Tayangan Televisi Perlu Perhatikan Ruang Privasi (by: Muhammad Syahrir)
sumber: www.youtube.com |
Pendahuluan
Efek
media komunikasi massa merupakan semua jenis perubahan,
yang terjadi didalam diri seseorang setelah menerima suatu pesan. Baik itu
perubahan dalam bentuk pengetahuan (level kognitif), sikap (level afektif) dan
perilaku nyata (behavioral) penontonnya. Salah satu teori yang turut menjelaskan
efek media komunikasi massa adalah teori kultivasi (penanaman). Teori kutivasi
sendiri dalam tingkatan skala pengukuran daya efek berada pada model efek
moderat, yang berkembang pada tahun 1970-1980. Artinya, tingkat keterpengaruhan
seseorang terhadap tayangan suatu media amat sangat bergantung dengan tingginya
tingkat frekuensinya dalam menonton televisi. Jadi, untuk kita maklumi bersama,
bahwa teori kultivasi tidak memandang tv
sebagai media yang memiliki kekuatan besar (powerfull), sebagaimana
terdapat pada model teori peluru (bullet theory model). Justru
sebaliknya, teori ini memiliki sudut pandang, bahwa tv memiliki pengaruh yang cukup
terbatas (moderate) terhadap individu dan budaya.
Perihal Teori Kultivasi
Teori
kultivasi merupakan teori yang meyakini, bahwa media tetap memberikan pengaruh
kepada penontonnya, hanya saja dalam skala yang cukup terbatas. Artinya,
potensi efek yang penonton televisi dapatkan sangat bergantung pada intensitas
menonton mereka yang tinggi. Semakin tinggi intensitas mereka dalam menonton
suatu tayangan televisi, maka secara tidak langsung semakin tinggi pula tingkat
keterpengaruhan mereka atas tayangan televisi tersebut. Dengan demikian, pesan
dan efek dalam komunikasi massa merupakan proses interaksi antara media dan
khalayaknya (Morissan, 2013: 508).
Kultivasi atau cultivation (berasal dari kata kerja ‘to
cultivate’ yang berarti menanam). Istilah ini pertama kali George Gerbner
kemukakan pada tahun 1969. TV dengan segala pesan dan gambar yang disajikannya,
merupakan proses atau upaya untuk ‘menanamkan’ cara pandang yang sama terhadap
realitas dunia kepada khalayak tv dipercaya sebagai instrumen atau agen yang
mampu menjadikan masyarakat dan budaya bersifat homogen (homogenizing agent)
(Morissan, 2013: 518-519).
Kemunculan
teori kutivasi dilatarbelakangi satu situasi di Amerika pada tahun 1960-an.
Kala itu, perhatian orang terhadap efek media massa, khususnya tayangan
kekerasan di tv cukup besar. Sehingga, banyaknya muatan kekerasan tersebut
membuat para orangtua, guru dan pengkritik tv khawatir bahwa tidakan kekerasan
di masyarakat juga akan meluas. Ketika itu terdapat dugaan, bahwa adanya
hubungan antara muatan kekerasan dalam tayangan tv dengan perilaku agresif masyarakat.
Gerbner
pun menguji hipotesa tersebut lewat sebuah penelitian, yang menggunakan dua
kelompok responden. Kelompok responden pertama, terdiri dari mereka yang
menonton tv kurang dari 2 jam (light viewer). Kelompok ini lebih
selektif dalam menonton tv. Artinya, mereka hanya akan menghidupkan tv untuk
menonton tayangan yang mereka inginkan saja, dan mematikan tv ketika acara
tersebut selesai[1].
Selain itu, kelompok ini juga didominasi oleh masyarakat kelah menengah ke atas,
yang hanya punya sedikit waktu didepan televisi, lantaran kesibukan rutinitas
mereka sehari-hari; dan kelompok responden kedua, terdiri dari mereka yang
menonton tv lebih dari 4 jam untuk menonton tv (heavy viewer/ television
type). Kelompok ini cenderung didominasi oleh masyarakat kelas menengah ke
bawah, dan memang lebih banyak menghabiskan waktunya didepan tv. Mereka percaya
bahwa apa yang ditayangkan tv adalah sebuah kebenaran.
Dari penelitiannya
tersebut Gerbner menemukan hasil, bahwa mereka yang terlalu banyak menonton
tayangan kekerasan (termasuk pemberitaan kriminal di tv), akan memiliki rasa
takut dan curiga yang berlebihan (social paranoia), bahwa dunia luar
merupakan sebuah tempat yang menakutkan karena dipenuhi oleh orang-orang jahat.
