Era Efek Media Sudah Berakhir

sumber: www.google.co.id

*     Pendahuluan
Efek media komunikasi massa sempat mendapatkan tempanya pada tahun 1930-an. Namun, lama-kelamaan efek media komunikasi massa semakin dipertanyakan keampuhannya dalam memberikan pengaruh. Ada beberapa teori yang menjelaskan bahwa media massa memiliki pengaruh yang cukup kuat kepada khalayaknya, diantaranya: hypodermic needle theory (teori jarum suntik), S-R Theory (teori Stimulus-Respon) milik Wilbur Schramm dan transmition belt theory (teori sabuk transmisi). Kesemua teori ini tergabung kedalam model teori peluru ajaib (magic bullet theory model) dalam tingkatan efek media massa. Model inilah yang semakin mendapatkan pertentangan dari berbagai pihak. Salah satu pertentangan itu datang dari model efek moderat yang didalamnya memuat teori penggunaan dan kepuasan (uses and gratification theory).
*     Perihal Teori Penggunaan dan Kepuasan
Teori penggunaan dan kepuasan merupakan teori yang paling banyak dibicarakan akhir-akhir ini. Hal ini karena posisi tingkatan efeknya yang netral (moderat), dimana media tidak akan memiliki pengaruh yang kuat, apabila khalayak tidak mendapatkan kegunaan dan kepuasan dari tayangan media tersebut. Teori ini mengajukan gagasan bahwa perbedaan individu menyebabkan khalayak mencari, menggunakan dan memberikan tanggapan terhadap isi media secara berbeda-beda, karena berbagai faktor sosial, ekonomi, psikologis, pengetahuan, pengalaman, serta SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-Golongan) yang melatarbelakangi individu-individu tersebut. Teori penggunaan dan kepuasan memfokuskan perhatian pada khalayak sebagai konsumen media massa, dan bukan pada pesan yang disampaikan sebagaimana hypodermic needle theory. Teori ini menilai bahwa khalayak dalam menggunakan media berorientasi pada tujuan yang akan mereka dapatkan, sehingga mereka bersikap diskriminatif dalam memilih saluran televisi dan/atau program tayangannya.
Dari sini terlihat, bahwa teori penggunaan dan kepuasan menghendaki khalayak medianya yang lebih aktif, dinamis dan heterogen. Jelas berbanding terbalik dengan hypodermic needle theory yang mengatakan khalayak media sebagai subjek yang pasif, atomistis dan homogen. Hal ini lah yang kemudian menjadi landasan kuat masyarakat sekarang, tidak lagi mudah untuk diterpa pengaruh oleh berbagai tayangan media. Musabab, masyarakat dewasa ini telah bertransformasi menjadi masyarakat yang aktif dan selektif dalam memilih siaran yang mereka inginkan. Teori penggunaan dan kepuasan menjelaskan, mengenai kapan dan bagaimana khalayak sebagai konsumen media menjadi lebih aktif atau kurang aktif dalam menggunakan media, dan akibat atau konsekuensi dari penggunaan media itu (Morissan, 2013: 509).
Merujuk pada pernyataan Katz, Blumler dan Gurevitch (dalam West dan Turner, 2007: 428) sebagai pioneer dan pengembang teori ini, berikut beberapa asumsi dasar dari teori penggunaan dan kepuasan, diantaranya:
1.     Khalayak merupakan partisipan yang aktif dalam memilih dan menggunakan media. Dalam pemilihan media tersebut, khalayak berorientasi pada kepuasan yang ingin dan/atau akan mereka dapatkan. Dengan demikian, khalayak memiliki kewenangan penuh dalam setiap proses komunikasi massa yang ia lalui.
Contoh 1: Saat penulis lebih memilih menonton program ‘Ini Talkshow’ di NET TV, karena ada komedian Sule dan Andre yang lucu di sana. Padahal, sebelumnya penulis merupakan penonton setia program ‘Opera Van Java’ di Trans7.
Contoh 2: Saat penulis tidak pernah absen menonton program ‘Indonesiaku’ di Trans7, yang tayang setiap hari Senin-Selasa pukul 15.45 WIB, karena tayangan tersebut berkaitan dengan tesis yang tengah penulis kerjakan.
