PERBEDAAN PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF

www.google.co.id

Berikut perbedaan penelitian kuantitatif dan kualitatif, diantaranya:
1.      Penelitian Kuantitatif (Quantitative Research)
a.       Penelitian bersifat deduktif
Penulis lebih memahaminya sebagai teknik menulis, dimana lebih mendahulukan sesuatu yang bersifat umum ke khusus. Contoh: pada saat menulis latarbelakang masalah, kita cenderung menjelaskan lebih dulu pengertian dari masing-masing definisi yang berkaitan dengan penelitian kita. Termasuk didalamnya teori-teori yang kemudian mengerucut kepada inti permasalahan.
b.      Teori sebagai alat ukur
Teori dalam penelitian kuantitatif bukan untuk memotret fenomena, sebagaimana yang berlaku pada penelitian kualitatif. Melainkan sebagai alat ukur untuk membuat pertanyaan dalam kuesioner. Kemudian dari jawaban kuesioner inilah peneliti dapat menguji hipotesis yang telah ditentukan. Apakah setiap variabel dalam penelitiannya memiliki pengaruh/hubungan (Ha) ataupun tidak (Ho).
c.       Dapat digeneralisasi
Penelitian kuantitatif bersifat universal, artinya tidak hanya berlaku pada satu tempat dan waktu saja. Hal ini terjadi karena penelitian kuantitatif menggunakan teknik survey untuk mengumpulkan data. Semakin banyak responden yang disurvey, maka semakin universal hasil penelitian itu.
d.      Mengandalkan statistika
Penelitian kuantitatif sangat mengandalkan analisis statistika, karena dari analisis tersebut peneliti dapat menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Berkembangnya zaman semakin memudahkan kita dalam menyelesaikan hitungan statistik, salah satunya melalui perangkat SPSS.
e.       Bersifat deskriptif
Penelitian kuantitatif sekedar mengambarkan ‘apa’ yang terjadi, bukan ‘mengapa’ atau ‘bagaimana’ sesuatu itu bisa terjadi. Namun, sebagian peneliti kualitatif cenderung mengkritisi sifat penelitian kuantitatif yang deskriptif, karena hanya sekedar menggambarkan fenomena dari kulit luarnya saja. Tidak mendalam (indepth) sebagaimana yang terdapat pada penelitian kualitatif.
f.       Paradigma positivis
Penelitian kuantitatif menggunakan paradigma positivis, karena sifat penelitian ini yang apa adanya. Sementara, penelitian kualitatif menggunakan paradigma konstruktivis ataupun kritis.
g.      Etik
Penelitian kuantitatif cenderung menempatkan peneliti jauh dari objek yang diteliti. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari subjektivitas penelitian. Berbeda halnya dengan penelitian kualitatif yang emik, artinya peneliti terlibat langsung dengan objek yang diteliti, untuk turut merasakan apa yang dirasakan oleh informan penelitian.
2.      Penelitian Kualitatif (Qualitative Research)
a.       Induktif
Penulis lebih memahaminya sebagai teknik menulis, dimana lebih mendahulukan sesuatu yang bersifat khusus ke umum. Contoh: pada saat menulis latarbelakang masalah, kita cenderung menjelaskan secara langsung apa yang menjadi permasalahan penelitian kita.
b.      Mendeskripsikan jawaban atas ‘why’ dan ‘how’
Penelitian kualitatif mengambarkan ‘kenapa’ dan ‘bagaimana’ suatu fenomena bisa terjadi, bukan sekedar menggambarkan ‘apa’ sebagaimana yang berlaku pada penelitian kuantitatif. Penelitian semacam ini meniscayakan peneliti untuk benar-benar dekat dengan informan yang ditelitinya, sehingga turut merasakan apa yang mereka rasakan secara mendalam.
c.       Paradigma konstruktivis atau kritis
Penelitian kualitatif menggunakan paradigma konstruktivis ataupun kritis, karena sifat penelitian ini yang ingin membongkar fenomena yang ada. Mereka meyakini suatu fenomena penuh dengan konstruksi (realitas yang dibangun kembali), atau ada sesuatu yang tersembunyi dibelakangnya. Salah satu buku Eriyanto sangat banyak membahas tentang paradigma kritis dan asal-muasal sejarahnya.
d.      Teori dalam penelitian kualitatif untuk memotret fenomena, bukan sebagai alat ukur sebagaimana yang terdapat pada penelitian kuantitatif.
e.       Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara/FGD dan observasi sebagai data primer dan dokumentasi sebagai data sekunder.
f.       Terdiri dari kajian teks atau penelitian lapangan
Penelitian kualitatif terdiri dari konten analisis (analysis content) atau penelitian lapangan (field research). Konten analisis terdiri dari Framing, Analisis Wacana Kritis (AWK), Semiotika, dan Analisis Naratif. Telah saya bahas pada post blog seelumnya berjudul “Kajian Teks dalam MPK II (monggo dicek di bagian ‘cari’ J). Sementara penelitian lapangan terdiri dari fenomenologi, etnografi, studi kasus, historis dan ground research. Berikut penjelasannya:
