Pengertian dan Ciri-Ciri Berita Bias (by: Karina Silitonga)
www.google.co.id |
Secara
sederhana, berita bias adalah berita yang telah mengalami rekonstruksi oleh
para awak media, yang cenderung menciptakan ketidakseimbangan pemberitaan,
sehingga menyebabkan pembelokan terhadap fakta yang ada (Mackenzie, 1997: 487-502). Sedangkan, merujuk pada Kholil dan
Dalimunthe (2015: 94-95; 100), maka ciri-ciri berita bias sebagai berikut:
1. Pemberitaan
Tendensius
Baik itu dalam artian mengagung-agungkan
atau merendahkan salah satu pasangan calon tertentu.
Contoh:
a. Sepanjang
periode 19-25 Mei 2014, Metro TV
menyiarkan 184 kali berita positif
tentang calon presiden terkait (baca: Joko
Widodo) dengan durasi total 3.577
detik, sedangkan berita rivalnya
(baca: Prabowo Subianto) hanya diputar 110 kali dengan durasi 14.561
detik.
b. Sepanjang
periode 19-25 Mei 2014, tvOne
menyiarkan 153 kali pemberitaan positif
tentang calon presiden terkait (baca: Prabowo
Subianto) dengan durasi 36.561 detik,
sedangkan berita rivalnya (baca: Joko Widodo) hanya diputar 77 kali dengan durasi 10.731 detik. (sumber: Pinta
Kirana, Desk Editor BBC Indonesia, 4 Juli 2014).
Berdasarkan
laporan yang diperoleh melalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), diindikasi
beberapa stasiun televisi swasta yang ada di Indonesia, khususnya stasiun
televisi yang dimiliki para petinggi partai politik menunjukkan keberpihakannya
kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) tertentu (Ardiyanti, 2014).
Bahkan,
pada Rapat Koordinasi Nasional Persiapan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di
Sentul, Bogor, Selasa 3 juni 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kala
itu mengatakan, “Tahun 2014 ini, Pers kita sudah terbelah, divided. Paling mudah, coba simak Metro TV dan tvOne.” (http://nasional.kompas.com/2014/06/03).
Padahal,
pada Pasal 22 ayat (2) P3 menyebutkan,
“Lembaga Penyiaran wajib menjunjung tinggi prinsip-prinsip jurnalistik antara
lain akurat, berimbang, adil, tidak
beritikad buruk, tidak menghasut dan menyesatkan, tidak mempertentangkan suku,
agama, ras, dan antargolongan”.
Penyebutan
serupa juga terdapat pada Pasal 40 SPS,
yang berbunyi: “Program Siaran jurnalistik wajib memperhatikan prinsip-prinsip
jurnalistik sebagai berikut: akurat,
berimbang, tidak berpihak, tidak beritikad buruk, tidak menghasut dan
menyesatkan, tidak mencampuradukkan fakta dan opini pribadi, tidak menonjolkan
unsur kekerasan, dan tidak mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan”.
Sehingga, wajar jika di kemudian hari, kedua lembaga penyiaran ini ‘disemprit’ (baca: dikenakan sanksi
administratif) oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Pemberitaan-pemberitaan
tendesius semacam ini, disatu sisi muncul karena media massa ingin masyarakat
semakin ‘keukeh’ (kuat –red) dalam
rangka memilih calon pemimpinnya.
2. Pemberitaan
tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menyerang/mengkriminalisasi kandidat
lawan. Sekalipun tuduhan miring tersebut belum tentu kebenarannya. Pemberitaan
bias seperti ini memang marak terjadi di media daring ‘abal-abal’. Namun, tidak menutup kemungkinan dapat pula
terjadi di media massa yang memiliki kelembagaan yang jelas, seperti: televisi,
radio dan suratkabar (koran).
3. Dalam
melakukan proses wawancara, jurnalis lebih menguntungkan salah satu pasangan
calon ketimbang pasangan calon yang lain. Misalnya, dengan memberikan durasi
waktu yang lama kepada salah satu pasangan calon, untuk berkomentar atau
menanggapi suatu isu.
4. Adanya
penambahan ataupun pengurangan fakta.
5. Tidak akuratnya
antara judul dengan isi pemberitaan (Winarko, 2000).
Komentar
Posting Komentar