KAJIAN TEKS DALAM MPK II
www.google.co.id |
Dalam disiplin ilmu komunikasi, metode
penelitian kualitatif terdiri dari dua jenis: Pertama, kajian yang
membahas teks dan Kedua, penelitian lapangan (field research).
Kajian teks sendiri terbagi pada empat macam: 1) Framing, 2) Analisis
Wacana Kritis, 3) Semiotika, dan 4) Analisis Naratif. Berikut penjelasannya:
1. Analisis Framing
Analisis framing digunakan sebagai
pisau untuk menjelaskan bagaimana media massa mengemas suatu peristiwa, dan
bagamaina dapur media menyeleksi berita yang layak muat. Maka, berita merupakan
sebuah karya jurnalistik yang telah melalui serangkaian proses ‘pilah-pilih’,
‘tambah-kurang’ dan penghalusan bahasa (eufemisme). Untuk proses
‘pilah-pilih’ berita, media menetapkan news value (nilai berita) sebagai
ukuran. Seperti berita harus sesuatu yang ora umum (tidak umum),
dramatis, tidak pernah atau jarang terjadi, unexpected, tidak seperti
yang seharusnya, baik itu berdampak positif ataupun negatif pada
masyarakat.
Contoh: Pemberitaan terkait revisi UU MD3 yang
baru-baru ini menuai pro-kontra, tentu menarik perhatian dan penting diketahui
khalayak. Karena merupakan suatu hal yang aneh ketika DPR yang notabene
representasi suara rakyat, malah mengeluarkan produk legislasi yang mengungkung
kemerdekaan Pers. UU MD3 merupakan presenden buruk bagi DPR, dimana DPR berubah
menjadi lembaga superbodi yang anti kritik. Jelas ini tidak sesuai dengan
perkembangan demokrasi kita. Berikut beberapa kriteria news value tersebut:
a. Significane (Penting)
“Ungkap Penggelapan Pajak,
Jurnalis Dibunuh”
Pemberitaan ini penting diketahui khalayak, karena
jurnalis masih menjadi sasaran kekerasan oleh pihak-pihak yang tidak senang.
b. Timeliness (Terbarukan)
“Tolak Revisi UU MD3, DPR Hanya
Pikirkan Kepentingan Parpol”
Pemberitaan ini terbarukan, karena isu ini masih hangat
dibicarakan.
c. Magnitude (Berdampak Besar)
“Soal UU MD3, Demokrat Sebut Ada
Masalah Serius di Pemerintah”
Pemberitaan ini berdampak besar, karena UU MD3 berpotensi
mengungkung kemerdekaan Pers.
d. Proximity (Kedekatan)
“Eramas Temu Ramah Insan Pers
Mitra Strategis”
Pemberitaan ini dekat jaraknya dengan masyarakat di Sumut, yang akan melaksanakan Pilkada. Salah satu paslonnya
adalah Edy Rahmayadi dan Musa Rajekshah (Eramas).
e. Prominence (Ketenaran)
“Ustadz Somad Imbau Umat Islam
Tidak Berkelahi di Medsos”
Pemberitaan ini menggunakan statement dari Ustadz
Somad, yang tenar pasca ceramah-ceramahnya di medsos viral dan banyak
digandrungi orang. Karena pembawaan dakwahnya yang cerdas dan lucu.
f. Human Interest
“HPN 2018 di Sumbar, Ani Idrus
Wartawati Bagak”
Pemberitaan ini menekankan sisi human interest,
karena biasanya profesi wartawan identik dengan laki-laki, dan Ani tercatat
sebagai wartawati yang juga pendiri suratkabar Waspada.
Dimensi framing dimulai dengan
pemilihan berita, dan memberikan penonjolan
pada isu tertentu.