Proses Kultivasi
Gerbner
mengemukakan, setidaknya ada dua alasan bagaimana tv mampu memengaruhi penonton
dalam memandang dunia, diantaranya:
1. Mainstreaming
Mainstreaming adalah proses yang mengikuti arus utama yang terjadi ketika berbagai
simbol, informasi dan ide yang ditayangkan tv mendominasi atau mengalahkan simbol-simbol,
informasi, dan ide yang berasal dari sumber lain. Contoh: Pemberitaan terkait
pemboman yang terjadi baru-baru ini di Surabaya[2]
oleh sejumlah media mainstream di Indonesia, semakin meneguhkan
masyarakat Indonesia bahwa teror, teroris dan terorisme adalah musuh semua
suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA). Sehingga, masyarakat harus
bahu-membahu bersama Polri untuk menabuh genderang perang melawan terorisme (zero
tolerance). Karena tidak hanya menimbulkan korban, tapi aksi biadab yang
melibatkan anak kecil tak berdosa itu, juga mencoreng nama baik agama Islam
yang cinta damai, terlebih lagi terjadinya di bulan Ramadhan.
2. Resonansi
Apa yang tv sajikan merupakan
representasi kehidupan nyata sehari-hari para penonton. Contoh: Penonton yang
bermukim di Kota Medan, yang memang terkenal dengan tingkat kriminalitasnya
yang tinggi. Lantas, ketika melihat pemberitaan tentang begal yang ditayangkan
di tv, sekalipun terjadi di daerah lain maka akan menimbulkan kengerian di
benak penonton tersebut. Sehingga, ia lebih berhati-hati dan waspada saat
berkendara di malam hari, sebab realitas tayangan tersebut sangat dekat dengan
realitas yang ada di lingkungan tempat penonton bermukim.
Menurut Gerbner (dalam Morissan, 2013:
525), kondisi semacam ini memberikan dosis ganda (double dose) terhadap
pesan yang akan memperkuat proses terjadinya kultivasi. Sebagaimana dikemukakan
Gerbner, “The congruence of the television world and real-life circumstances,
may ‘resonate’ and lead to markedly amplified cultivation patterns.” (Kesamaan
yang ditayangkan dunia tv dan situasi dunia nyata, dapat menghasilkan gaung dan
mengarah pada pola-pola kultivasi yang semakin diperkuat).
Studi Kasus
Setidaknya, ada satu masalah yang
menjadi bukti belum berkualitasnya penyiaran kita,
yaitu tayangan televisi kita yang belum menghormati hak privasi. Meskipun mengklaim
telah mendapatkan
persetujuan dari subjek yang ditayangkan. Namun, tetap saja
hal tersebut tidak masuk di akal. Bagaimana
mungkin ada orang yang mau mengumbar-umbar aibnya didepan khalayak ramai. Lagipun, tidak ada kepentingan publik didalamnya. Fenomena ini jelas bertentangan dengan norma-norma sosial yang kita anut, dan bertentangan dengan beberapa pasal P3SPS sebagai berikut:
SPS, BAB IX, Pasal 13 menyebutkan:
(1) Program siaran wajib menghormati hak privasi
dalam kehidupan pribadi objek siaran;
(2) Program siaran tentang permasalahan kehidupan
pribadi tidak boleh menjadi materi yang ditampilkan dan/atau disajikan dalam
seluruh isi mata acara, kecuali demi kepentingan publik;
(3) Kepentingan publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatas terkait dengan penggunaan anggaran negara, keamanan negara, dan/atau permasalahan hukum pidana.
SPS, BAB IX, Pasal 14 menyebutkan: Masalah kehidupan pribadi sebagaimana
dimaksud pada Pasal 13 dapat disiarkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Tidak berniat merusak reputasi objek yang
disiarkan;
b. Tidak memperburuk keadaan objek yang
disiarkan;
c. Tidak mendorong berbagai pihak yang terlibat
dalam konflik mengungkapkan secara terperinci aib dan/atau kerahasiaan masing-masing
pihak yang berkonflik;
d. Tidak menimbulkan dampak buruk terhadap
keluarga, terutama bagi anak-anak dan remaja;
e. Tidak dilakukan tanpa dasar fakta dan data
yang akurat;
f. Menyatakan secara eksplisit jika bersifat
rekayasa, reka-ulang atau diperankan oleh orang lain;
g. Tidak menjadikan kehidupan pribadi objek yang disiarkan
sebagai bahan tertawaan dan/atau bahan cercaan; dan
h. Tidak boleh menghakimi objek yang disiarkan.
