FAKTOR-FAKTOR MUNCULNYA BERITA BIAS (by: Karina Silitonga)
sumber: www.google.co.id |
Adapun
faktor-faktor munculnya berita bias dapat penulis rincikan sebagai berikut:
1. Hierarki Pengaruh Media
Dimana
pemilik modal turut mengontrol konten (isi) media massa yang mereka miliki.
Baik itu untuk mencari keuntungan, maupun untuk tujuan politis; seperti menyebarkan
ideologi mereka dan memobilisasi kesadaran masyarakat secara perlahan tapi
pasti. Pada akhirnya, mobilisasi kesadaran secara masif itu bakal menjadi
hegemoni (mendominasi secara tidak langsung), jika merujuk pada pernyataan
Antonio Gramsci.
Realitas
media massa di Indonesia sendiri menunjukkan, media massa (terutama televisi)
rentan digunakan sebagai corong politik.
Contoh: Pada
Pilpres 2014 silam, para pengusaha media terbesar di Indonesia seperti Aburizal
Bakrie[1],
Surya Paloh[2]
dan Harry Tanoe Soedibjo[3]
telah menentukan sikap mereka untuk mendukung salah satu capres (calon
presiden) dan cawapres (calon wakil presiden) yang bertarung. Sehingga, mereka
menggunakan media yang mereka miliki untuk mendukung pasangan calonnya.
Merujuk pada ‘faktor-faktor yang mempengaruhi
isi media’ milik Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese
(1996: 184), maka fenomena media ini dapat digolongkan kedalam faktor pengaruh terhadap
isi dari luar organisasi media, seperti: kepentingan pasangan calon ataupun partai politik tertentu yang
berafiliasi dengan pemilik media. Berikut bagan C.1 terkait model hierarki;
faktor-faktor yang mempengaruhi isi media.
2. Ekonomi
Politik Media
Ekonomi
politik media memandang, bahwa media tidak terlepas dari yang namanya
kepentingan. Baik itu kepentingan yang bersumber dari pemilik modal,
pemerintah, ataupun kelompok-kelompok lainnya. Namun, pengaplikasian ekonomi politik
media yang berlebihan akan menempatkan jurnalis sebagai instrumen dominasi,
yang dapat digunakan oleh pemilik modal untuk memberitakan sesuatu sesuai
dengan kepentingannya.
Struktur
kapitalis secara dominan mengatur kehidupan industri media, sehingga jurnalis
atau pekerja media seolah-olah tak berjiwa. Para jurnalis tidak mempunyai
kehendak bebas atas semua tindakan mereka, karena semua tindakannya merupakan
cerminan dari struktur kapitalisme global, yang pada akhirnya akan
menghilangkan seluruh kemampuan potensialnya untuk dapat berkarya secara bebas
tanpa adanya kungkungan dari pihak kepentingan (kapitalis) (Kholil &
Dalimunthe, 2015: 104).
Meskipun jurnalis hanya ‘orang gajian’ dalam
struktur media massa, dan secara psikologis tidak mungkin menentang keputusan
orang yang menggajinya. Namun, jurnalis tidak boleh serta-merta tunduk dan
menjadi alat pemilik modal. Jurnalis harus tetap bertindak secara normatif dan
demokratis. Artinya, jurnalis harus tetap berpihak kepada kepentingan
masyarakat dalam menghasilkan pemberitaan yang objektif dan berimbang, tidak
bias dalam menyajikan informasi kepada publik.
Independensi
redaksi merupakan salah satu persoalan yang paling dirasakan. Tekanan demi
tekanan dari pemilik kepada dapur redaksi mengakibatkan sulitnya menghasilkan
keragaman dalam berita (diversity of content). Pemimpin redaksi kerap
tak bisa menghindari tekanan pemilik media, terutama menyangkut kepentingan
politik. Ada anggota redaksi di media yang terpaksa dipecat, karena tidak
mengikuti keinginan pemilik media (Yosep Adi Prasetyo, Ketua Dewan Pers, dewanpers.or.id).
3.
Berita bias muncul akibat adanya komersialisasi yang telah disepakati
antara pemilik media dengan tokoh-tokoh politisi tertentu. Pada satu sisi,
media membutuhkan biaya yang cukup besar untuk mendanai biaya produksi, distribusi,
dan menggaji pekerjanya. Dalam teori ekologi media misalnya, disebutkan salah
satu sumber penunjang kehidupan media adalah modal (capital). Baik itu melalui pemasukan iklan ataupun iuran
berlangganan. Fenomena ini sekaligus dapat kita pahami sebagai rantai simbiosis
antara media massa dan politisi. Di satu sisi, politisi membutuhkan televisi
sebagai panggung untuk mempromosikan dirinya kepada calon pemilih, dan disisi
yang lain media massa membutuhkan sumber dana untuk kelangsungan hidupnya.
4. Berita bias muncul akibat adanya intervensi
dari pemerintah yang sedang berkuasa.
[1] Aburizal Bakrie
selaku Ketua Umum Golkar kala itu, mendukung Prabowo Subianto – Hatta Rajasa
sebagai capres dan cawapres. Sehingga, pemilik saham terbesar pada PT. Visi
Media Asia (tvOne dan antv) ini, menggunakan medianya sebagai corong politik.
Kini, tvOne sendiri telah beralih pimpinan. Direktur utama perusahaan
saat ini adalah Anindra Ardiansyah Bakrie, anak bungsu Aburizal Bakrie (http://m.merdeka.com). Selain itu, pemberitaannya kini pun
cenderung netral, sejak Partai Golkar memutuskan berkoalisi dengan pemerintahan
Joko Widodo.
[2] Surya Paloh, merupakan
Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan merupakan pemilik saham
terbesar di Media Group (Metro TV dan Media Indonesia). Kala itu, Surya dan
partainya mantap mendukung Jokowi-Jusuf Kalla sebagai capres dan cawapres,
sehingga menggunakan media yang ia miliki sebagai corong politik mereka.
Bahkan, sampai dengan sekarang ini, Metro TV dan Media Indonesia begitu loyal
dalam membenarkan setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan
Jokowi-Jusuf Kalla. Walaupun kini, saham terbesar Metro TV sendiri telah
beralih kepada pengusaha James Riyadi.
[3] Hary Tanoesoedibjo
adalah pemilik dari MNC Group (RCTI, Global TV dan MNC TV). Kala itu, Hary
menentukan sikapnya untuk mendukung Prabowo-Hatta, sehingga kerap menggunakan
medianya sebagai corong politik mereka. Namun, dalam pilpres 2019 nanti, Harry
dan partainya Perindo berbalik arah mendukung Joko Widodo untuk menjadi
presiden kembali. Selain itu, Harry juga kerap menggunakan televisinya untuk
memperdengarkan mars Partai Perindo miliknya. Tentu, ini merupakan sebuah
kesewenang-wenangan atas frekuensi milik publik, yang digunakan untuk
kepentingan pribadi.
Komentar
Posting Komentar