UU No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran
dok. pribadi |
Reformasi
1998 telah membuka kran lebar-lebar terhadap kebebasan berekspresi dan
berpendapat. Hal ini terlihat dengan muncul banyaknya perusahaan media massa
bak cendawan di musim hujan. Bahkan, lembaga penyiaran publik semakin tenggelam
dengan banyak bermunculnya lembaga penyiaran swasta. Kemunculan televisi
swasta pun mulai mengambil alih pemirsa kala itu yang kerap dijadikan objek
corong politik pemerintah, yang dicekoki oleh informasi yang telah dipreteli
oleh penguasa.
Kala
itu memang pemerintah Orde Baru memiliki pandangan, bahwa media massa ampuh
mempengaruhi pembentukan kesadaran publik. Besarnya pengaruh media terhadap
pembentukan opini publik, mengkontruksi pemikiran dan pandangan mereka kepada
suatu arah tertentu, kemana tujuan media menggiring khalayak kepada suatu
arah yang diinginkan. Pemikiran ini sejalan dengan pendapat Hall (dalam
Morissan, 2013: 535) yang menyatakan media adalah alat kekuasaan kelompok elite, dan media berfungsi menyampaikan
pemikiran kelompok yang mendominasi masyarakat untuk tetap memegang kontrol
atas masyarakat.
Hal ini terbukti dari Pasal 7 Undang-Undang
Penyiaran Nomor 24 Tahun 1997 (terdahulu) yang berbunyi, “Penyiaran
dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh
pemerintah”. Tentu hal ini menyiratkan, bahwa pada masa
itu penyiaran kita bergerak secara authoritarian.
Dimana penyiaran digunakan sebagai alat kekuasaan dan alat propaganda, yang
semata-mata digunakan untuk kepentingan pemerintah lewat
keputusan-keputusan Departemen Penerangan-nya.
Alhamdulillah, kini Undang-Undang Penyiaran itu dipandang tidak sesuai lagi, hingga akhirnya Undang-Undang itu
dicabut dan kemudian diganti
menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002. Tentu, melahirkan Undang-Undang ini bukanlah
suatu hal yang mudah, sebagaimana kita membalikkan telapak tangan. Ada banyak
sekali ‘rongrongan’ dari pihak-pihak yang tidak senang, karena merasa lembaga
penyiarannya bakal dirugikan dengan adanya regulasi tersebut.
Apabila ditelaah lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 lahir dari satu semangat utama, yaitu pengelolaan sistem penyiaran harus
bebas dari berbagai kepentingan, karena penyiaran merupakan ranah publik, dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Maka, sejak disahkannya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 terjadi perubahan fundamental dalam pengelolaan sistem
penyiaran kita. Dimana pada intinya ada upaya serius dari negara untuk
melindungi hak masyarakat dari konten penyiaran yang sesat lagi menyesatkan.
Perubahan paling mendasar dalam semangat Undang-Undang ini adalah adanya limited transfer of authority dari pengelolaan penyiaran yang
eksklusif milik pemerintah menjadi milik bersama, yang pengawasannya dilakukan
oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai independent
regulatory body. Kata “Independen” sendiri pada lembaga tersebut
mempertegas, bahwasanya pengelolaan sistem penyiaran harus benar-benar netral
dari intervensi modal dan/atau kepentingan kekuasaan.
Hal ini dilakukan, karena Pemerintah belajar dari pengalaman masa lalu, saat Orde Baru mengkooptasi
penyiaran, dan menggunakannya untuk melanggengkan kekuasaan. Sehingga hal
tersebut tidak boleh lagi terjadi, sebab penyiaran memiliki kekuatan untuk
menciptakan hegemoni, yang bisa sangat berbahaya jika dikuasai oleh orang-orang
yang salah.
Komentar
Posting Komentar