Tayangan Televisi Belum Ramah Anak dan Remaja (by: Intan Idiani)

sumber: www.google.co.id

*      Pendahuluan
Efek media komunikasi massa merupakan setiap perubahan yang terjadi didalam diri penerima pesan media. Dalam konteks televisi misalnya, tayangan televisi dapat memengaruhi pola pikir, sikap dan perbuatan penontonnya. Terkhusus, bagi anak-anak yang memang masih memiliki tingkat imitasi (peniruan) yang cukup tinggi, dan remaja yang memiliki tingkat kelabilan dalam proses pencarian jati diri.Sehingga, keduanya dalam kondisi psikologis umur seperti itu, dapat digolongkan rentan terhadap dampak negatif media yang belum tentu mampu mereka saring. Bahkan bagi mereka, konten media adalah sabda yang tidak perlu diragukan lagi kebenarannya, sehingga patut untuk ditiru.
Disisi lain, para orangtuapun masih berharap adanya tayangan yang aman bagi anak dan remaja. Aman dalam artian tayangan tersebut berkualitas dan memberikan manfaat. Bisa dalam bentuk tayangan yang menghibur, namun tetap memuat nilai-nilai pendidikan, motivasi, sikap percaya diri anak, mengandung nilai-nilai kerjasama, saling menghormati, cinta tanah air, kesederhanaan dan nilai-nilai positif lainnya. Bukan malah yang secara tidak langsung mengajarkan anak untuk saling mem-bully; memuat kata-kata bernada ejekan, kata-kata kotor/kasar; menonjolkan unsur kekerasan[1], adegan berbahaya; melanggar norma kesopanan; mengandung unsur horor, mistik, dan supranaturalyang dapat berdampak secara langsung atau tidak terhadap tumbuh kembang mereka.
“…. isi hiburan tidak jelas dan asal joget. Yang penting bisa ketawa-ketawa. Belum lagi bila mereka menonton tayangan yang menggambarkan realitas sekolah di televisi dipenuhi kisah-kisah ironis; dominasi percintaan remaja, kisah cinta guru dengan murid, guru kurang dihormati muridnya, perkelahian, malas belajar, gaya hidup hedon, budaya instan, perempuan menggunakan rok mini di atas lutut, berpakaian ketat, budaya alay di-booming-kan, dan lain-lain” (petikan opini Yuliandre Darwis, Ketua KPI Pusat dalam newsletter-nya).
Hasil kajian Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) pun turut merilis, bahwa mayoritas acara anak di televisi kita masih masuk dalam kategori ‘tidak aman’, yakni 59% dari 1.401 acara anak yang mereka analisis. Hasil YPMA ini menegaskan, tayangan anak yang memang aman buat mereka masih kalah banyak. Maka, tak salah jika banyak orangtua menginginkan tayangan anak yang aman di televisi untuk diperbanyak. Tidak hanya aman, para orangtua juga menuntut tayangan anak yang berkualitas dan memberikan manfaat lebih seperti memberikan pendidikan, motivasi, mengembangkan sikap percaya diri anak, dan menanamkan nilai-nilai positif dalam kehidupan mereka (newsletter KPI Pusat, edisi November-Desember 2017).
Tuntutan para orangtua di atas jelas berkesesuaian dengan bunyi UU PenyiaranBAB II, Pasal 4 yang menyebutkan, salah satu fungsi kegiatan komunikasi massa adalah memberikan hiburan yang sehat. Teori Komunikasi menyebutnya‘to entertain’. Artinya, hiburan yang disajikan media kepada khalayak harus berisi nilai dan pesan yang sarat makna. Seperti tayangan yang mampu mendidik dan memberikan contoh tauladan yang baik bagi penontonnya.
“Maupun hiburan yang tidak mendidik kerap ditampilkan televisi pada jam-jam prime time pukul 18.00-21.00. Padahal, jika saat-saat penting itu siaran televisi diisi hiburan sehat dan cerdas yang memiliki nilai ke-Indonesiaan, kebhinekaan, penanaman nilai-nilai Pancasila tentu akan jauh lebih baik…”(petikan opini Yuliandre Darwis, Ketua KPI Pusat dalam newsletter-nya).
*      Perihal Tayangan Horor Bagi Anak
Terkhusus untuk tayangan yang mengandung unsur horor dan mistik telah diatur dalam regulasi P3, BAB XVI, Pasal 20 yang berbunyi, “Lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program siaran bermuatan mistik, horor dan supranatural”. Adapun, pelarangan dan pembatasannya sebagai berikut:
SPS, BAB XVI, Bagian Pertama, Pasal 30:
(1)   Program siaran yang mengandung muatan mistik, horor, dan/atau supranatural dilarang menampilkan hal-hal sebagai berikut:
