CRITICAL REVIEW ATAS TEORI ROSTOW
Sebelum kita jauh melangkah untuk melakukan critical review atas
Teori Rostow[1],
ada baiknya kita mengetahui dulu apa itu critical review. Ibarat kata
orang beragama, untuk apa kita jauh-jauh melalang buana bercerita tentang surga
dan neraka. Jika dasar-dasar untuk mendapatkan surga dan menghindari neraka
tersebut kita tidak tahu. Maka, kita pun telah salah kaprah!
Critical review adalah sebuah upaya mulia yang mengharuskan
kita meringkas dan mengevaluasi tulisan. Tugas critical review bisa
berupa buku, jurnal ataupun artikel. Dalam mengerjakan tugas critical review
kita harus membaca secara seksama dengan perbandingan dari berbagai
referensi[2], untuk menghasilkan sebuah
karya critical review yang mumpuni, objektif dan faktual. Jadi, bukan
sekedar cuap-cuap apalagi tindakan mengarang bebas. Sangat tidak
dibenarkan! Critical review berasal dari dua kata, yakni critical dan
review. Terkhusus critical yang bermakna kritis bukan dalam artian
negatif. Melainkan sebuah kritik yang membangun sekaligus dapat dipertanggung
jawabkan.
Dalam mengkritik dibutuhkan adanya upaya untuk mengevaluasi. Dalam
artian kita mencari kelemahan dan kelebihan dari teks tertentu. Berarti dalam
hal ini ialah mencari plus-minus penerapan Teori Rostow dewasa ini. Adapun
struktur penulisan tugas ini telah ditentukan oleh Prof. Dr. Badaruddin, M.Si,
sebagai pengampu mata kuliah ini dengan sangat baik. Seperti: Bab I
Pendahuluan; Bab II Review Terhadap Teori Rostow; Bab III Kritik
Terhadap Teori Rostow; dan Bab IV Penutup. Saya pikir dengan adanya kerangka
penulisan semacam ini semakin memudahkan mahasiswa dalam mengerjakan tugasnya
secara runut dan sistematis.
Rostow bukanlah orang yang pertama kali menganalisa proses pembangunan.
Namun, teori pembangunan yang dikemukakannya menjadi salah satu teori yang
paling banyak mendapatkan perhatian. Pada dasarnya, Teori Rostow berpendapat
bahwa setiap negara yang bergerak maju ke depan perlu melalui tahap-tahap
tertentu, Rostow membagi proses pembangunan ekonomi kepada lima tahap
pertumbuhan. Yaitu: 1) Masyarakat Tradisional; 2) Prakondisi Lepas Landas; 3)
Lepas Landas; 4) Menuju Kedewasaan; dan 5) Tingkat Konsumsi Massal yang Tinggi.
Dalam teorinya, Rostow mengibaratkan pembangunan itu seperti
pesawat terbang yang siap mengudara. Ia membagi proses pembangunan kedalam 5
tahapan, yaitu:
1.
Masyarakat Tradisional (The Traditional
Society)
Cara hidup masyarakat masih sangat dipengaruhi oleh adat-istiadat
atau kebiasaan yang turun-temurun. Masih banyaknya masyarakat yang memercayai
mistis atau klenik. Seperti percaya pada keris, batu cincin dan sebagainya.
Tentu pembangunan tidak meniscayakan perubahan terjadi secara total. Masih
kerap kita jumpai adanya ciri-ciri masyarakat tradisional sekalipun pada negara
maju. Seperti masyarakat Amerika, yang sedikit-banyak penduduknya masih
memercayai mistis dan menyembah setan. “Kasus Indonesia yang diamati Dove, memperlihatkan
bahwa budaya lokal mengalami perubahan yang dinamis dalam dirinya (Munthe,
2008: 59).
Dalam tahapan ini, kegiatan ekonomi sangat terbatas, yaitu semata
bertumpu di bidang pertanian tradisional yang produksinya masih sangat rendah.
Model produksi yang digunakan adalah tradisional, dan tidak menggunakan
penggunaan teknologi yang tinggi, serta tidak mempunyai daya cipta dan daya
saing.
