Politainment adalah?

www.google.com
Contohnya seperti politainment (berita politik campur entertainment). Pemberitaan semacam ini biasanya hanya menyasar para artis saja, yang dikenal memang banyak menciptakan ‘sensasi’ sebagai upaya meningkatkan popularitas diri. Namun, kini menyosor para politisi kita juga. Politainment biasanya tidaklah begitu penting untuk diikuti perkembangannya, karena sifatnya yang remeh-temeh. Belum lagi persoalan tingkat urgensinya, jika dikaitkan dengan kwadran pemberitaan, maka ia termasuk kedalam pemberitaan yang “tidak penting – tapi menarik”.
Justus Nieland memaknai politainment sebagai pencampuran antara politik dan industri hiburan. Kait kelindan antara aktor, topik, dan proses politik dengan budaya hiburan media. Contoh politainment: “Potret Gaya Hidup Dwina Michaella, Putri Setya Novanto” (Sapa Indonesia Siang: Kompas TV); “Hari Ketiga Bekerja, Sepatu Tetap Sama” (Net. News: NET TV); “Sandiaga Sosok Pintar dan Pemalu di Mata Sang Istri” (Sapa Indonesia: Kompas TV); “Wapres Jusuf Kalla Jadi Saksi Pernikahan Putri Presiden” (Kompas Petang: Kompas TV); “Jokowi Mantu Live dari Solo” (Indosiar); “Menteri Kabinet Kerja Berfoto di Pelaminan Kahiyang-Bobby” (Kompas Petang: Kompas TV); “Kirab Kereta Kencana Kahiyang-Bobby” (CNN); “Video Sesi “Prewedding” Kahiyang dan Bobby (Kompas Petang: Kompas TV); Kahiyang & Bobby Kompak Unggah Foto yang Sama di Instagram (Kompas Petang: Kompas TV); “Keluarga Sandi Jelang Pelantikan (Special Event: CNN); “Persiapan Keluarga Anies Baswedan Jelang Pelantikan” (Special Event: CNN) (sumber: Remotivi).  
Namun, hal ini lazim terjadi, karena ‘ekologi’ dalam televisi dipahami sebagai sebuah sistem yang melibatkan banyak organisme televisi. Mulai dari level produser, redaksi, pemilik, hingga politisi yang berkepentingan. Fenomena politainment dipahami sebagai rantai simbiosis antara media dan politisi. Di satu sisi politisi membutuhkan televisi sebagai panggung untuk mempromosikan dirinya kepada calon pemilih. Promosi ini bisa terjadi menjelang peristiwa politik seperti pilkada atau pilpres. Tetapi bisa pula terjadi sejak lama, bahkan sebelum peristiwa politik nasional terjadi. Dalam kacamata ekologi media, para politisi dan segala pihak yang terlibat di dalamnya disebut sebagai organisme (Allifiansyah, 2017).   
Selanjutnya, Allifiansyah juga menulis, Politainment sebagai sebuah ekologi televisi termanifestasi pada sajian dalam sajian talkshow, stand up comedy, bahkan debat. Fenomena politainment dipahami sebagai rantai simbiosis antara media dan politisi. Apalagi, Indonesia sebagai negara dengan tingkat konsumsi pada konten tayangan televisi yang tinggi, menjadi sasaran yang empuk dari para pengiklan dan politisi untuk memperoleh atensi massa. Menurut data dari Nielsen Audience Measurement, jumlah penonton televisi di Indonesia mencapai angka 94% (dikutip dari tempo.co 6 Maret 2013). Dari data tersebut, Nampak bahwa televisi adalah media telekomunikasi yang paling populer di Indonesia sekaligus menjadi media massa paling banyak dimiliki oleh masyarakat. Artinya, televisi berdasarkan data survei di atas dan data-data survei lainnya yang penulis baca hingga saat ini, maka televisi dapat digolongkan pada tahap Maturity/Peak Stage atau tahap kematangan/puncak. Dimana pada tahap ini, media sudah mencapai puncaknya. Bahkan, televisi dapat disebut sebagai sumber media utama (mainstream) bagi khalayak untuk memperoleh kebenaran atas suatu informasi, ketimbang media daring yang masih rentan mengandung hoaks dan ujaran kebencian. Sekaligus, hal ini membawa keuntungan finansial yang lebih besar kepada perusahaan media terkait. Allifiansyah menyebut, di Indonesia media paling populer adalah televisi. Ongkos yang murah dan teknologi free to air menjadi alasan mengapa masyarakat gandrung menggunakan pesawat televisi.     
