan, untuk kemudian disebarluaskan melalui
media.
2. Pembaca/penonton/pendengar ‘terbatas
dan sempit’ dalam memahami informasi.
3. Rentan menimbulkan konflik
antar pembaca beda media.
D. Solusi
1. Mengedepankan
rasa ‘tanggung jawab sosial’, seperti memenuhi kriteria signifikansi
‘penting’ untuk diketahui publik, aktual dan faktual sebuah pemberitaan, sebagaimana digariskan oleh UU
Pers.
2.
Tidak
mencampuradukkan fakta dan opini
Bagdikian pada tahun
1992 menyatakan, “Opini harus dihindari dalam
pemberitaan yang objektif”.
3.
Keseimbangan
Jurnalis harus
menyajikan berbagai sudut pandang (pro dan kontra) dalam suatu pemberitaan. Hal
ini dimaksudkan untuk menciptakan adanya keadilan dalam pemberitaan. Tidak
diskriminatif.
4. Perlu
adanya sertifikasi profesi untuk jurnalis yang meliput suatu
pemberitaan, agar pemberitaan yang ada tetap kompeten. Di Indonesia,
sertifikasi profesi didapatkan setelah mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW),
yang diselenggaran oleh PWI. Di Indonesia, upaya sertifikasi wartawan perlu
mendapatkan perhatian serius, untuk meminimalisir pemberitaan hoaks (hoax) dan ujaran kebencian (hatespeech) dewasa ini, yang berpotensi
untuk memecah belah bangsa. Sekaligus sertifikasi dapat membedakan mana yang
disebut dengan wartawan ‘beneran/berkedribilitas’ dan mana yang disebut
wartawan ‘gadungan/bodrek’.
5.
Pentingnya
Literasi Media
a. Agar masyarakat memahami (baca: melek) suatu pemberitaan berdasarkan
akal (analisis), tidak semata berdasarkan reaksi emosional.
b. Lebih dapat memilih pesan-pesan yang
‘menyehatkan’ dan bukan yang ‘mengadu domba’ (devide et impera).
c.
Menjadi pribadi yang dapat mengontrol
media, dan bukan dikontrol oleh media.
Komentar
Posting Komentar