Aliran baru teori modernisasi
tersebut mengandung pemikiran, bahwa nilai tradisional dapat berubah oleh
karena dalam dirinya mengalami proses-proses perubahan yang digerakkan oleh
perkembangan berbagai faktor kondisi setempat, misalnya; faktor pertumbuhan penduduk,
teknik, dan apresiasi nilai budaya (Munthe, 2008: 59).
Tahapan Masyarakat Tradisional terdiri dari beberapa proses
pembangunan seperti: 1) Ilmu pengetahuan belum banyak dikuasai; 2) Tunduk
kepada alam; 3) Produksi sangat terbatas; 4) Statis; 5) Produksi dipakai untuk
konsumsi. Akibatnya, barang tidak punya nilai lebih, habis begitu saja; 6)
Tidak adanya investasi; dan 7) Kehidupan antargenerasi hampir monoton (sama –red).
2.
Prakondisi Lepas Landas (The Preconditions
for Take-off)
Masa transisi dimana masyarakat mempersiapkan dirinya untuk
mencapai pertumbuhan atas kekuatannya sendiri (Self-sustained growth).
Pada tahapan ini, Rostow menganggapnya sebagai suatu masa peralihan, dimana
masyarakat mulai menyiapkan diri untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development)[3]. Hal
ini memerlukan perubahan dari segi nilai dan perilaku masyarakat terhadap
kegiatan ekonomi. Tahapan ini memiliki beberapa proses sebagai berikut: 1)
Bergerak karena ada campur tangan pihak luar; 2) Kegoncangan masyarakat
tradisional; 3) Mulai berkembang ide pembaharuan; 4) Tabungan masyarakat mulai
berkembang; dan 5) Mulainya investasi.
3.
Lepas Landas (The Take-off)
Pada tahap ini, Rostow mengatakan pertumbuhan dianggap sebagai suatu
hal yang normal, dan berlalu akibat perubahan dari segi politik, teknologi dan
perluasan pasar. Dampak seterusnya menyebabkan terciptanya inovasi, peningkatan
dalam investasi dan pendapatan perkapita. Tahapan lepas landas memiliki
ciri-ciri sebagai berikut: 1) Tersingkirnya hambatan-hambatan yang menghalangi
proses pertumbuhan ekonomi[4]; 2) Tabungan dan investasi
meningkat dari 5% menjadi 10% dari pendapatan nasional; 3) Industri baru
berkembang pesat; 4) Investasi sektor baru terus berkembang; dan 5) Pertanian[5] menjadi usaha komersial.
4.
Bergerak ke Kedewasaan (The Drive to
Maturity)
Pada tahap ini, kematangan ekonomi berlaku apabila masyarakat telah
mencapai tingkat teknologi yang tinggi (modern –red) dalam berbagai
aktivitas ekonomi. Sektor pertanian pada tahap lepas landas sudah mulai
berkembang dan semakin kuat. Jumlah penduduk yang bekerja dalam sektor industri
semakin meningkat, dan peranan dunia usaha semakin penting. Pada masa yang
sama, mula timbul kritikan terhadap proses industrialisasi pada saat itu (Sukirno,
1989). Berikut beberapa proses yang ada
dalam tahapan ini ialah sebagai berikut: 1) Proses kemajuan terus bergerak,
meskipun kadangkala terjadi pasang surut; 2) Antara 10%-20% dari pendapatan nasional
diinvestasikan kembali; 3) Industri berkembang dengan pesat; 4) Impor dan
ekspor berimbang; dan 5) terjadi pada 40 sampai 60 tahun setelah lepas landas.
5.
Zaman Konsumsi Massal yang tinggi (The Age
of High Massconsumption)
Dalam perkembangan ekonomi menurut Rostow, masyarakat modern berada
dalam tahap konsumsi tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sedangkan
masyarakat tradisional mengalami hanya sedikit perubahan, baik di bidang
ekonomi maupun sosial budaya (Munthe, 2008: 58). Pengertian pembangunan
pun tidak lagi berorientasi pada banyaknya output yang dihasilkan,
tetapi lebih banyak lagi output daripada yang diproduksi sebelumnya. Berikut
beberapa proses dalam tahapan ini ialah: 1) Konsumsi tidak terbatas pada kebutuhan
pokok untuk hidup, tetapi meningkat ke kebutuhan yang lebih tinggi; 2) Produksi
industri kebutuhan barang konsumsi yang tahan lama; 3) Investasi tidak menjadi
rujukan yang utama; 4) Peningkatan dana sosial; dan 5) Pembangunan sudah
merupakan proses yang berkesinambungan.