2.     Media saling bersaing satu sama lain dalam memberikan kepuasan atas tayangan kepada khalayaknya. Contoh: Stasiun televisi Indosiar yang menayangkan program berjudul ‘Kisah Nyata’, dan stasiun televisi SCTV yang menayangkan program ‘FTV’. Program ‘Kisah Nyata’ jelas Indosiar tujukan kepada ibu-ibu untuk menontonnya sembari mengerjakan pekerjaan rumah. Tayangan ‘Kisah Nyata’ jelas lebih menarik perhatian ibu-ibu, karena jalan penceritaannya yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti: kisah tentang pelakor (perebut laki orang), yang kerap memicu pertengkaran dalam rumat tangga; suami yang selingkuh diluar rumah; istri yang durhaka pada suami; anak yang tertukar dan sebagainya. Begitupula tayangan ‘FTV’ jelas SCTV tujukan kepada remaja untuk menontonnya. Tayangan ‘FTV’ jelas lebih menarik perhatian mereka, karena jalan penceritaannya yang penuh dengan adegan percintaan remaja, ditambah dengan lagu-lagu Yovie and Nuno sebagai backsound yang semakin menambah nilai romansa film.
3.     Khalayak dapat menilai tayangan suatu media secara bebas dan merdeka, tanpa dapat dikekang pendapatnya oleh siapapun.
Contoh 1: Penulis sangat tidak suka ketika ibu memilih channel yang berisikan sinetron dengan episodenya yang panjang-panjang. Menurut penulis kala itu, tayangan tersebut jelas sangat membosankan. Padahal bagi ibu, sinetron lah yang dapat menghilangkan kepenatannya sejenak setelah seharian bekerja sebagai ibu rumah tangga.
Contoh 2: Tatkala ibu yang risih ketika suami dan anak laki-lakinya menonton bola di televisi sambil sesekali berteriak gol! Menurut ibu, tayangan tersebut jelas sangat mengganggu ketenangannya. Padahal, bagi suami dan anak laki-lakinya tayangan bola benar-benar memacu adrenalin, apalagi jika yang bertanding adalah negara ataupun klub sepakbola kebanggan mereka.
Contoh 3: Tatkala kakak dan adik perempuannya sedang menonton tayangan Barbie; yang bercerita tentang seorang putri cantik jelita yang disiksa oleh ibu tirinya ataupun penyihir jahat, dan kemudian berhasil ditolong oleh pangeran tampan dan gagah berkuda putih. Hingga mereka pun hidup bahagia selamanya (happily ever after). Menurut anak laki-laki, jelas tayangan tersebut sangat membosankan dengan segala dramanya yang mellow. Padahal, bagi kakak dan adik perempuannya, tayangan itu merupakan representasi impian perempuan hampir di seluruh dunia, untuk hidup bahagia bersama pangeran yang senantiasa mencintai dan melindunginya.
Philip Palmgreen (1984) mengatakan, bahwa perhatian khalayak terhadap tayangan media ditentukan oleh sikap yang mereka miliki. Yaitu kepercayaan dan juga evaluasi yang akan mereka berikan terhadap isi tayangan/pemberitaan media tersebut. Contoh: Pada Pilpres 2014 silam, dimana khalayak penonton televisi di Indonesia terbagi kedalam dua kubu; baik itu kubu tv merah (tvOne) dan kubu tv biru (Metro TV). Mereka yang memilih tvOne, karena percaya bahwa pemberitaan di saluran tv ini, dapat semakin meneguhkan keyakinan mereka untuk memilih Prabowo Subianto sebagai calon presiden mereka. Begitupula, mereka yang memilih Metro TV, karena percaya bahwa pemberitaan di saluran tv ini, dapat semakin meneguhkan mereka untuk memilih Joko Widodo sebagai nahkoda, yang akan memimpin kapal bernama ‘Indonesia’ lima tahun kedepan (2014-2019). Dari contoh ini, maka dapat penulis simpulkan, bahwa pada akhirnya tayangan media hanya berfungsi sebagai referensi/rujukan, untuk meneguhkan kembali (reinforcement) apa-apa yang telah menjadi sikap dan pilihan para penonton sebelumnya.
Begitupula halnya, ketika seorang ibu rumah tangga menonton acara gosip di televisi, karena ia percaya tayangan itu mampu memberikannya kepuasan akan pengetahuannya (kepo) terhadap kehidupan selebritis. Sebaliknya, bagi seorang yang ‘alim (paham ilmu agama) mengharamkan diri dan keluarganya untuk menonton acara gosip di televisi. Musabab, ia percaya tayangan itu sarat dengan unsur ghibah (menceritakan keburukan orang lain).
