ERA TEORI KOMUNIKASI MASSA

sumber: www.google.co.id

A.    Latar Belakang
Sejatinya, teori-teori dalam Ilmu Komunikasi tidak hanya berakhir pada teori komunikasi antarpribadi saja, atau tidak hanya berakhir pada teori komunikasi kelompok (kecil/besar) saja,  melainkan juga terus berlanjut kepada teori-teori komunikasi massa.
Tentu, kita mengetahui bersama, bahwa era komunikasi massa terdiri dari 5 zaman, yaitu: 1. Zaman tanda dan isyarat (The age of signs and signals); 2. Zaman bahasa lisan (The age of speech and language); 3. Zaman bahasa tulisan (The age of writing); 4. Zaman cetak (The age of printing); dan 5. Zaman komunikasi massa (the age of mass communication). Namun, tentu pada makalah ini kita tidak merujuk pada uraian Melvin L De Fleur dan Ball-Rokeach S (1989) tentang perkembangan komunikasi massa itu. Melainkan pada makalah ini, kami merujuk pada buku milik Stanley J. Baran (2010) berjudul “Teori Komunikasi Massa: Dasar, Pergolakan dan Masa Depan”, terbitan Salemba Humanika, Jakarta.
Dalam buku itu disebutkan ada 4 era teori komunikasi massa, yaitu: 1. Era Masyarakat Massa dan Budaya Massa; 2. Perspektif Ilmiah Mengenai Komunikasi Massa Menyebabkan Munculnya Perspektif Efek Terbatas; 3. Pergolakan di Lapangan: Perspektif Budaya Menantang Teori Efek Terbatas; dan 4. Kemunculan Perspektif Penciptaan Makna Pada Media. 
Era Teori Komunikasi Terus Berevolusi
Secara sederhana, teori dapat dikatakan sebagai alat untuk menjelaskan suatu fenomena yang terjadi. Hal ini merujuk pada penuturan Dr. Fikarwin Zuska, Antropolog USU yang mengatakan, “teori itu adalah explanandum (menjelaskan)” dalam suatu perkuliahan yang kami ikuti. Namun, tentu kita menyadari tak cukup satu teori untuk menjelaskan satu fenomena. Bahkan, sebuah teori harus terus di-upgrade tingkat validitas (kebenaran)-nya untuk menjawab tantangan zaman yang terus berubah-ubah.
Dalam paradigma Thomas Khun, sebagaimana diajarkan oleh Prof. Badaruddin, Guru Besar FISIP-USU dan Dr. Amir Purba, Dosen Senior Ilmu Komunikasi USU dalam mata kuliah Teori Sosial Pembangunan, bahwa ilmu pengetahuan itu berkembang secara revolusi, terjadi dan terbentuk akibat revolusi. Sehingga, teori-teori yang sudah usang tidak akan digunakan lagi. Dibuang ke tong sampah, dan diganti dengan teori-teori baru yang up to date dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, era teori komunikasi massa merupakan hasil konstruksi manusia yang sifanya dinamis, dan terus berubah-ubah keberadaannya.
“Bagaikan cuaca yang penuh badai, perubahan dalam teori komunikasi dan penelitian komunikasi terjadi begitu cepat dan nyaris tidak terduga. Sebagai contoh: a. semua media komunikasi massa mengalami perubahan dramatis dalam bentuk, isi, dan substansinya; b. bentuk media interaktif terbaru, seperti internet, mengubah model komunikasi massa tradisional dari model komunikasi satu orang ke banyak orang menjadi komunikasi dari banyak orang ke banyak orang pula; c. pola kepemilikan media berubah secara drastis dari sekedar mencari keuntungan berubah haluan menjadi corong politik.” (Jennings Bryant, 2004: 662-663). 