Belum lagi persoalan daya sebar dan jangkauannya yang luas. Artinya televisi sebagai media massa sangat membantu dalam proses penyebarluasan kampanye politik. Dengan menggunakan media televisi, penyebarluasan informasi bukan saja lebih luas bagi pasangan calon yang berkompetisi. Melainkan juga cepat dan serentak, serta ampuh menyentuh aspek kognitif/pengetahuan masyarakat terkait keberadaan politisi tersebut di daerah pilihannya. Serta kemampuan dramaturgi televisi, menjadikannya panggung gemerlap yang tak mungkin ditolak oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
 Sebagaimana dikatakan Atmowiloto (dalam Mustofa, 2012: 4), Televisi adalah salah satu bentuk media massa yang mempunyai daya tarik, karena adanya unsur kata-kata, musik dan efek suara, unsur visual berupa gambar hidup yang dapat menimbulkan kesan mendalam bagi pemirsanya. Dalam upaya untuk mempengaruhi khalayak dengan menggugah emosi dan pikiran pemirsanya, televisi lebih mempunyai kemampuan menonjol ketimbang media massa lainnya. Baksin (dalam Musthofa, 2012: 4) juga mengatakan, isi pesan gambar dan suara pada televisi memiliki kekuatan yang sangat tinggi untuk memengaruhi (to influence) tingkat kognitif (pola pikir), afektif (perasaan) dan behavioral/konatif (perilaku) tiap-tiap individu.
Apalagi, media televisi memang tidak dapat dipisahkan dengan upaya konstruksi realitas, seperti: 1. Pemberitaan yang ditampilkan bukanlah ‘realitas’ yang sesungguhnya, melainkan penuh dengan konstruksi realitas, seperti: hanya mengambil sudut pandang tertentu saja untuk ditampilkan di televisi; 2. Reporter yang memiliki subjektifitasnya sendiri dalam meliput sebuah pemberitaan; 3. Perspektif Pemasaran dan Kepemilikan, dimana sisi ‘pemasaran’ sebuah perusahaan media kerap kali mengintervensi newsroom (ruang redaksi dalam meliput dan mem-publish suatu pemberitaan. Hal ini kerap menimbulkan ‘dilema’ tersendiri bagi reporter. Disatu sisi, mereka memiliki ‘tanggung jawab’ atas profesi mereka, untuk menginformasikan kepada publik tentang isu-isu terpenting, sehingga publik dapat mengambil suatu sikap. Namun, disisi yang lain, reporter ‘diintervensi’ untuk tidak memberitakan sesuatu yang menimbulkan ‘ketersinggungan’ pihak-pihak tertentu, yang memberikan sumbangsih ‘iklan’ cukup besar bagi media terkait. Terlebih lagi, apabila yang ‘mengintervensi’ adalah sang pemilik media, bisa jadi melebihi kepentingan ekonomi, yaitu kepentingan politiknya; dan 4. Pemilihan narasumber yang ‘tebang pilih’/settingan, sehingga menghasilkan ‘statement-statement/pernyataan’ yang dikeluarkan cenderung mengikuti ‘nilai-nilai tertentu’ yang digiring melalui pertanyaan-pertanyaan reporter, sekaligus sebagai bahan penguat (reinforcement) terhadap suatu sikap yang diambil oleh media atas isu-isu tertentu.