*     Alasan Model Teori Peluru Tidak Berlaku Lagi
Berikut penulis paparkan beberapa alasan mengapa efek media komunikasi massa tidak berlaku lagi, terutama pada model teori pelurunya, diantaranya:
1.     Teori S-R yang merupakan bagian dari model teori peluru, terlalu sederhana untuk menggambarkan proses komunikasi yang kompleks.
Teori S-R hanya melibatkan dua komponen dalam proses komunikasi massa yaitu sender (pengirim) dan receiver (penerima). Padahal, dewasa ini kita mengenal komponen-komponen komunikasi massa yang lain, seperti: pesan apa yang disampaikan, melalui media apa, kepada siapa, dan dengan efek atau feedback (umpan balik) yang bagaimana. Begawan Ilmu Komunikasi, Harold D. Lasswell mendefiniskan komunikasi sebagai who (siapa), says what (pesan apa yang disampaikan), in which channel (melalui media apa), dan with what effect (dengan efek/umpan balik yang bagaimana). Artinya, keterpengaruhan media juga sangat ditentukan oleh komponen-komponen komunikasi massa yang lain, tidak hanya oleh pengirim dan penerima pesannya saja. Juga sebagaimana kita ketahui, penerima pesan media sekarang ini lebih proaktif dalam memilih dan memilah program apa yang ingin mereka tonton. Dengan kata lain, pengguna media secara aktif mencari informasi dari media berdasarkan kehendak dan kebutuhannya (Finn, 1992: 422-435).
Memang, teori S-R ini sempat mendapatkan justifikasinya lewat sandiwara radio berjudul “The War of The World”, yang Radio CBS siarkan menjelang perayaan Halloween pada tahun 1938. Sandiwara ini menceritakan, bahwa planet bumi telah diserang oleh makhluk ruang angkasa, sehingga menimbulkan kecemasan yang luar biasa bagi sebagian masyarakat. Bahkan kala itu, hampir sekitar satu juta orang mengungsi dari rumahnya ke yang tempat lain, untuk menyelamatkan diri dari serangan makhluk luar angkasa. Namun, penulis meyakini peristiwa konyol ini tidak akan terulang lagi. Sekalipun siaran-siaran nyeleneh seputar alien itu diulang dan bahkan didramatisir lagi dengan kecanggihan teknologi yang ada sekarang. Maka, tetap saja masyarakat kita tidak akan percaya lagi. Bahkan, mungkin malah akan menjadi bahan tertawaan.
Hal ini terbukti dari serangkaian tayangan tentang kiamat yang diklaim beberapa pihak semakin dekat, merujuk kepada beberapa jenis penanggalan. Salah satunya yang terkenal adalah tayangan ‘Kiamat 2012’ yang diputar di beberapa bioskop tanah air. Walhasil, tayangan tersebut hanya dianggap sebagai hiburan saja, bahkan tak sedikit pula yang mengolok-olok tayangan tersebut. Fenomena ini sekaligus membuktikan, bahwa masyarakat bukanlah kerbau yang bisa dicucuki hidungnya untuk mempercayai sesuatu hal. Masyarakat beragama Islam misalnya, telah memiliki referensi yang kuat bahwa hanya Allah lah yang tahu kapan terjadinya kiamat. Selain itu, semakin tinggi pendidikan seseorang, maka ia tidak akan bebal lagi dalam membedakan mana realita dan mana yang disebut fiksi belaka. Artinya, masyarakat yang semakin berpengetahuan akan tahu memilih dan memilah, mana tayangan media yang berbobot dan mana tayangan media yang bangai (bodoh dalam bahasa Aceh). Orang terdidik tentu akan memilih media yang dapat mempertegas atau memperkuat nilai-nilai yang menghargai akal sehat, kesadaran diri, dan ilmu pengetahuan mereka.
2.     Setiap individu tetap bisa membuat pilihan terhadap tayangan media massa, yang ingin mereka konsumsi.
Paul F. Lazarsfeld merupakan salah satu tokoh komunikasi, yang paling gencar menolak model teori peluru dalam tingkatan efek media komunikasi massa. Bahkan, ia melahirkan teori tandingan dari hasil penelitiannya yang membuktikan, bahwa efek media komunikasi massa itu terbatas. Teori tersebut bernama two step flow communication (komunikasi dua tahap). Teori yang muncul pada tahun 1940 tentang Pemilihan Umum Presiden AS ini menunjukkan, bahwa pengaruh media terhadap pilihan masyarakat dalam pemungutan suara ternyata dipengaruhi oleh pemuka pendapat (opinion leaders). Artinya, pesan komunikasi massa hanya akan efektif, khususnya dalam mengubah sikap dan perilaku, apabila ia dikombinasikan penggunannya dengan komunikasi antarpribadi seperti ditunjukkan dalam interaksi antara opinion leader dan opinion follower (pengikut pendapat). Hanya ada beberapa orang saja yang benar-benar terpengaruh secara langsung oleh kampanye-kampanye di media massa.
