ERA MASYARAKAT MASSA DAN BUDAYA MASSA (By: Karina Silitonga)
sumber: www.google.co.id |
Sejarah Teori
Masyarakat Massa
Teori
masyarakat massa lahir, ketika terjadi perubahan sosial di Eropa, yang ditandai
dengan beralihnya orientasi pekerjaan masyarakat dari bercocok tanam menjadi buruh
pabrik. Perubahan sosial ini, menjadikan masyarakat Eropa terbebas dari
kesewenang-wenangan tuan tanah, dan meningkatnya urbanisasi (perpindahan
masyarakat dari desa ke kota), guna memperoleh hidup yang lebih layak.
Tak
ingin ketinggalan, industri media massa kala itu pun ikut berbenah. Mereka juga
melakukan sebuah terobosan untuk mendapatkan untung yang lebih banyak. Yaitu
dengan menjual Koran-koran kepada kaum proletar (miskin). Jadi, tidak hanya
menjual koran kepada kaum kapitalis saja. Sebab, secara jumlah jelas kaum
proletar lebih banyak ketimbang kaum bourjuis. Namun, kendala muncul, yaitu ada
banyak dari kaum proletar yang buta huruf (tidak bisa membaca), sehingga
menjual koran kepada mereka merupakan suatu tindakan yang sia-sia saja. Hingga,
muncul lah ide untuk terlebih dahulu menyekolahkan mereka, sampai mereka
benar-benar terlepas dari buta aksara.
Walaupun
tujuan utama dari sekolah ini bukan untuk mencerdaskan kaum proletar, melainkan
agar koran-koran mereka laku di kemudian hari[1]. Namun,
pendidikan ini berhasil menjadikan mereka terbebas dari buta huruf. Walhasil,
koran-koran pun mulai banyak dibaca oleh kaum proletar. Hanya saja kontennya
disesuaikan dengan kebutuhan dan kepuasan kelas bawah. Kami meyakini, ‘Penny
Press’ dan ‘Yellow Journalism[2]’
kala itu yang menjawab kebutuhan dan kepuasan kelas bawah, tak jauh berbeda
dengan keberadaan koran ‘Metro 24’ sekarang ini, yang konten pemberitaannya
tidak jauh-jauh dari kriminal, perkosaan dan ‘selangkangan’. Namun, tentu
tampilan koran ‘Penny Press’ kala itu menyesuaikan dengan keadaan di zamannya.
Akibat dari kondisi masyarakat proletar yang
semakin melek huruf (sadar baca),
disatu sisi semakin menimbulkan kekhawatiran di kalangan kaum bourjuis, bahwa
fenomena ini akan membahayakan posisi mereka ke depannya. Apalagi, jika kelas
bawah semakin pintar, dan tidak lagi bodoh seperti dulu ketika belum mengenal
baca-tulis. Walhasil, para kaum kapitalis pun berang dan menuntut media untuk
bertanggungjawab, karena telah mencerdaskan kehidupan kaum proletar. Perlu kita
ketahui bersama, bahwa kaum kapitalis/bourjuis (golongan elit bangsawan)
benar-benar takut akan perubahan tatanan sosial yang selama ini mereka
ciptakan, guna meraup keuntungan sebanyak mungkin tanpa ada satupun yang berani
mengusik mereka. Namun, dengan semakin cerdasnya kaum proletar lewat
informasi-informasi di koran, menjadikan mereka tahu untuk menuntut keadilan
dan kesejahteraan yang selama ini tidak mereka dapatkan.
Berangkat
dari sejarah inilah, kemudian media massa dipandang memiliki pengaruh yang powerfull (efek tidak terbatas), untuk
mencerdaskan kehidupan kaum proletar dan mengubah struktur sosial
(bourjuis-proletar) yang selama itu ada. Media dinilai memiliki kekuatan yang
sangat besar dalam membentuk persepsi masyarakat Eropa kala itu dalam memandang
dunia, dalam memandang penindasan secara hegemoni yang selama ini seolah tidak
mereka rasakan.
Walhasil,
teori masyarakat massa menilai media massa merusak tatanan sosial tradisional,
dimana kaum kapital adalah tuan dan kaum proletar adalah buruh menjadi kian
kabur. Sehingga, kaum kapital merasa perlu mengambil beberapa tindakan untuk
mengambalikan lagu-lagu lama[3],
dan menghentikan pengaruh buruk media (versi mereka) tersebut. Namun, seolah
tak terbendung, kaum proletar terus membaca dan membaca, mencari informasi,
mengurangi ketidakpastian hidup yang selama ini membelenggu kehidupan mereka
(Baran dan Davis, 2000: 12).
Asumsi Teori Masyarakat
Massa
Berikut
beberapa asumsi terkait teori masyarakat massa, diantaranya:
1. Media dipandang sebagai sesuatu yang
membahayakan, mempunyai kekuatan yang besar dalam masyarakat. Musabab itu,
harus dibersihkan atau dilakukan restrukturasi total.