Mereka mengerti kalau hal ini seharusnnya tidak boleh dilakukan, apalagi politainment bakal mereduksi isu penting dalam suatu pemberitaan, dan menggantinya dengan hal-hal yang tidak perlu. Walhasil, yang menjadi isu penting malah terabaikan, bahkan tenggelam dari pemberitaan media. Kita pun menjadi kabur dengan kredibilitas politisi yang sesungguhnya, karena semuanya telah tertutupi dengan hasil konstruksi media. Konstruksi media sendiri bermakna, bahwa media adalah salah satu saluran pesan yang tidak luput dari proses interaksionisme simbolik dan konstruksi. Termasuk di dalamnya politainment itu sendiri. Seseorang bisa digambarkan begitu baik, ramah, ‘tahu adat’, merakyat (protagonis) atau bahkan keparat (antagonis) tergantung bagaimana media mengkonstruksinya. Selain itu, politisi yang diberitakan tersebut tidak lagi memiliki ruang privasi antara dia dan keluarganya. Semua akan dijual, selama itu dapat mendongkrak popularitas.
Kita pun tidak lagi memilih politisi berdasarkan kinerja, tapi karena citra dan citra serta kesalehan sosial yang semu. Kita bahkan mengidolakan mereka bak nabi, yang rela ‘pasang badan’ tanpa digaji sepeserpun. Terlihat dari kemunculan buzzer-buzzer politik di media sosial sekarang ini. Walhasil, dalam komoditas politainment, kita bukan warga negara, kita hanyalah penonton sandiwara (sumber cetak tebal: Remotivi), atau media menyebutnya “dramaturgi”. Bersatunya unsur politik dan entertainment memang merupakan sebuah keniscayaan, yang tidak dapat terelakkan. Namun, masyarakat tetap perlu tahu mana yang disebut berita politik, entertainment ataupun politainment. Sehingga, mereka tetap mengedepankan rasionalitasnya dalam berpolitik.  
Adapun dampak positif dari keberadaan politainment yaitu: Pertama, memberikan keuntungan profit pada pihak media, karena berita semacam ini lebih disukai masyarakat, lantaran menyangkut zona ‘privasi’ masing-masing politisi; Kedua, memberikan keuntungan kepada politisi yang diberitakan. Jika media mampu mengemasnya secara menarik, bukan tidak mungkin semakin menunjang citra politisi secara gratis; Ketiga, masyarakat tidak jenuh dengan pemberitaan-pemberitaan straight news. Sekaligus, pemberitaan yang semula sulit untuk dicerna menjadi lebih ringan dan menghibur.
Allifiansyah menulis dalam jurnalnya sebagai berikut: “Politik yang selalu identik dengan intrik dan argumentasi rebut-merebut kekuasaan dibungkus dengan cara yang santai nan menghibur layaknya pertunjukan hiburan. Publik disuguhkan pada sajian politik yang santai dan khas akan pergulatan hidup sehari-hari. Politisi layaknya seorang yang tidak lagi berjarak dengan penonton. Kehidupan pribadi dan kebiasaan sehari-hari mereka dengan leluasa dibicarakan. Obrolan semacam ini tentulah jauh dari unsur politik karena kental akan unsur hiburan. Tujuannya agar publik mudah mengerti setiap pesan yang dilontarkan oleh para politisi. Salah satu contohnya mungkin seperti E Talkshow with BHS (Entertainment Talkshow bersama Sarung BHS, dengan alasan sponsor –red) di tvOne. Dalam program acara ini kerap mengundang tokoh-tokoh ternama seperti politisi dan sebagainya. Pada acara talkshow seperti inilah kita bisa melihat tokoh-tokoh sekelas Mahfud MD (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi); Hanif Dhakiri (Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia 2014-2019); dan ekonom Rizal Ramli bernyanyi, berkelakar disela-sela menanggapi isu-isu perkembangan politik secara ringan dan renyah, namun tetap berbobot. Artinya bahwa politik telah bertransformasi menjadi perbincangan populer yang tak lagi berorientasi pada elit. Teguh Usis selaku eksekutif produser program A1 Setengah di TRANS7 (kini tak lagi tayang) mengatakan, “Jadi orang melek politik tanpa harus berkerut. Jadi dibawakan dengan santai, light, walaupun pembicaraan-pembicaraan hard itu tetap ada”.

Komentar

Postingan Populer