Kunci diantara tahapan ini adalah tahap lepas
landas yang didorong oleh satu atau lebih sektor. Pesatnya pertumbuhan sektor
utama ini telah menarik bersamanya bagian ekonomi yang kurang dinamis (Marnoko
dan Azhar, 2006: 119).
Dari kelima tahapan ini, Indonesia masih terhambat pada tahapan
yang kedua, yakni prakondisi lepas landas. Hal ini terjadi karena beberapa
alasan sebagai berikut: 1) Masih banyaknya praktik KKN (Korupsi Kolusi dan
Nepotisme); 2) Adanya upaya-upaya untuk melemahkan KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi). Padahal, KPK di-design untuk mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang bersih (good governance); 3) Kualitas pendidikan
Indonesia yang tertinggal; 4) Pembangunan[6] di Indonesia masih stagnan
(jalan di tempat); 5) Kesenjangan antara si miskin dan si kaya yang lebar; 6)
Masih boroknya sistem administrasi kita, dan banyaknya praktik pungutan liar;
7) Iklim negara kita yang belum cukup nyaman untuk berinvestasi; 8) Masyarakat
kita yang masih begitu mudah digoreng isu-isu rasial dan agama untuk
kepentingan segelintir pihak; dan 9) Masyarakat kita masih berpola pikir
konsumtif ketimbang menghasilkan.
Repelita atau Rencana Pembangunan
Lima Tahap adalah satuan perencanaan yang dibuat oleh Pemerintahan Orde Baru di
Indonesia. Catatan yang perlu dikemukakan mengenai Repelita ialah telah memberikan
sumbangan yang besar dalam perekonomian bangsa. Sejak Repelita II, misalnya, anggaran pembangunan didapatkan melampaui budget.
Hal ini dikarenakan meningkatnya penerimaan negara dari ekspor minyak mentah.
Sumbangan dari ekspor minyak dan gas bumi pada periode Repelita III meningkat
lagi rata-rata 75,2 persen per tahun.
Sejalan dengan itu, terjadinya perkembangan yang memuaskan dalam
neraca pembayaran. Anggaran pembangunan selama Repelita III meningkat 274
persen. Namun, selama periode Repelita IV, anjloknya harga minyak di pasar
internasional, memaksa pemerintah untuk mengambil langkah-langkah penyesuaian (readjustment
and reform) di berbagai bidang seraya mencoba menggalakkan ekspor non-migas.
Memasuki awal Repelita VI agaknya Indonesia gagal menemukan jalan
keluar dalam menghadapi krisis tersebut. Pada periode Repelita VI format
keunggulan komparatif (comparative advantages) dari ekonomi Indonesia tidak
dapat diandalkan. Hal ini terjadi karena tidak mampu bersaingnya komoditi kita di
pasaran internasional. Hal ini diperparah pula dengan masalah-masalah micro economi
yang tidak kunjung terselesaikan. Akibatnya, pemerintah sangat mengandalkan
hutang luar negeri yang sudah sangat spektakuler jumlahnya, dan mengalami
kesulitan untuk melunasi. Walhasil, semuanya bermuara pada krisis moneter 1998
yang berhasil melengserkan Soeharto.
Repelita VI pemerintah mengeluarkan
program-program penanggulangan kemiskinan dengan menggunakan prinsip
pemberdayaan. Program Inpres Desa Tertinggal merupakan contoh dari penerapan
program pemberdayaan tersebut. Program pembangunan pada masyarakat sebelumnya top
down atau bila meminjam istilah Ponna Wignaraja yaitu delivered
development (pembangunan yang dirancang sepenuhnya dari atas untuk
masyarakat) mulai mengadopsi prinsip-prinsip partisipasi dan pemberdayaan.