Ya, salah satu kedinamisan itu ialah perkembangan internet yang sangat signifikan, baik dalam bentuk media daring (media online) maupun sosial media, yang secara simultan mengubah tatanan model alur komunikasi, yang mulanya satu tahap (one step flow communication) menjadi banyak tahap (multy step flow communication). Selain itu, keberadaan internet juga memberikan banyak kemudahan dalam aktivitas sehari-hari manusia, seperti: kita dapat ber-say ‘hello’ dengan teman di luar negeri melalui aplikasi video call What’s App dalam smartphone kita; kita dapat memesan makanan tanpa harus keluar rumah, cukup dengan memesannya via Grab dengan harga-harga yang telah ditetapkan pada layar; atau saya dapat menonton ulang tayangan Mata Najwa di Trans7 yang terlewatkan lantaran kesibukan via You Tube. Lewat aplikasi Instagram, kita juga dapat berbagi momen kebahagiaan kita (foto/video) dengan meng-upload-nya; keberadaan Google juga sangat membantu mahasiswa dalam mengerjakan tugas-tugas.
Begitupula halnya dengan keberadaan aplikasi Google Map untuk menunjuk arah, email untuk mengirimkan suatu berkas penting, mendengarkan musik di mobil lewat aplikasi Juke di Facebook, berbagai aplikasi Online Shop (Olshop), baik untuk berbelanja ataupun untuk menjual suatu produk barang/jasa; dan Muslim Pro untuk tujuan beribadah umat muslim seperti membaca al-Qur’an secara praktis. Keberadaan aplikasi ini semua jelas memudahkan kita dalam kehidupan sehari-hari.
Bayangkan! Ada begitu banyak aplikasi bermanfaat yang terdapat dalam smartphone kita, yang ukurannya bahkan hanya sebesar telapak tangan dan setipis papan ujian saja. Hal inilah yang disebut dengan konvergensi media, dimana hilangnya batas perbedaan antarmedia. Semua media menjadi satu, bahkan konsumen dapat dengan mudah menggunakannya pada semua bentuk peralatan yang berbeda (Cooper, 2004: 1). Budaya kita dalam berhubungan sosial pun turut bergeser dengan adanya internet. Contoh: Bila dulu orang menawarkan beberapa batang rokok untuk mengakrabkan suasana, maka kini hal itu telah tergantikan dengan menawarkan ‘hotspot Wi-fi’ (jaringan internet tanpa kabel). Sekaligus, keberadaan internet, terumata sosial media meniadakan batasan/sekat antara presiden dengan rakyatnya. Dapat kita rasakan bersama dewasa ini, bagaimana antara pemimpin dan yang dipimpin bisa saling men-like atau comment atas suatu foto atau status yang mereka posting. 
Dampak Negatif Media Baru (Internet)
Namun, dibalik semua kemudahan itu, internet tetap menyisakan masalah, terutama pada media daring dan sosial medianya. Untuk media daring masalah utama yang dihadapinya ialah tingkat keakuratan berita. Media daring yang dicap handal dalam hal kecepatan itu nyatanya rentan memuat berita hoaks (ngibul/bohong). Begitupula halnya dengan sosial media yang rentan terjadinya tindakan hatespeech (ujaran kebencian), yang menjadi musuh kita bersama. Untuk bulan Mei 2018 misalnya, kami berhasil memonitor jumlah pemberitaan di Harian Waspada terkait sosial media yang digunakan untuk menyebarkan hoaks dan/atau ujaran kebencian, seperti:
1.     “Polda Metro Tahan Pria Penghina Presiden Jokowi” (24/5).
Dalam pemberitaan tersebut, kami mengetahui pria berinisial S, 16, yang memuat videonya dengan menghina dan mengancam Presiden Joko Widodo di sosial media. Dalam video itu terlihat seorang pria berkacamata dan bertelanjang dada, dengan tubuh kekar menghina dan mengancam Presiden Joko Widodo sambil memegang dan menunjuk foto Presiden RI. Berikut kata-katanya, “Gua tembak lu ya, gua pasung. Ini kacung gw ternyata, kacung gua, gua pasung kepalanya. Lihat mukanya, Jokowi gila. Gua bakar rumahnya…. Presiden, gua tantang lu cari gua 24 jam. Lu nggak temuin gua, gua yang menang. Salam Horison Jordani.” (sumber: Waspada).
2.     “Soal Penanganan Kasus Ujaran Kebencian: Penegakan Hukum Terkesan Tebang Pilih” (23/5).