a) mayat bangkit dari kubur;
b) mayat dikerubungi hewan;
c) mayat/siluman/hantu yang berdarah-darah;
d) mayat/siluman/hantu dengan pancaindera yang tidak lengkap dan kondisi mengerikan;
e) orang sakti makan sesuatu yang tidak lazim, seperti: benda tajam, binatang, batu, dan/atau tanah;
f) memotong anggota tubuh, seperti: lidah, tangan, kepala, dan lain-lain; dan/atau
g) menusukkan dan/atau memasukkan benda ke anggota tubuh, seperti: senjata tajam, jarum, paku, dan/atau benang.
(2)   Program siaran yang bermuatan mistik, horor, dan/atau supranatural yang merupakan bagian dari pertunjukan seni dan budaya asli suku/etnik bangsa Indonesia dikecualikan dari ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf e, huruf f, dan huruf g, dan hanya dapat disiarkan pada klasifikasi D, pukul 22.00-03.00 waktu setempat.
Pasal 31: Program siaran yang menampilkan muatan mistik, horor, dan/atau supranatural dilarang melakukan rekayasa seolah-olah sebagai peristiwa sebenarnya, kecuali dinyatakan secara tegas sebagai reka adegan atau fiksi.  Bagian Kedua, Pasal 32: Program siaran yang menampilkan muatan mistik, horor, dan/atau supranatural yang menimbulkan ketakutan dan kengerian khalayak dikategorikan sebagai siaran klasifikasi D, dan hanya dapat disiarkan pada pukul 22.00-03.00 waktu setempat.
Beberapa pasal di atas menunjukkan, bahwa jam tayangan horor harus benar-benar disesuaikan sehingga tidak ditonton anak.Dalam perspektif psikologi, tayangan horor dapat memberikan efek ketakutan terhadap objek yang seharusnya tidak ditakuti, lantaran terus-menerus dipertontonkan. Misalnya kebun dan gelap kerap diasosiasikan sebagai tempat yang menyeramkan. Padahal, kebun adalah tempat yang indah dan gelap karena tidak adanya listrik. Tayangan horor hanya akan memberikan dampak traumatis pada anak, jika tidak ada pendampingan orangtua. Anak-anak harus diajarkan untuk tidak takut pada hantu, kecuali pada Tuhan saja. 
Sebagian kalangan berpendapat, konsep ‘hantu’ memang telah ada sejak kita lahir, dan media berperan untuk mengaktifkannya kembali dalam memori. Namun, kita sepakat tayangan yang tidak bermanfaat tersebut harus bersih dari layar kaca kita. Sehingga, anak-anak dan remaja kita mendapatkan tontonan yang layak, dan memang menjadi haknya.
Sudah seyogyanya televisi di Indonesia memiliki tayangan-tayangan yang mendidik bagi anak-anak dan remaja. Salah satunya seperti tayangan Upin dan Ipin di MNC TV, yang mengajarkan anak-anak untuk mau saling menghargai atas keberagaman yang ada. Baik itu menyangkut Suku, Agama, Ras dan Antar-Golongan (SARA). Namun, anak-anak yang menonton tayangan ini tetap harus mendapatkan bimbingan dari orangtuanya. Terutama pada adegan yang menampilkan Kak Sally; seorang laki-laki bernama asli ‘Bang Saleh’ yang bertingkah laku layaknya seorang perempuan. Sehingga, anak-anak tidak berperilaku seperti itu dalam kehidupan sehari-hari.
Tayangan televisi harus maksimal dalam memainkan perannya sebagai media pendidikanpublik secara informal, dan hiburan yang sehat bagi keluarga. Sebagaimana hal tersebut termaktub dalam UUNo. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran yang berbunyi, “Penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial”(Bab II, Pasal 4, Ayat (1)); juga pada SPS, BAB X, Pasal 15 Ayat (1): Program siaran wajib memerhatikan dan melindungi kepentingan anak-anak dan/atau remaja; Begitupula pada BAB XVII, Bagian Keempat, Pasal 37: (1) Program siaran klasifikasi R mengandung muatan, gaya penceritaan, dan tampilan yang sesuai dengan perkembangan psikologis remaja; (2) Program siaran klasifikasi R berisikan nilai-nilai pendidikan dan ilmu pengetahuan, nilai-nilai sosial dan budaya, budi pekerti, hiburan, apresiasi estetik, dan penumbuhan rasa ingin tahu remaja tentang lingkungan sekitar.
*      Teori Efek Media Komunikasi Massa Terkait