-          Fenomenologi
Penulis pertama kali mengenal fenomenologi, saat teman kuliah S1 penulis dulu membawakan judul tentang ini. Dimana penelitiannya adalah tentang fenomena ‘harga kawan’ dalam memotret di lingkungan fotografer Medan. Tentu ini menarik untuk diteliti, sekaligus menjawab rasa penasaran saya tentang apa itu penelitian fenomenologi. Maka, penelitian fenomenologi adalah suatu penampakan (bukan hantu, wkwkwk) atas fenomena yang terjadi dan menarik untuk diteliti. Fenomenologi tidak terbatas pada ilmu komunikasi, tapi juga diterapkan pada penelitian ilmu-ilmu sosial lainnya. Untuk mendapatkan makna tersebut, peneliti harus melakukan wawancara mendalam (indepth interview), observasi dan dokumentasi data yang lengkap.
Studi dengan pendekatan fenomenologis berupaya untuk menjelaskan makna pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala, termasuk didalamnya diri atau pandangan hidup mereka sendiri” (Suwarno, 2007: 164).   Littlejohn (1996: 204) menyebutkan “phenomenology makes actual lived experience the basic data of reality”. Jadi, fenomenologi menjadikan pengalaman hidup yang sesungguhnya sebagai dasar dari realita. Creswell (1998) lebih jauh menjelaskan, secara filosofis fenomenologi berasal dari pemikiran Edmund Husserl (1859-1938) yang kemudian dilanjutkan pemikirannya oleh Heidegger, Satre dan Merlau-Ponty dan digunakan sebagai suatu landasan pemikiran untuk melakukan penelitian pada bidang ilmu-ilmu sosial dan perilaku manusia, terutama sosiologi (seperti dilakukan oleh Borgatta & Borgatta, 1992; Swingewood, 1991), psikologi (Giorgi, 1985; Polkinghome, 1989, 1994), ilmu keperawatan dan kesehatan (Nieswiadomy, 1993; Olier, 1986) dan pendidikan (Tesch, 1998).
Bogdan dan Taylor menyebutkan terdapat dua pendekatan utama dalam tradisi fenomenologis, yaitu interaksionisme simbolik dan etnometodologi (1975: 13). Fenomenologis, seperti yang dijelaskan Creswell “In addition, in phenomenological interviews, asking appropiate questions and relying on informants to discuss the meaning of their experiences require patience and skill on the part of the researcher” (Creswell, 1998: 130). Untuk sebuah studi fenomenologis, kriteria informan yang baik adalah “all individuals studied represent people who have experienced the phenomenon” (Creswell, 1998: 118). Jadi, lebih tepat memilih informan yang benar-benar memiliki kapabilitas karena pengalamannya dan mampu mengartikulasikan pengalaman dan pandangannya tentang sesuatu yang dipertanyakan.
-          Etnografi
Beberapa literatur menyebutkan, kajian ini berasal dari ilmu antropologi, ilmu yang mempelajari manusia, kebudayaan hingga bahasanya. Penulis meyakini, penelitian ini berkaitan erat dengan komunikasi antarbudaya sebagai salah satu mata kuliah yang dipelajari dalam ilmu komunikasi.
-          Studi Kasus
Pada saat pengumpulan tugas kuantitatif, banyak dari kami yang salah karena memasukkan kata studi kasus. Padahal, studi kasus hanya terdapat pada penelitian kualitatif sebagai cara membatasi masalah, agar penelitian menjadi lebih spesifik. Studi kasus tidak hanya terbatas pada manusia dan lingkungannya tapi juga bisa kepada media seperti surat kabar, program acara tertentu dan sebagainya. Penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam atau FGD[1], observasi langsung, dan dokumentasi untuk mengumpulkan data.
Studi kasus berasal dari bahasa Inggris “A Case Study” atau “Case Studies”. Kata “kasus” diambil dari kata “Case”, yang menurut kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai: 1) “instance or example of the occurance of sth (contoh kejadian sesuatu); 2) “actual state of affairs; situation” (kondisi aktual dari keadaan atau situasi); dan 3) “circumstances or special conditions relating to a person or thing” (lingkungan atau kondisi tertentu tentang orang atau sesuatu). Dari penjabaran tersebut dapat ditarik kesimpulan, studi kasus ialah rangkaian kegiatan ilmiah yang dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam tentang suatu program, peristiwa, dan aktivitas. Baik pada tingkat perorangan, sekelompok orang, lembaga, atau organisasi untuk memperoleh pengetahuan mendalam tentang peristiwa tersebut. Biasanya, peristiwa yang dipilih yang selanjutnya disebut kasus adalah hal yang aktual (real-life events), yang sedang berlangsung bukan sesuatu yang sudah lewat. Peneliti studi kasus sebaiknya memilih satu kasus saja atas dasar skala prioritas. Tetapi, jika lebih dari satu, maka menjadi multi-kasus dan peneliti harus benar-benar menguasai keseleruhannya guna dikomparatifkan (Rahardjo, 2017: 2-4).