Pemukan pendapat adalah orang-orang yang pertama kali bersentuhan dengan media massa. Mereka mengikuti atau mengonsumsi isu-isu pemberitaan yang menarik bagi mereka, dan kemudian menafsirkan pemberitaan itu berdasarkan nilai-nilai dan kepercayaan yang mereka anut, serta meneruskannya kepada pengikut pendapat mereka, yaitu mereka yang tidak terlalu sering mengonsumsi media. Menurut penulis, peran pemuka pendapat banyak diterapkan pada masa Orde Baru, dimana rezim ini sukses melancarkan propaganda-propaganda pembangunannya lewat satu-satunya siaran pemberitaan TVRI, yang kemudian isi siaran tersebut diteruskan oleh agen-agen sosialisasinya yang ada di daerah-daerah.
3.     Studi tentang opinion leadership (studi Rovere), studi tentang keputusan konsumen (studi Decatur), dan lain-lain menunjukkan adanya peranan yang besar dari kontak-kontak antarpribadi. Tanpa hal ini, komunikasi massa tidak dapat berbuat banyak.
4.     Carl Hovland dari Institute for Propaganda Analysis melaporkan, film (media massa) hanya efektif dalam penyampaian atau penerusan informasi (level kognitif), tetapi sangat kurang efektif dalam mengubah sikap (level behavioral).
*     Studi Kasus
Alhamdulillah, masyarakat kita telah pandai memilah dan memilih siaran yang berkualitas. Hal ini sejalan dengan pendapat pakar komunikasi, bahwa serba media (bullet theory) telah usai dan kini beralih ke serba masyarakat (uses and gratification). Dimana masyarakat berkuasa untuk menentukan program siaran yang ingin ditontonnya. Pertama, masyarakat kita telah memilih program wisata budaya sebagai tontonannya, karena memberikan hiburan yang mendidik terutama bagi anak. Selain itu, tayangan ini juga memperkaya khazanah publik tentang keberagaman budaya dan adat istiadat, yang senantiasa harus dihormati dan turut melestarikannya.
Kedua, masyarakat kita telah memilih sinetron-sinetron[1] yang sarat makna sebagai tontonannya. Misal “Sinetron Dunia Terbalik” yang tayang di RCTI. Hal ini menunjukkan, ‘mata’ penonton tidak bisa bohong. Masyarakat akan memilih tayangan-tayangan yang punya nilai bobot. Sudah seyogyanya, fenomena ini menjadi pelecut bagi lembaga penyiaran untuk menghasilkan sinetron yang inspiratif. Apalagi, sinetron hampir setiap saat hadir di ruang keluarga Indonesia.
*     Penutup
Dari tahun-ke tahun berbagai teori muncul dan membuktikan, bahwa efek media massa tidak lagi powerfull, sebagaimana yang terdapat dalam model teori peluru. Melainkan, efek tersebut ada namun cukup terbatas (moderat). Hal ini sebagaimana Elihu Katz, dkk katakan dalam teori Uses and Gratification-nya. Walhasil, khalayak tidak lagi bersikap pasif dalam menerima pesan/informasi yang disampaikan media. Melainkan, khalayak berperan aktif dalam memilah dan memilih pesan/informasi media yang akan mereka konsumsi, sesuai dengan kegunaan dan kepuasannya.
*     Daftar Pustaka
Finn, S. (1992). Television Addiction? An Evaluation of Four Competing Media-Uses Models.           Journalism Quarterly, 69, 422-435.
Morissan. (2013). Teori Komunikasi Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media  Group.
Palmgreen, Philip. (1984). Uses and Gratifications: A Theoretical Perspectives in Communication 8, ed. Boston: Sage.
West, Richard & Turner, Lynn H. (2007). Introduction Communication Theory. McGraw Hill.


[1] Sinetron (sinema elektronik) adalah istilah untuk program drama bersambung, yang diproduksi dan disiarkan televisi Indonesia. Di Inggris, sinetron disebut dengan soap opera (opera sabun), sementara di Spanyol disebut dengan telenovela.

Komentar

Postingan Populer