‘Pagi
Pagi Happy’ di Trans TV merupakan tayangan yang kerap mengumbar privasi seseorang.
Hampir di setiap paginya tayangan ini memberikan gambaran kepada kita, bahwa
tidak ada lagi penghargaan televisi terhadap privasi seseorang. Melainkan
semuanya lembaga penyiaran kulik demi mengejar rating dan share,
serta keuntungan profit yang banyak. Tentu, jika terus dibiarkan, tayangan
semacam ini akan berdampak negatif kepada masyarakat, seperti: adanya upaya
justifikasi (pembenaran) terhadap tayangan yang mengekspoitasi privasi
seseorang, sebagai sebuah kebebasan yang kebablasan; sekaligus membuat resah para
orangtua, jika tayangan tersebut ditonton oleh anak-anak diluar pengawasan
mereka. Sudah seharusnya, tayangan pada pagi hari merupakan tayangan yang sarat
edukasi dan mendidik.
Musabab
itu, Komisi Penyiaran Daerah Provinsi Sumatera Utara (KPID-SU) baru-baru ini
sepakat memberikan teguran kepada tayangan ‘Pagi Pagi Happy’ dengan catatan
tayangan tersebut dihentikan, atau mengubah jadwal tayangnya menjadi tengah
malam sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pemberian sanksi ini, karena
program siaran menayangkan permasalahan kehidupan pribadi Lucinta Luna, dan
menghadirkan seorang waria teman Lucinta Luna. Program yang tayang pada tanggal
27 Maret 2018, pukul 09.43 wib ini jelas melanggar SPS, BAB IX, Pasal 13, Ayat
(1); dan SPS, BAB IX Pasal 14, butir a dan c. Selain itu, KPID-SU juga sepakat
memberikan teguran yang sama kepada tayangan ‘Pagi Pagi Happy’, karena program
siaran ini menayangkan tulisan yang mempunyai
makna cabul (mesum). Program yang tayang pada tanggal 27 April 2018, pukul
08.38 wib ini jelas melanggar SPS, Bagian Kedua, pasal 24, Ayat (1) yang
berbunyi, “Program siaran dilarang menampilkan ungkapan kasar dan makian, baik
secara verbal maupun nonverbal, yang mempunyai kecenderungan menghina atau
merendahkan martabat manusia, memiliki makna jorok/mesum/cabul/vulgar, dan/atau
menghina agama dan Tuhan”.
Tidak hanya dalam perspektif hukum,
dalam perspektif teori kultivasi pun, ketika tv salah mempersepsikan dunia, maka masyarakat pun bakal salah
dalam memahaminya. Lantas, pengeksploitasian privasi seseorang dalam
tayangan apapun jelas tidak dapat kita benarkan.
Daftar Pustaka
Morissan. (2013). Teori Komunikasi Individu
Hingga Massa. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program
Siaran (P3SPS) Tahun 2012.
Rekapitulasi Pelanggaran Isi Siaran Televisi Bulan Maret-April
2018, milik Komisi Penyiaran Indonesia
Daerah Provinsi Sumatera Utara (KPID-SU).
[1]
Contoh 1: Seseorang yang menyempatkan dirinya
setiap rabu malam untuk menonton Mata Najwa di Trans7; Contoh 2: Mereka yang nobar
(nonton bareng) final Liga Champions antara Real Madrid kontra
Liverpool yang berakhir dengan skor 3-1. Ketika petandingan usai (dengan Real
Madrid sebagai kampiun, dan striker Liverpool Mohammad Salah yang cidera akibat
tertiban tubuh besar bek Real Madrid, Sergio Ramos), maka para penonton pun
bubar; atau Contoh 3: Seorang Mahasiswa S2 yang menyempatkan dirinya menonton
tayangan ‘Indonesiaku’ setiap hari Senin-Selasa pukul 15.45 wib, karena
berkaitan dengan tesis yang sedang dikerjakannya.
[2] Pemboman terjadi di beberapa
tempat ibadah, seperti: Gereja Kristen Indonesia (GKI); Gereja Pantekosta Pusat
Surabaya (GPPS); dan Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela pada waktu yang
hampir bersamaan. Selain itu, bom bunuh diri juga menyasar gedung vital Negara,
seperti Mako Brimob. Tragedi mengenaskan itu tidak sedikit menimbulkan korban
luka dan meninggal dunia, baik dari pihak korban sipil, anggota Polri, bahkan
pelaku di tempat.
Komentar
Posting Komentar