PERMASALAHAN DALAM INDUSTRI PENYIARAN KITA
www.google.com |
Keberadaan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2002 tentang Penyiaran yang melahirkan KPI belumlah menjawab keseluruhan
permasalahan penyiaran kita. Beberapa diantara permasalahan itu, diantaranya:
Pertama, Frekuensi masih
dipergunakan untuk kepentingan perseorangan dan/atau kelompok. Hal ini menyebabkan tersendatnya cita-cita
demokratisasi penyiaran. Padahal, proses demokratisasi di Indonesia telah
menempatkan publik sebagai pemilik dan pengendali utama ranah penyiaran saat
ini. Karena frekuensi merupakan milik publik, yang digunakan sebesar-besarnya
untuk kemaslahatan bersama. Artinya media penyiaran harus menjalankan fungsi
pelayanan informasi publik yang sehat, dan tidak menyesatkan serta tidak
mengadu domba publik.
Kedua, Belum terpenuhinya
konten lokal 10%. Padahal, spirit
kedua dari terbentuknya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 untuk menguatkan entitas lokal dalam semangat otonomi daerah. Sehingga,
penyiaran tidak hanya dimonopoli oleh siaran-siaran dari Pulau Jawa. Sebagaimana disebutkan Pasal 1 Ayat (11) yang berbunyi, “Tatanan informasi nasional yang
adil, merata dan seimbang adalah kondisi informasi yang tertib, teratur, dan
harmonis terutama mengenai arus informasi atau pesan dalam penyiaran antara
pusat dan daerah, antarwilayah di Indonesia, serta antara Indonesia dan dunia
internasional”.
Tentu, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi
sentralisasi informasi. Selain itu, potensi yang ada di daerah dapat lebih
dikembangkan. Baik itu dalam hal pariwisata maupun kearifan lokal lainnya yang
harus dijaga. Sebaliknya, jika masalah ini hanya dianggap sebagai ‘angin lalu’,
maka hak sosial-budaya masyarakat lokal dan minoritas bisa jadi terus
terabaikan dalam media penyiaran kita. Padahal, masyarakat lokal berhak untuk memperoleh
informasi yang sesuai dengan kebutuhan dan kepuasannya (uses and
gratification). Disamping itu, keberadaan lembaga penyiaran yang
sentralistis dan telah mapan, serta berskala nasional semakin membuat
lembaga-lembaga penyiaran lokal menjerit tak sanggup bersaing. Walhasil, mereka
pun diakuisisi oleh media-media besar itu.
Ketiga, Masih
kentalnya monopoli kepemilikan media oleh segelintir elit, yang cenderung digunakan untuk kepentingan
bisnis dan politis pemilik serta kelompoknya, yang seringkali berafiliasi
dengan partai atau elit politik tertentu. Sehingga tak jarang menggunakan lembaga
penyiarannya sebagai corong politik. Dampaknya penyiaran kita belum mampu memperkukuh
integrasi nasional, bahkan masih terkesan memecah belah masyarakat. Keadaan ini
tentu akan sangat mengkhawatirkan, dikarenakan media pasti akan melupakan
fungsi utamanya untuk dapat memenuhi kepentingan informasi dan edukasi bagi
masyarakat.
Komentar
Posting Komentar