Teori yang cocok untuk membahas fenomena efek media komunikasimassa di atas, yakni teori jarum suntik (hypodermic needle theory) yangdiperkenalkan oleh Elihu Katz pada tahun 1930, dan tergabung kedalam model teori peluru ajaib (magic bullet theory model). Teori jarum suntik menjelaskan, tayangan televisi memiliki kekuatan yang besar (super, great power, all powerfull) atas khalayak penontonnya. Ibarat tindakan menyuntikkan obat yang bisa langsung berefek kedalam jiwa penerima pesan. Atau sebagaimana peluru yang ditembakkan dan langsung masuk kedalam tubuh manusia (Morissan, 2013: 504). Maka daripada itu, teori ini memandang khalayak penontonnyasebagai subjek yang bersifat atomistis, pasif dan homogen dalam menerima isi media.Adapun teori-teori yang sejalan dengan teori ini adalah transmition belt theory (teori sabuk transmisi), dan teori Stimulus-Respon (S-R)yang diperkenalkan oleh Wilbur Schrammjuga pada tahun 1930-an.
Merujuk pada sejarah, pengertian seperti ini muncul, karena kala itu radio (termasuk kedalam jenis komunikasi massa) memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam melancarkan propaganda. Salah satu contoh propaganda yang terkenal ‘menakutkan’ pada masa perang dunia adalah propaganda yang disiarkan oleh stasiun radio milik Nazi – Jerman dibawah pemimpin otoriter Adolf Hitler. Dalam siaran propaganda itu dan atas usulan Menteri Propaganda-nya, Joseph Gobbels, Hitler berhasil menanamkan rasa etnosentrisme pada masyarakar Jerman Ras Arya untuk memusuhi Yahudi (anti-Yahudi). Bahkan, propaganda ini berhasil memuluskan rencana Nazi untuk memusnahkan mereka dalam tragedi ‘Holocaust’ yang kelam.
Berpijak dari sejarah inilah, masyarakat mempersepsikan bahwa media massa memiliki pengaruh yang amat dahsyat, kalau tidak bisa dikatakan mematikan (baca: pengaruh buruk media). Bahkan, Napoleon Bonaparte, salah satu tokoh penting dalam sejarah Perancis, pernah mengatakan ketakutannya terhadap pena wartawan (pemberitaan di suratkabar, yang juga termasuk kedalam jenis komunikasi massa) ketimbang beberapa prajurit yang siap dengan senapan mereka.
Selain itu, memang tidak sedikit pihak yang mengatakan, bahwa era efek media komunikasi massa telah usai. Namun, perlu penulis garis bawahi di sini, bahwa hasil survey Nielsen Cross-Platform pada tahun 2017 (artinya baru-baru ini) menunjukkan, meski keberadaan internet sebagai media yang masyarakat konsumsi semakin tinggi, namun belum menggeser keberadaan televisi yang masih memiliki pengaruh hingga 96%. Artinya, data ini sekaligus menguatkan, bahwa sekalipun era pengaruh media televisi oleh sebagian orang dianggap telah berakhir, namun keterpengaruhannya masih tetap ada.Contoh: Pemberitaan tentang Valentino, bocah berusia 5 tahun yang terjun dari lantai 19 apartemen Laguna, Jakarta Utara.Lantaran ingin meniru tokoh idolanya, Spiderman. Meskipun bukan faktor utama, namun tayangan ini turut menjadi pemicu anak tersebut mempraktikkan adegan yang salah. Apalagi, anak merupakan ‘peniru’ ulung di usianya (sumber: m.liputan6.com, 1 Mei 2014) (pernah disampaikan oleh Nadira Lorencia Utami dalam presentasi Komunikasi Massa sebelumnya/pra mid).



[1] Keprihatinan terhadap dampak buruk media yang kita dengar sekarang ini, sesungguhnya telah disuarakan sejak tahun 1900, dan semakin kencang terdengar pada tahun 1930-an dan tahun 1950-an. Tahun 1960-an merupakan zaman kegemilangan, terkait besarnya perhatian para ahli komunikasi massa terhadap permasalahan tentang pengaruh media media terhadap agresivitas para penonton, pembaca, pendengar, dan para penikmat lainnya. Satu komponen penting dalam Telecommunication Act of 1966 adalah adanya kewajiban bagi perusahaan televise untuk memasang peralatan yang dapat menyaring kekerasan elektronik, V-Chip. Setelah itu, setiap tahun kongres senantiasa melakukan rapat dengar pendapat tentang kekerasan dalam video dan film. Pada tahun 2007, kongres bahkan mengajukan perluasan kontrol terhadap konten kekerasan pada jaringan televise kabel dan satelit – hal ini merupakan sebuah gerakan kontroversial dan belum pernah terjadi sebelumnya (Farhi dan Ahrens, 2007).

Komentar

Postingan Populer