Asumsi ini masih relevan dengan
keadaan sekarang ini. Walaupun konteks ketika itu merupakan perjuangan kaum proletar
melawan kesewenang-wenangan kaum bourjuis, lewat pencerdasan yang dilakukan
media. Namun, kini media dipandang sebagai sesuatu yang membahayakan bagi anak
dan remaja, lewat tayangannya yang sepenuhnya belum mendidik dan mencerdaskan.
2. Media mempunyai kekuatan menjangkau
dan mempengaruhi secara langsung terhadap pemikiran rata-rata orang.
Asumsi ini masih relevan dengan
keadaan sekarang ini. Terbukti, sedikit banyak media lewat tayangannya
mempengaruhi pola pikir (level kognitif), perasaan (afektif), dan/atau perilaku
(behavioral) kita. Bila asumsi media ini digunakan oleh sebagian penguasa,
tentu dapat menjadi corong politik dan penunjang citranya dihadapan para
konstituen.
Tentu hal ini sangat berbahaya bagi
independensi media dalam menginformasikan suatu pemberitaan, terutama bila itu
menyangkut penguasa ataupun pemilik media-nya sendiri. Kita menyadari bersama,
bahwa newsroom (ruang redaksi) tidak
boleh disusupi oleh kepentingan pribadi ataupun sekelompok orang. Baik itu
dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Media yang terlalu membebek terhadap
penguasa dan kepentingan para pemilik modalnya, hanya akan menyisakan antipati
khalayak terhadap media tersebut.
Sudah seyogyanya, media menjadi alat
kontrol sosial yang ideal, tanpa harus menanggalkan kepentingannya. Artinya,
media harus benar-benar seimbang antara belahan ideal dan bisninya, sebagaimana
yang diungkapkan oleh A.J. Liebling.
3. Ketika pemikiran orang sudah dirusak
oleh media, semua bersifat jelek, konsekuensi panjangnya adalah kehancuran kehidupan
individu, dan juga problem-problem sosial pada skala luas.
Asumsi ini masih relevan dengan
keadaan sekarang ini. Terbukti, tidak sedikit remaja yang salah pergaulan,
lantaran meniru tayangan-tayangan yang tidak mendidik baik di televisi ataupun
di media jejaring berbagi video seperti You
Tube.
4. Media massa menurunkan nilai
bentuk-bentuk budaya tertinggi, dan membawa pada kemunduran peradaban secara
umum.
Asumsi ini masih relevan dengan
keadaan sekarang ini. Terbukti beberapa fenomena menunjukkan, tayangan media
berhasil melestarikan suatu budaya luhur bangsa. Namun, di satu sisi juga
berhasil menggerus kelestarian suatu budaya nasional.
Dari beberapa asumsi di atas terlihat, bahwa tayangan media
masih memiliki pengaruh yang cukup besar dewasa ini. Sekalipun, telah banyak
kajian yang menunjukkan, bahwa pengaruh tayangan media itu muncul namun
terbatas, seiring dengan kegunaan dan kepuasan yang didapatkan khalayak dari tayangan
media yang mereka tonton.
Tanda Munculnya Era Teori Masyarakat
Massa
Berikut
beberapa tanda munculnya era teori masyarakat massa kala itu, diantaranya:
1. Lahirnya teori Stimulus-Respon
(S-R Theory)
Teori Stimulus-Respon (S-R) diperkenalkan oleh Wilbur Schramm pada tahun 1930-an. Teori ini tergabung kedalam model teori peluru ajaib (magic bullet theory model) dalam
tingkatan efek media massa. Artinya, pengaruh tayangan media massa sangat besar
terhadap khalayaknya. Teori S-R hanya melibatkan dua komponen
dalam proses komunikasi massa yaitu sender
(pengirim) dan receiver (penerima).
Padahal, dewasa ini
kita mengenal komponen-komponen komunikasi massa yang lain, seperti: pesan apa
yang disampaikan, melalui media apa, kepada siapa, dan dengan efek atau feedback (umpan balik) yang bagaimana.
2. Lahirnya
teori jarum hipodermik
(hypodermic needle theory)
Teori jarum suntik (hypodermic needle theory) yang diperkenalkan oleh Elihu Katz pada tahun 1930,
dan tergabung kedalam model teori peluru
ajaib (magic bullet theory model).
Teori jarum suntik menjelaskan, tayangan televisi memiliki kekuatan yang besar
(super, great power, all powerfull)
atas khalayak penontonnya. Ibarat tindakan menyuntikkan obat yang bisa langsung
berefek kedalam jiwa penerima pesan. Atau sebagaimana peluru yang ditembakkan
dan langsung masuk kedalam tubuh manusia (Morissan, 2013: 504). Maka daripada
itu, teori ini memandang khalayak penontonnya sebagai subjek yang bersifat
atomistis, pasif dan homogen dalam menerima isi media.