Menurut Yin (1994: 21) studi kasus tidak cukup hanya dengan pertanyaan “apa” (what), tetapi juga “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why). Pertanyaan “apa” dimaksudkan untuk memperoleh pengetahuan eksplanatif (explanative knowledge) berupa penjelasan isu, dan “mengapa” (why) untuk memperoleh pengetahuan eksploratif (explorative knowledge) berupa penggalian isu. Yin menekankan penggunaan kedua pertanyaan itu, karena dipandang sangat tepat untuk memperoleh pengetahuan yang mendalam tentang gejala yang dikaji. Selain itu, bentuk pertanyaan akan menentukan strategi yang digunakan untuk memperoleh data.
Hingga saat ini studi kasus sudah berusia lebih dari 70 tahun. Sejak kemunculannya, jenis penelitian ini memperoleh banyak sanggahan karena analisisnya dianggap lemah, subjektif dan penuh bias, tidak seperti penelitian kuantitatif yang objektif karena menggunakan data statistik sebagai alat analisis. Kritik semacam ini berlaku untuk semua jenis penelitian kualitatif. Namun, studi kasus tetap digunakan oleh banyak kalangan, khususnya untuk studi ilmu sosial dan ilmu terapan (Rahardjo, 2017: 8-9).
Dari sisi cakupan wilayah, kajian studi kasus terbatas pada wilayah yang sempit (mikro). Kasusnya pun dibatasi pada jenis kasus tertentu dan di tempat tertentu dalam waktu tertentu. Karena itu, hasil penelitian studi kasus tidak dapat digeneralisir. Peneliitian studi kasus sangat mendalam, dan diharapkan dapat memperoleh sebuah konsep atau teori baru untuk pengembangan ilmu pengetahuan (Rahardjo, 2017: 9-10).
Selain wawancara mendalam, ada lima teknik pengumpulan data penelitian studi kasus, yakni dokumentasi, observasi langsung, observasi terlibat (participant observation). Menurut Lincoln dan Guba (dalam Mulyana, 2013: 201-202), keistimewaan studi kasus ialah sebagai berikut: 1) Studi kasus merupakan sarana utama bagi penelitian emik, yakni peneliti terlibat dalam kehidupan subjek yang diteliti; 2) studi kasus menyajikan uraian menyeluruh tentang kehidupan sehari-hari subjek yang diteliti (everyday real life); 3) studi kasus merupakan sarana efektif yang menunjukkan hubungan antara peneliti dengan informan; 4) studi kasus berperan untuk mengetahui makna dibalik suatu peristiwa.   
-          Historis
Dari katanya saja kita sudah bisa menebak, penelitian ini ‘bau-baunya’ tentang sejarah (history). Penulis meyakini, jenis penelitian ini banyak dilakukan oleh mahasiswa sejarah di Fakultas Ilmu Budaya. Dalam ilmu komunikasi misalnya, penelitian ini dapat dilakukan untuk mengetahui secara lebih mendalam fenomena pemberitaan di masa lalu. Seperti potret atau framing pemberitaan PKI di zaman orba. Dapat dilakukan dengan cara mengkliping pemberitaan terkait, dan wawancara mendalam dengan saksi-saksi sejarahnya yang masih hidup. Tentu sulit untuk mengumpulkan data, dan mencari informan apalagi memintanya buka suara untuk peristiwa berdarah yang sensitif itu. Namun, tidak ada yang tidak bisa jika kita mau dan berusaha untuk mendapatkan data penelitian yang valid dan akurat. Terdapat 7 tipe studi historis yang dapat diterapkan, diantaranya: biographical studies, movement or idea studies, regional studies, institusional studies, case histories, selected studies, editorial studies.
-          Ground research
Penelitian ini baru pertama kali penulis dengar, namun beberapa literatur menyebutkan, penelitian ini bisa semakin menguatkan teori lama atau malah menggantinya dengan teori baru, karena telah teruji kelemahannya seiring dengan berkembangnya zaman.

Daftar Pustaka:
Creswell, John W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions. USA: Sage Publications Inc.
Littlejohn, Stephen W. (1996). Theories of Human Communication, Fifth Edition. Beltmon California: Wadsworth Publishing Company.
Mulyana, Dedy. (2013). Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English
Rahardjo, Mudjia (2017), Studi Kasus dalam Penelitian Kualitatif: Konsep dan Prosedurnya. Makalah Universitas Maulana Malik Ibrahim, hal: 1-26.
Suwarno, Engkus, (2007), Tradisi Fenomenologi Pada Penelitian Komunikasi Kualitatif: Sebuah Pedoman Penelitian dari Pengalaman Penelitian, Sosiohumaniora, Vol.9, No.2, Hal: 161-167.
Yin, Robert K. (1994). Case Study Research. London: Thousand Oaks.


[1] Perbedaan wawancara mendalam dan FGD adalah wawancara mendalam dilakukan pada satu orang informan ke informan lainnya hingga data jenuh. Sementara,  FGD mengumpulkan para informan pada satu tempat, sehingga cost yang dikeluarkan lebih murah, sekaligus mendapatkan sudut pandang yang beragam atas suatu permasalahan dalam satu waktu saja.

Komentar

Postingan Populer