Masalah lainnya dari pendekatan Repelita VI ialah pelaksanaannya
yang secara top down dan sentralistis. Jelas ini berdampak negatif
terhadap perkembangan masyarakat. Masyarakat menjadi tidak kreatif, inovatif
dan terkungkung pada inisiatif pemerintah. Implementasi pendekatan tersebut mengakibatkan
partisipasi masyarakat menjadi lemah dan bentuk partisipasi yang terjadi lebih
pada partisipasi semu.
Secara politik, dengan pendekatan Repelita I-VI yang top-down dan
sentralistis tersebut, hak-hak masyarakat terserap kedalam kepentingan
pemerintah. Sehingga tidak muncul pemikiran kritis dari masyarakat sebagai
kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan
memudar, diakibatkan oleh memudarnya sejumlah lembaga tradisional yang dulu
hidup di pedesaan. Sebagai akibat intervensi pemerintah yang terlalu jauh
terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Terkait dengan fenomena ini,
maka mewujudkan pembangunan bangsa harus dimulai dari bawah (bottom up).
Apalagi, dalam era otonomi daerah sekarang ini, proses pembangunan
kembali berpusat pada partisipasi masyarakat. Dengan adanya otonomi daerah,
daerah harus mandiri dalam memanfaatkan potensinya. Sekaligus memutar balik
pandangan pemerintah, bahwa masyarakat tidaklah pasif dalam upaya membangun
negara. Melainkan bersama-sama turut serta membangun Indonesia Raya tercinta.
Sebagaimana dikemukakan oleh Korten (1985), bahwa pembangunan akan
mampu mengembangkan keswadayaan masyarakat apabila pembangunan itu berorientasi
pada kebutuhan masyarakat (people centered development). Pembangunan
yang berpusat pada masyarakat itu dapat direalisasikan, apabila memanfaatkan
organisasi lokal yang ada di masyarakat. Proses pembangunan saat ini perlu
memahami dan memerhatikan prinsip pembangunan yang berakar dari bawah (grassroots).
Dalam perspektif pembangunan, partisipasi
masyarakat merupakan prinsip utama yang harus tetap dijaga. Seperti yang kita
ketahui aspek pembangunan yang dilakukan sangatlah banyak dan tidak semua
masyarakat dapat berpartisipasi di tiap aspek tersebut. Partisipasi yang
ditunjukan biasanya akan terfokus pada aspek-aspek tertentu atau isu-isu
tertentu dari pembangunan tersebut (Surjadi, 2003).
Pemberdayaan masyarakat harus dipandang sebagai sebuah kewajiban.
Dimana memberdayakan masyarakat; terutama mereka yang miskin sumber daya, kaum
perempuan dan kelompok yang terabaikan lainnya turut didukung dalam upaya
meningkatkan kesejahteraannya secara mandiri. Dalam proses ini, pemerintah dan
lembaga swadaya masyarakat sebagai sebuah lembaga wajib berperan aktif sebagai
fasilitator, yang mendampingi proses pemberdayaan masyarakat. Pada prinsipnya
masyarakatlah yang menjadi aktor dan penentu pembangunan. Usulan-usulan
masyarakat sekaligus merupakan acuan bagi program pembangunan lokal, regional, hingga
nasional.
Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk
meningkatkan harkat dan martabat lapisan, yang dalam kondisi sekarang tidak
mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.
Dengan demikian, memberdayakan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan
masyarakat. Keberdayaan masyarakat adalah unsur dasar yang memungkinkan suatu
masyarakat untuk bertahan, dan mengembangkan diri untuk mencapai kemajuan
(Kartasasmita, 1996).
Meski pembangunan di era Soeharto masih bersifat Java Centris (terpusat
di Jawa), tapi kita perlu belajar banyak dari program Repelita-nya. Bahwa pogram
tersebut benar-benar mengadopsi dan mempraktikkan Teori Rostow, dan mendapatkan
hasilnya. Oleh karena itu, Teori Rostow menunjukkan, bahwa ia masih sangat
relevan sampai dengan sekarang ini. Teori Rostow mungkin dapat dikatakan teori
lama, tapi ia tidaklah benar-benar usang. Sekurang-kurangnya, teori ini bisa
menjadi blue print (cetak biru) bagi negara kita untuk menuju ke arah pembangunan
yang lebih terjamin.