3. Muncul definisi ‘Komunikasi’ oleh Harold Dwight Lasswell, sebagai suatu proses pesan yang melibatkan
who (siapa), says what (pesan apa yang
disampaikan), in which channel (melalui
media apa), dan with what effect
(dengan efek/umpan balik yang bagaimana). Artinya, keterpengaruhan media
juga sangat ditentukan oleh komponen-komponen komunikasi massa yang lain, tidak
hanya oleh pengirim dan penerima pesannya saja.
Budaya
Massa
Produk yang dihasilkan media massa
adalah budaya. Baik itu berupa budaya yang positif maupun negatif. Positif
dalam artian media massa turut melestarikan budaya-budaya nasional dan juga
kelanggengan demokrasi di tanah air. Negatif dalam artian media massa tidak
lagi berperan untuk kemaslahatan masyarakat, bangsa dan negara, melainkan
menghamba dan menjilat penguasa demi kepentingan sesaat (profit dan politik).
Musabab itu, media massa harus kembali ke khittah
(lajur)-nya sebagai wadah penyampaian informasi, hiburan yang sehat,
kontrol dan perekat sosial, serta mendidik warganya.
Sampai dengan saat ini, beberapa survey
menunjukkan bahwa televisi disusul oleh media internet (sosial media dan media
daring) masih menjadi influencer (pemberi
pengaruh) nomor wahid dalam konteks
budaya kita. Musabab itu, keterpengaruhannya yang tinggi harus diarahkan kepada
terjaganya integrasi (persatuan) antar anak-anak bangsa; menghargai keberagaman
sebagai satu kekayaan bangsa yang harus senantiasa dijaga; serta budaya
gotong-royong yang tidak boleh luntur, seiring dengan masuknya budaya Barat (Western) yang terkenal dengan budaya
individualnya; serta kesantunan dan budaya ketimuran kita yang harus senantiasa
lestari, baik kepada sesama anak-anak bangsa maupun kepada bangsa lain. Semua
nilai-nilai budaya luhur ini tidak boleh luntur, seiring dengan pergolakan
zaman. Maka, media massa dengan segala fungsi dan tingkat keterpengaruhannya yang
tinggi di masyarakat, punya tanggungjawab untuk terus mensosialisasikannya.
Simpulan
Awal Teori Masyarakat Massa
1. Teori
masyarakat massa menjelaskan, bahwa media massa mempunyai pengaruh yang kuat
kepada khalayaknya. Hal ini merujuk pada locus
(tempat) dan sebab munculnya teori ini.
2. Di
era ini, masyarakat belum mampu mengontrol terpaan media massa terhadapnya. Hal
ini karena kondisi masyarakat yang masih pasif, atomistis dan homogen dalam
bermedia.
3. Merujuk
pada sejarah terbentuknya teori ini, maka pengaruh media dapat berbentuk
positif maupun negatif. Positif, ketika media mampu lewat kontennya untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan melawan dari berbagai bentuk penindasan. Negatif, ketika
tingkat keterpengaruhan media terhadap khalayak yang tinggi itu, dimanfaatkan
oleh segelintir elit untuk kepentingan pribadi/kelompoknya dengan mengabaikan
hak-hak masyarakat.
4. Masyarakat
massa dan budaya massa merupakan proses terjadinya komunikasi massa, yang tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain.
[1] Di zaman penjajahan Belanda,
kaum pribumi juga pernah mereka sekolahkan. Bukan untuk mencerdaskan anak-anak
Bangsa Indonesia, melainkan agar di kemudian hari dapat dijadikan karyawan-karyawan
kompeni bergaji rendah.
[2] Koran/suratkabar yang isinya
tidak memuat hal-hal yang terlalu berat. Hanya berisi cerita-cerita dengan
sedikit gambar, dan/atau komik, serta harga koran yang terbilang murah pada
masa itu. Hal ini dimaksudkan para produsen koran agar kaum kelas bawah
tertarik untuk membeli dan membaca koran. Tentu harapan produsen koran tersebut
tidak akan sampai, apabila bahasan dalam koran itu menyangkut perekonomian, sistem
pemerintahan dan sebagainya, yang bagi mereka terlalu sulit untuk dipahami.
Dewasa ini, apa yang dilakukan produsen koran pada masa itu disebut dengan
kelihaian dalam melihat segmentasi/ceruk pasar media.
[3] Bagi kaum kapital, media massa
memiliki kekuatan luar biasa untuk menciptakan hegemoni di ruang publik, guna
mempertahankan status quo-nya. Status
quo berasal dari bahasa Latin, artinya ‘keadaan tetap sebagaimana keadaan
sekarang atau keadaan sebelumnya’. Jadi, mempertahankan status quo berarti mempertahankan keadaan
sekarang yang tetap seperti keadaan sebelumnya (tetap memimpin).
Komentar
Posting Komentar