APA ITU KOMODIFIKASI PEKERJA MEDIA?

www.google.com
Komodifikasi Pekerja Media, dimana industri media menuntut para pekerjanya untuk terus memberikan sesuatu yang dapat memberikan pemiliknya keuntungan. Eriyanto (2001: 41-42) merinci kelemahan wartawan sebagai kelas tersendiri, dan hubungannya dengan pemilik modal adalah relasi kelas yang berbeda, bukan hubungan profesional. Oleh karena itu, kerja reporter dan kameramen di media penyiaran bukanlah diatur dalam proses dan pembagian kerja, tetapi dari kontrol kesadaran kelas mereka dengan kelompok elit. Hamid dan Budianto (2011: 58) menambahkan, kelemahan insan jurnalistik elektronik itu adalah mereka dalam struktur perusahaan hanyalah seorang pegawai biasa. Wartawan hanyalah “orang gajian” yang secara psikologis tidak akan menang berdebat dengan orang yang menggajinya. Take it or leave it! Oleh karena itu, KPI punya peran sentral untuk mencegah monopoli kepemilikan media, yang banyak ‘mudharat-nya’ bagi masyarakat. Sebab, pemberitaan bisa jadi tidak bebas lagi, muatannya pun kerap memperhitungkan aspek pasar dan segi politis, yang kerap mempertaruhkan mutu isi siaran di ranah public sphere.
Ya, mungkin kita masih ingat dengan Film Dokumenter “Dibalik Frekuensi” yang mengisahkan Luviana, wartawan Metro TV yang telah bekerja di media milik Surya Paloh tersebut selama 10 tahun. Namun, akibat keinginannya membentuk serikat pekerja dan mewujudkan upah yang layak, secara sepihak perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Selain itu, ia juga menilai sistem kerja di sana yang tidak objektif, manajemen redaksi yang berantakan, tidak membudayanya sistem evaluasi yang baik, pertimbangan pemberian gaji yang tidak adil, hingga rendahnya kesejahteraan karyawan dan pemberitaan yang bias gender (www.remotivi.or.id).
 Sebagaimana dikutip dari www.umn.ac.id, dokumenter yang diproduseri Ursula Tumiwa ini menekankan, “Tanah, air dan udara, -merupakan sumber daya yang terbatas dan memiliki nilai yang sangat berharga – harus dikuasai negara dan sebesar-besarnya digunakan untuk kepentingan rakyat.” Namun, frekuensi sebagai bagian dari ‘udara’ dan milik publik dieksploitasi oleh pemilik media dan digunakan demi kepentingan ekonomi serta politik mereka. Lewat “Dibalik Frekuensi”, para pejuang hak publik atas frekuensi pun menyerukan, “Hentikan Monopoli, Kembalikan Frekuensi!” dan “Media Mengabdi Publik, Tidak Menghamba Pada Pemilik”.
Atau, sebagaimana hasil skripsi penulis sebelumnya yang menunjukkan, bagaimana tvOne menekan wartawannya untuk mendapatkan eksklusifitas berita sidang kasus Jessica yang tidak biasa dan bersifat serial, serta menyebarkannya pada ranah public sphere. Implikasi ini menunjukkan, bagaimana relasi kuasa media tvOne tersebut menggunakan kekuasaan mereka untuk melakukan kontrol atas aliran informasi terkait siaran langsung sidang kasus pembunuhan Mirna. Hal ini termasuk kedalam bentuk komodifikasi pekerja media, dimana kelas managerial yang juga mewakili kepentingan pemilik modal menekan wartawannya, untuk mendapatkan eksklusifitas berita dari sidang kasus Jessica. Apalagi, kerja utama sebuah media adalah mencari berita. Jika berita itu menarik dan unik serta penuh drama, banyak masyarakat yang akan tertarik mengikutinya. Semakin banyak pemirsa yang menikmati, semakin besar pula keuntungan yang dimiliki tv.
Namun, sayangnya, masih banyak para pekerja media yang tidak menyadari, bahwa mereka merupakan kelas buruh dalam suatu perusahaan media. Alasannya, karena pekerjaan mereka tidak dapat digolongkan kedalam pekerjaan buruh kasar (blue collar). Melainkan pekerjaan mereka menuntut adanya keahlian jurnalistik (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi/ Pasal 1 UU 40/1999 tentang Pers). Penelitian Aliansi Jurnalis Independen menyebutkan, “Ada problem kelas yang belum tuntas. Selama ini mayoritas jurnalis masih mengidentifikasikan dirinya sebagai kelompok profesional. Mereka merasa enggan untuk dikelompokkan sebagai bagian (dari) kelas buruh. Latar belakang pendidikan yang tinggi, kemudian akses dalam kerja-kerja jurnalistik, penampilan yang keren dan mentereng, adalah beberapa faktor yang membuat jurnalis makin membenamkan diri sebagai kelas white collar” (www.remotivi.or.id).
Maka, dalam Ekonomi Politik Media Vincent Mosco, komodifikasi ini erat kaitannya dengan fungsi atau guna pekerjanya dalam mendapatkan berita. Untuk itu, pekerja media juga ikut dikomoditaskan oleh pemilik modal, yaitu dengan mengeksploitasinya dalam melakukan pekerjaan kewartawanan. Sayang, masih banyak sekali wartawan yang tidak sadar atas pengeksploitasian diri mereka sendiri yang menghegemoni ini. Andaipun ada dari mereka yang sadar, maka mereka memilih bungkam ketimbang tidak terjamin hidupnya dalam sistem kapitalisme seperti sekarang ini.
Adapun Cohen (dalam Hamid dan Budianto, 2011: 56) mengatakan, “That is a new era of television. In television, journalism is no longer a calling. It’s a big deal job with a fat pay-check. Objective have changed. We are audience driven now. We’re not (anymore) mission driven: propelled by our responsibility to inform. We’re just here to entertain, to soothe. We’re here to sell our wares. Terjemahannya ialah “Di era baru televisi kini. Di televisi, jurnalis bukan lagi sebuah panggilan. Melainkan sebuah kesepakatan kerja dengan gaji besar. Tujuan telah berubah. Kita sekarang didorong oleh penonton. Kita tidak lagi didorong oleh misi dan tanggungjawab untuk menginformasikan. Kita di sini hanya untuk menghibur, untuk memenangkan, untuk menjual barang-barang kita”.

Komentar

Postingan Populer