[1] Walt Whitman
Rostow lahir pada bulan Oktober tahun 1916 di New York, Amerika Serikat. Rostow
terlahir dari keluarga imigran Yahudi yang berasal dari Rusia. Pada saat masih
sangat belia (19 tahun), Rostow telah menyelesaikan studinya di Yale
University. Kemudian pada usia 24 tahun, dia memperoleh gelar doktornya
pada universitas yang sama. Setelah menyelesaikan studinya, Rostow mengabdikan
hidupnya untuk pengembangan ilmu pengetahuan dengan menjadi salah satu pengajar di Columbia
University.
[2] Critical
review ini nantinya akan menggunakan sekurang-kurangnya 15 referensi, yang
terdiri dari 5 buku dan 10 jurnal. Hal ini dimaksudkan bukan untuk ajang sok-sok-an,
melainkan bertujuan untuk menghasilkan sebuah karya ilmiah yang objektif dan
dapat dipertanggungjawabkan.
[3] Sustainable Development adalah 17
tujuan pembangunan dengan 169 capaian yang terukur dan tenggat yang telah
dtentukan oleh PBB sebagai agenda dunia pembangunan untuk kemaslahatan manusia
dan planet bumi. Adapun 17 tujuan tersebut ialah sebagai berikut: 1) Tanpa
Kemiskinan; 2) Tanpa Kelaparan; 3) Kehidupan Sehat dan Sejahtera; 4) Pendidikan
Berkualitas; 5) Kesetaraan Gender; 6) Air Bersih dan Sanitasi Layak; 7) Energi
Bersih dan Terjangkau; 8) Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi,; 9)
Industri, Inovasi dan Infrastruktur; 10) Berkurangnya Kesenjangan; 11) Kota dan
Komunitas Berkelanjutan; 12) Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab; 13)
Penanganan Perubahan Iklim; 14) Ekosistem Laut; 15) Ekosistem Daratan; 16)
Perdamaian, Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh; dan 17) Kemitraan untuk
Mencapai Tujuan (id.m.wikipedia.org, diakses pada 04/11/2017, pukul 7:26).
[4]
Pertumbuhan
ekonomi menurut Sumitro Djojohadikusumo (dalam Pirade, 2006: 9), adalah suatu
proses yang berpokok pada proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam
kegiatan ekonomi masyarakat. Pertumbuhan ekonomi hanya akan terjadi jika
diikuti perubahan-perubahan lain didalamnya. Contohnya: kenaikan tingkat
tabungan dan penggunanya, dan kemampuan masyarakat dalam menggunakan ilmu
pengetahuan modern untuk menurunkan biaya produksi.
[5] Peranan sektor
pertanian semakin strategis, karena sektor pertanian mampu memberikan
kontribusi yang signifikan terhadap devisa negara, dan merupakan satu-satunya
sektor ekonomi yang mampu bertahan ditengah krisis ekonomi.
[6]
Menurut Todaro
(2000), pembangunan bukan hanya fenomena semata, tetapi lebih jauh daripada
itu. Pembangunan harus bisa menjangkau sisi lain dari kehidupan manusia, yakni
materi dan keuangan. Pmbangunan sampai hari ini lebih banyak dipahami sebagai
sebuah momen politis dan sejarah pembangunan daripada momen manajemen.
Pembangunan lebih diberikan pemahaman sebagai sebuah proses politik yang berupa
isme-isme daripada sebuah proses yang melibatkan pemanfaatan
optimalisasi aset-aset atau sumber-sumber daya yang tersedia. Seharusnya
pembangunan itu dipahami sebagai suatu proses dalam berbagai dimensi yang
meliputi tentang masalah pengorganisasian, serta meninjau kembali semua sistem
ekonomi dan sistem sosial dengan membahas seluruh komponen-komponen ekonomi
maupun non ekonomi.
Sebaiknya pembangunan
diselenggarakan dan berlangsung dalam sebuah kontinuitas, sekalipun terjadi
pergantian kekuasaan dan pergantian aliran politik penguasa. Kegagalan yang
terjadi didalam pembangunan bukan karena gagal membangun, tetapi karena gagal
mempertahankan kesinambungan keberhasilan pembangunan.
Komentar
Posting Komentar