Dalam pemberitaan tersebut, kami mengetahui RYM memposting ujaran kebencian di akun facebook-nya. Proses hukum yang diberikan Polsek Besitang, tempat kejadian perkara kepadanya tetap berlanjut. Hanya saja pelaku tidak ditahan lantaran masih dibawah umur. Berikut kata-katanya, “Sampai kiamat pun negara ini gak akan maju-maju kalau pemimpinnya Islam. Kenapa bisa terjadi? Karena pemimpinnya bingung gimana cara memajukan negaranya, karena ayat kitab suci kalian menyuruh bunuh orang kafir.” (sumber: Waspada). RYM mengaku menulis postingan ini sekedar untuk bercanda dengan teman-temannya, namun ia tidak menyadari bahwa candaannya yang tidak lucu itu malah menuai amarah warga.
3.     “Sebut ‘Jangan Pilih Partai Pendukung Teroris’: Massa Aksi Minta Ketua PDIP Dicopot” (24/5).
Dalam pemberitaan tersebut, kami mengetahui Kesatuan Mahasiswa Peduli Transparansi dan Sejumlah Komunitas Masyarakat Medan-Sumut, menuntut Ketua PDIP Medan, sekaligus Ketua Fraksi PDIP DPRD Medan, Hasyim untuk mengklarifikasi pernyataannya di media sosial ‘Jangan Pilih Partai Pendukung Teroris’. Pendemo menuntut agar dia mengklarifikasi dan mengungkap secara tegas, partai mana yang dimaksudnya sebagai pendukung teroris, dan yang tidak boleh dipilih itu.     
4.     “Polri Akan Tindak Penyebar Video Hoax Letusan Gunung Berapi” (22/5).
Dalam pemberitaan tersebut, kami mengetahui Polri mengancam bakal menindak penyebar video hoaks soal letusan Gunung Merapi yang beredar di media sosial, sesuai dengan pasal-pasal dalam UU ITE yang berlaku.
5.     “Waspadai Hoax Penetapan e-Formasi Pengangkatan CPNS” (15/5).
Dalam pemberitaan tersebut, kami mengetahui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) menghimbau masyarakat untuk waspada terkait beredarnya berita penetapan e-formasi tenaga honorer, pegawai tidak tetap, pegawai tetap non-PNS, dan tenaga kontrak pengangkatan CPNS tahun 2016-2019 di sosial media.
6.     “Komen SARA Soal Teroris, Seorang Ibu Diciduk Polisi” (15/5).
Dalam pemberitaan tersebut, kami mengetahui Ditreskrimsus Polda Aceh telah mengamankan seorang ibu rumah tangga, karena diduga melakukan perbuatan SARA melalui media sosial facebook. Terduga pelaku SARA membagikan postingan terkait rusuhnya Rutan Mako Brimob atas postingan milik orang lain. Selanjutnya, terduga pelaku SARA membalas komentar; “ya say.. memang halal darah orang kafir say..” (sumber: Waspada).
Beberapa kasus di atas dapat terjadi, karena kurangnya literasi pada masyarakat, sehingga kurang bijak dala bersosial media. Selain itu, sosial media juga memiliki begitu banyak fake account (akun palsu/akun anonymous), yang biasanya menggembosi isu SARA untuk tujuan politis. Apalagi di tahun-tahun politik seperti sekarang ini. Untuk itu, kedepannya, kami menyarankan era teori komunikasi tidak hanya terbatas pada pembahasan era masyarakat dan budaya massa, era efek terbatas, dan era penciptaan makna pada media (era efek moderat), tapi juga memasukkan teori-teori baru yang dapat menjelaskan fenomena new media sekarang ini. Baik dari segi positif maupun negatifnya, serta solusi yang dapat diberikan. Selain itu, masalah lainnya adalah konten pemberitaan media daring kita masih didominasi isu-isu pusat (DKI Jakarta). Sebagaimana halnya televisi, koran, serta radio yang cenderung membebek pada pemberitaan media-media mainstream (arus utama). Tentu hal ini akan menyebabkan isu-isu lokal (daerah) kurang mendapatkan tempat.  

Komentar

Postingan Populer