PERSPEKTIF EFEK TERBATAS (By: Intan Idiani)

sumber: www.google.co.id

Memang, selama tahun 1930-an, berbagai peristiwa di dunia semakin meneguhkan keberadaan teori-teori yang tergolong dalam model teori peluru (bullet theory model). Artinya, tingkat keterpengaruhan media terhadap khalayak memang tinggi adanya. Salah satu contoh peristiwa itu terlihat lewat sandiwara radio berjudul “The War of The World”, yang Radio CBS siarkan menjelang perayaan Halloween pada tahun 1938. Sandiwara ini menceritakan, bahwa planet bumi telah diserang oleh makhluk ruang angkasa, sehingga menimbulkan kecemasan yang luar biasa bagi sebagian masyarakat. Bahkan kala itu, hampir sekitar satu juta orang mengungsi dari rumah ke yang tempat lain, untuk menyelamatkan diri dari serangan alien. Sehingga, kala itu, media dianggap benar-benar powerfull dalam memengaruhi masyarakatnya untuk percaya, bahwa UFO dan alien itu memang benar ada dan tengah menyerang mereka.
Namun tidak butuh waktu lama, sekitar tahun 1940-an berbagai kritikan mulai dilayangkan oleh mereka yang menyangsikan, bahwa media masih sedigdaya dulu dalam memberikan pengaruh kepada khalayaknya. Salah satu kritikan yang paling keras dilontarkan oleh Paul F. Lazarsfeld[1], salah seorang tokoh komunikasi dan pakar metodologi penelitian. Bahkan, ia di tahun yang sama melahirkan teori tandingan dari hasil penelitiannya yang membuktikan, bahwa efek media komunikasi massa itu terbatas. Teori tersebut bernama two step flow communication (komunikasi dua tahap). Teori yang muncul pada masa Pemilihan Umum Presiden AS itu menunjukkan, bahwa pengaruh media terhadap pilihan masyarakat dalam pemungutan suara ternyata dipengaruhi oleh pemuka pendapat (opinion leaders).
Artinya, pesan komunikasi massa hanya akan efektif, khususnya dalam mengubah sikap dan perilaku, apabila ia dikombinasikan penggunannya dengan komunikasi antarpribadi seperti ditunjukkan dalam interaksi antara opinion leader dan opinion follower (pengikut pendapat). Hanya ada beberapa orang saja yang benar-benar terpengaruh secara langsung oleh kampanye-kampanye langsung di media massa. Lagipun, tingkat keterpengaruhan seseorang sangat ditentukan oleh kesamaan latarbelakang, persepsi, status sosial/sosial ekonomi dan psikologi dengan apa yang ia tonton. Pada akhirnya, tayangan media hanya berfungsi sebagai referensi/rujukan, untuk meneguhkan kembali (reinforcement) apa-apa yang telah menjadi sikap dan pilihan para penonton sebelumnya. Sebagaimana dikatakan Dr. Amir Purba, Dosen Senior Ilmu Komunikasi USU dalam suatu perkuliahan, “Apabila tayangan media mampu meneguhkan pada tataran kognitif (pola pikir) dan afektif (perasaan), maka komunikasi antarpribadi mampu mengubah pada tataran behavioral (tindakan) seseorang menjadi seperti yang kita inginkan”.
Berikut kami paparkan beberapa alasan mengapa efek media komunikasi massa tidak lagi  berlaku, terutama pada model teori pelurunya, diantaranya:
1.     Teori S-R yang merupakan bagian dari model teori peluru, terlalu sederhana untuk menggambarkan proses komunikasi yang kompleks.
2.     Setiap individu tetap bisa membuat pilihan terhadap tayangan media massa, yang ingin mereka konsumsi.
3.     Studi tentang opinion leadership (studi Rovere), studi tentang keputusan konsumen (studi Decatur), dan lain-lain menunjukkan adanya peranan yang besar dari kontak-kontak antarpribadi. Tanpa hal ini, komunikasi massa tidak dapat berbuat banyak.
4.     Carl Hovland dari Institute for Propaganda Analysis melaporkan, film (media massa) hanya efektif dalam penyampaian atau penerusan informasi (level kognitif), tetapi sangat kurang efektif dalam mengubah sikap (level behavioral).
Dan, berikut kami juga memaparkan bagan tentang kekuatan dan kelemahan teori two step flow communication (salah satu teori yang menentang kedigdayaan media massa dalam memberikan pengaruh terhadap khalayaknya).
No.
Kekuatan
Kelemahan
1.
Menunjukkan bahwa media tidak serta-merta dapat memberikan pengaruhnya, tanpa adanya peran opinion leader untuk menyampaikan kembali isi pesan media tersebut.
Penelitian ini hanya terbatas pada masanya, yaitu tahun 1940-an, sedangkan sekarang sudah tahun 2018. Sehingga, perlu dilakukan penelitian ulang untuk meng-upgrade data.
2.      
Opinion leader memiliki peran penting dalam teori ini, terutama pada masyarakat pedesaan/struktural mekanik.
Meremehkan dampak media yang melulu dianggap buruk


[1] Paul F. Lazarsfeld memang tidak menyatakan secara tegas dalam teorinya, bahwa khalayak media massa mulai aktif, selektif, heterogen dan dinamis. Namun, ciri-ciri pada opinion leader dalam menseleksi tayangan media untuk dikonsumsi dan disebarkan kepada pengikutnya menunjukkan, bahwa two step flow communication mulai meninggalkan ciri-ciri khalayak yang pasif, homogen dan atomistis, sebagaimana yang terdapat pada bullet model theory (terdapat pada era masyarakat dan budaya massa).

Komentar

Postingan Populer