Contoh: penonjolan pemberitaan Waspada edisi bulan Februari, yang banyak
mengangkat soal UU MD3: 1) “Tolak Revisi
UU MD3, DPR Hanya Pikirkan Kepentingan Parpol” (berita); 2) “Anomali Revisi
UU MD3” (opini); 3) “Mengurai
Polemik UU MD3” (opini); 4) “Soal
UU MD3, Demokrat Sebut Ada
Masalah Serius di Pemerintah” (berita); 5) “Mendua di Tahun Politik” (tajuk rencana); 6) “Tak Diteken Presiden, Dalam 30 Hari UU MD3
Otomatis Berlaku” (berita); 7) “Pakar
Hukum USU: UU MD3 Bertentangan Dengan UUD 1945” (berita); 8) “Ketua DPR RI ke PWI Terkait Pro Kontra UU MD3”
(berita).
2. Analisis
Wacana
Kritis
Analisis wacana mempelajari struktur bahasa. Istilah wacana
mencakup penggunaan struktur bahasa dalam tulisan, yang juga pada konteks
bagaimana teks itu dibuat dan apa-apa saja yang mempengaruhinya. Analisis wacana menegaskan adanya hubungan dialektis antara wacana
dan struktur sosial.
Analisis wacana
termasuk ilmu yang baru muncul beberapa puluh tahun belakangan, dimana
kebanyakan aliran linguistik membatasi analisanya hanya pada soal kalimat saja.
Menurut Eriyanto (2001: 3) analisis wacana terbagi dalam beberapa disiplin
ilmu, diantaranya dalam studi linguistik merupakan reaksi dari bentuk
linguistik formal yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat
semata tanpa melihat keterkaitan diantara unsur tersebut. Analisis wacana dalam
lapangan psikologi sosial diartikan sebagai pembicaraan. Sementara dalam
lapangan politik, analisis wacana adalah praktik pemakaian bahasa, terutama
politik bahasa.
Adapun, model
Analisis Wacana Kritis memang telah banyak dikemukakan oleh para ahli, seperti:
Michel Foucault, Antonio Gramsci, Frankfurt
School, Louis Althusser, Teun A. Van Dijk dan Norman Fairclough. Salah
satunya, Norman Fairclough yang menyebutkan bahwa Analisis Wacana Kritis adalah
bagaimana bahasa menyebabkan kelompok sosial yang ada bertarung dan mengajukan
ideologinya masing-masing. Analisis Wacana Kritis melihat pemakaian bahasa
tutur dan tulisan sebagai sebuah praktik sosial.
Kesamaan antara
Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough dengan milik Teun A. Van Dijk, yaitu
penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks
semata, karena teks hanya hasil dari suatu produksi yang juga harus diamati.
Hanya saja, terdapat tiga perbedaan dalam dimensinya, yakni: Teun A. Van Dijk
lebih menekankan tiga dimensi analisisnya kepada teks, kognisi sosial dan
analisis sosial. Adapun Norman Fairclough lebih menekankan dimensi analisisnya
kepada teks, praktik wacana, dan praktik sosial budaya. Analisis Van Dijk pun
lebih didominasi kepada pemberitaan yang berifat rasial atau adanya
diskriminasi seseorang/kelompok, sedangkan Fairclough lebih beroientasi kepada
pemberitaan yang bersifat mencari keuntungan.
Fairclough menambahkan,
karakteristik Analisis Wacana Kritis adalah melihat bahasa sebagai faktor
penting, yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat relasi kekuasaan dalam
masyarakat terjadi. Mengutip Fairclough dan Wodak (dalam Badara, 2012: 29),
Analisis Wacana Kritis menyelidiki bagaimana penggunaan bahasa kelompok sosial
yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing.
