Politainment Termasuk Berita Bias (by: Karina Silitonga)
www.google.co.id |
Politainment
(berita politik campur hiburan) juga dapat digolongkan
kedalam berita bias, karena keberadaan politainment
bakal mengaburkan isu penting dalam suatu pemberitaan, dan
menggantinya dengan hal-hal yang tidak perlu.
Contoh politainment:
1. “Potret Gaya Hidup Dwina Michaella, Putri Setya
Novanto” (Sapa Indonesia Siang: Kompas TV);
2. “Hari Ketiga Bekerja, Sepatu Tetap Sama” (Net.News: NET
TV);
3. “Sandiaga Sosok Pintar dan Pemalu di Mata Sang Istri”
(Sapa Indonesia: Kompas TV);
4. “Wapres Jusuf Kalla Jadi Saksi Pernikahan Putri
Presiden” (Kompas Petang: Kompas TV);
5. “Jokowi Mantu Live dari Solo” (Indosiar);
6. “Menteri Kabinet Kerja Berfoto di Pelaminan
Kahiyang-Bobby” (Kompas Petang: Kompas TV);
7. “Kirab Kereta Kencana Kahiyang-Bobby” (CNN);
8. “Video Sesi “Prewedding” Kahiyang dan Bobby (Kompas
Petang: Kompas TV);
9. Kahiyang &
Bobby Kompak Unggah Foto yang Sama di Instagram (Kompas Petang: Kompas TV);
10. “Keluarga Sandi Jelang Pelantikan (Special Event:
CNN);
11. “Persiapan Keluarga Anies Baswedan Jelang Pelantikan”
(Special Event: CNN) (sumber: remotivi.or.id).
Walhasil, yang menjadi isu penting terabaikan bahkan
hilang dari pemberitaan media. Bahkan, yang terlihat hanyalah
pemberitaan yang ‘mirip-mirip’ gosip selebritis. Masyarakat pun menjadi kabur
dengan kredibitas politisi yang sesungguhnya. Karena semuanya telah tertutupi oleh
hasil konstruksi media. Konstruksi media sendiri bermakna, bahwa media adalah salah satu saluran pesan yang tidak luput dari proses
interaksionisme simbolik dan konstruksi. Termasuk didalamnya politainment itu sendiri.
Seseorang bisa digambarkan begitu baik, ramah, ‘tahu adat’, merakyat
(protagonis) atau bahkan keparat (antagonis).
Citra (simulacra) si
aktor politik sangat tergantung bagaimana media mengkonstruksinya,
bukan pada kejujuran mereka yang sesungguhnya. Selain itu, politisi yang diberitakan tersebut
tidak lagi memiliki ruang privat antara dia dan keluarganya. Semuanya akan
dijual, selama itu bisa mendongkrak popularitas. Masyarakat pun tidak lagi
memilih politisi berdasarkan kinerja, tetapi karena citra dan citra serta
kesalehan yang semu. Masyarakat bahkan mengidolakan mereka bak artis, yang rela
‘pasang badan’ tanpa digaji sepeserpun. Terlihat dari kemunculan buzzer-buzzer
politik di sosial media. Walhasil, dalam politainment, kita
bukan warganegara. Kita hanya penonton sandiwara (sumber cetak tebal: remotivi.or.id), atau media menyebutnya “dramaturgi”. Bersatunya
unsur politik dan entertainment memang merupakan suatu keniscayaan, yang tidak dapat dielakkan. Namun, masyarakat tetap perlu tahu mana yang disebut berita dan mana yang disebut
hiburan, sehingga tidak menimbulkan bias di kemudian hari.
Komentar
Posting Komentar