Norman
Fairclough (dalam Badara, 2012: 26) lebih lanjut membagi Analisis Wacana Kritis
ke dalam tiga dimensi; yang dimaksudkan untuk mengungkapkan kegiatan,
pandangan, dan identitas berdasarkan bahasa yang digunakan dalam wacana. Yaitu:
Text (Microstructual): Dianalisis secara linguistik, dengan melihat
kosakata, semantik dan tata kalimat; Discourse
Practise (Mesostructural): Dimensi yang berhubungan dengan produksi dan
konsumsi teks; dan Sociocultural Practise
(Macrostructural): Dimensi ini
berhubungan dengan konteks yang berada diluar teks seperti konteks situasional,
institusional dan sosial. Analisis ini berdasarkan pada asumsi bahwa konteks
sosial yang berada diluar media dapat memengaruhi wacana yang muncul di dalam
media. Maka, ruang redaksi atau wartawan tak dilihat sebagai sesuatu yang
steril, bebas norma, ideologi, dan sebagainya. Namun, sangat ditentukan oleh
faktor yang berada di luarnya.
Model Analisis Wacana Kritis
Model Analisis
Wacana Kritis berpandangan wacana dapat dimanipulasi oleh kelompok dominan atau
kelas yang berkuasa dalam masyarakat untuk memperbesar kekuasaannya (Eriyanto,
2001: 342). Dan, telah banyak pakar komunikasi yang mengembangkan Analisis
Wacana Kritis tersebut. Berikut ini karakteristik penting dari analisis wacana
kritis dari tulisan Teun A. Van Dijk, Norman Fairclough dan Wodak: 1) Tindakan,
wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action);
2) Konteks, analisis wacana kritis mempertimbangkan aspek konteks dari wacana
seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi; 3) Historis, wacana diproduksi
dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks
yang menyertainya; 4) Kekuasaan, analisis wacana kritis juga mempertimbangkan
elemen dalam analisisnya; 5) Ideologi juga konsep yang sentral dalam analisis
wacana yang bersifat kritis.
3. Semiotika
Semiotika
berasal dari bahasa Yunani, semeion
yang berarti “tanda” atau seme, yang
berarti “penafsiran tanda”. Semiotika adalah ilmu tentang tanda. Secara
terminologis, semiotika dapat diidentifikasi sebagai ilmu yang mempelajari
sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai
tanda (Wibowo, 2013: 7). Roland Barthes berpendapat, bahwa bahasa adalah sebuah
sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu
dalam waktu tertentu (Sobur, 2004: 63). Semiotika terdiri makna denotasi (tersurat), konotasi (tersirat)
dan mitos.
4. Analisis
Naratif
Analisis
naratif membongkar fungsi dari masing-masing karakter dalam teks, kemudian
menyatakan wacana apa yang terkandung dalam teks tersebut (Stokes, 2003). Analisis
naratif sering dipakai untuk membongkar ideologi yang terkandung dalam sebuah karya
(dalam Stokes, 2003). Salah satu pendekatan kunci analisis naratif bersumber
dari karya Vladimir Propp, Morphology of the Folk Tale (1968). Propp
mempelajari dongeng lokal (folk tale) di Rusia pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20. Ia mengeksplorasi unsur-unsur pokok dalam dongeng-dongeng
kemudian menemukan kesamaan-kesamaan yang menonjol dalam struktur serangkaian
kisah (Stokes, 2003).
Semua
dongeng ternyata memiliki unsur-unsur yang sama yang dilabeli Propp sebagai
“fungsi-fungsi” (functions). Fungsi ditunjukkan oleh masing-masing
karakter dalam sebuah narasi. Propp mensyaratkan identifikasi karakter-karakter
kunci dan klasifikasi karakter-karakter berdasarkan skema Proop, misalnya
Pahlawan (Hero), yakni siapapun yang memenangkan pertarungan dan
menyelamatkan sang putri; Putri (Princess) yakni siapapun yang
diselamatkan oleh Pahlawan; atau Donor, yakni siapapun yang memberi sesuatu
pada Pahlawan yang berguna untuk menyelesaikan tugasnya (Stokes, 2003).
Komentar
Posting Komentar