STRUKTURAL-FUNGSIONALISME (Rangkuman Jurnal)

www.satujam.com
Tulisan ini adalah rangkuman jurnal karya Marzali. (2006). Struktural-Fungsionalisme. Antropologi Indonesia, Vol. 30, No. 2, Hlm. 127-137. Berikut:
Pendekatan struktural-fungsional lebih bersifat statis dan sinkronis (Marzali, 2006: 128). Dalam konsep “struktural-fungsionalisme” model yang dapat digunakan adalah model organisme tubuh manusia. Dalam model ini, Radcliffe-Brown (RB) mengumpamakan sebuah masyarakat sebagai sebuah organisme tubuh manusia, dan kehidupan sosial adalah seperti kehidupan organisme tubuh tersebut.
Satu organisme tubuh terdiri dari sekumpulan sel dan cairan yang tersusun dalam suatu jaringan hubungan, sedemikian rupa, sehingga membentuk sebuah keseluruhan kehidupan yang terintegrasi. Susunan hubungan antara unit-unit dalam organisme tersebut, atau sistem hubungan yang mengikat keseluruhan unit, disebut struktur dari organisme tersebut. Sepanjang hidupnya organisme tubuh ini menjaga kesinambungan strukturnya. Meskipun selama perjalanan hidup organisme ini terjadi pergantian sel, bagian, dan cairan tertentu, namun susunan hubungan antar unit tetap sama. Jadi struktur dari organisme tubuh tersebut relatif tidak berubah.
Adanya proses kehidupan menjadi tanda dari berfungsinya struktur organisme tersebut. Jadi fungsi dari sebuah unit sel adalah peranan yang dimainkan, atau kontribusi yang diberikan, oleh unit sel tersebut bagi kehidupan organisme secara keseluruhan. Fungsi perut, misalnya, adalah untuk mengolah makanan menjadi zat-zat kimia tertentu yang kemudian dialirkan oleh darah ke seluruh tubuh sehingga menjamin kehidupan tubuh tersebut.
Ambil contoh sebuah masyarakat dusun di Jawa. Dalam sebuah masyarakat dusun kita mengenal adanya struktur sosial. Unitnya adalah individu-individu warga dusun tersebut. Mereka berhubungan satu sama lain dalam satu pola hubungan yang diatur oleh norma-norma hubungan sosial, sedemikian rupa, sehingga masyarakat dusun tersebut membentuk sebuah keseluruhan yang terintegrasi. Susunan hubungan sosial yang sudah mapan antara warga dusun itu disebut struktur sosial masyarakat dusun tersebut.
Kesinambungan struktur masyarakat dusun tidak rusak oleh adanya warga yang meninggal, lahir, atau pindah. Karena kesinambungan tersebut dijaga oleh proses kehidupan sosial atau kegiatan dan interaksi antarwarga dusun. Jadi kehidupan sosial adalah struktur sosial yang berfungsi atau bekerja. Fungsi dari setiap kegiatan warga desa yang berulang-ulang adalah peranan yang dimainkannya dalam kehidupan masyarakat dusun secara keseluruhan, atau kontribusi yang diberikannya untuk pembinaan kesinambungan struktur masyarakat dusun tersebut. Disinilah kita melihat bahwa konsep “fungsi” tidak dapat dipisahkan dari konsep “struktur” (Marzali, 2006: 129).
Konsep Struktur Sosial
Individu-individu yang menjadi komponen dari sebuah struktur sosial bukanlah dilihat dari sudut biologis, yaitu yang terdiri dari sel-sel dan cairan, tetapi sebagai person yang menduduki posisi, atau status, di dalam struktur sosial tersebut. Orang sebagai organisme biologis, yang terdiri dari sel-sel dan cairan, tidak menjadi perhatian utama ilmu sosial. Yang diperhatikan ilmu sosial adalah orang sebagai status sosial; orang berhubungan dengan orang lain dalam kapasitasnya sebagai sebuah status sosial, misalnya sebagai ayah, ibu, buruh, majikan, penjual, pembeli, dan seterusnya.
Perbedaan didalam status sosial menentukan bentuk hubungan sosial, dan karena itu mempengaruhi struktur sosial. Di dalam masyarakat tradisional, status para anggotanya terutama dibedakan menurut jenis kelamin (status sosial pria berbeda dari status sosial wanita), tingkatan umur (orangtua berbeda dari anak muda), dan hubungan kekerabatan (ibu, ayah, anak, saudara adalah berbeda dari “orang lain”). Karena itu perilaku seorang pria ketika berhubungan dengan pria lain adalah berbeda dengan ketika dia berhubungan dengan seorang wanita, perilaku seorang tua terhadap seorang tua yang lain adalah berbeda dari perilakunya terhadap seorang muda, dan seterusnya. Struktur sosial masyarakat Minangkabau, yang berbeda dari struktur sosial masyarakat Jawa, berbeda dari struktur sosial masyarakat Dayak, seterusnya berbeda lagi dari struktur sosial masyarakat Bugis, dan seterusnya (Marzali, 2006: 130-131).
Teori Malinowski
Bagi Malinowski, dalam rangka memenuhi kebutuhan psiko-biologis individu dan menjaga kesinambungan hidup kelompok sosial, beberapa kondisi minimum harus dipenuhi oleh individu-individu anggota kelompok sosial tersebut. Kondisi minimum tersebut terdiri dari 7 kebutuhan pokok, yaitu nutrition, reproduction, bodily confort, safety, relaxation, movement, dan growth. Semua kegiatan yang dilakukan oleh individu adalah dalam rangka memenuhi ketujuh kebutuhan pokok di atas.
Namun demikian, kegiatan untuk memenuhi kebutuhan pokok tersebut tidaklah langsung dilakukan begitu saja sebagaimana halnya dengan binatang, tetapi telah “dimodified” oleh pengaruh-pengaruh sosial. Dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan nutrition (makanan) misalnya, manusia tidak begitu saja menemukan apa yang dilihatnya, dengan cara yang semaunya. Manusia akan memilih di antara benda-benda yang dapat dimakan; ada yang ditolak dan ada yang diterima, ada yang lebih disukai dan ada yang kurang disukai, ada yang dianjurkan dan ada yang dilarang, dan seterusnya. Begitu juga, manusia tidak hanya memakan apa yang disediakan alam, tetapi sebagian diproduksi. Sebagian dari makanan itu dimasak sedangkan yang lain dimakan mentah, dan seterusnya. Manusia tidak langsung makan begitu mereka lapar; tetapi ada waktu tertentu yang ditetapkan untuk itu. jadi singkatnya, manusia dilatih untuk makan makanan tertentu, pada waktu tertentu, dengan cara tertentu, dan seterusnya. Jadi tingkah laku manusia dalam memenuhi kebutuhan akan makanan tersebut telah terbentuk oleh cara-cara yang lazim sesuai dengan adat kelompok mereka, sesuai dengan agama mereka, sesuai dengan kelas sosial mereka, dan seterusnya. Kelompok, golongan, dan kelas sosial telah membentuk pilihan selera individu, tabu makanan, nilai simbolik dan nilai gizi makanan, dan gaya dan cara makan. Pola kegiatan yang telah terbentuk seperti itu disebut “kegiatan kultural”, yaitu kegiatan yang telah “di-modified”, telah “di-molded”, oleh adat kebiasaan yang hidup dalam lingkungan masyarakatnya (Marzali, 2006: 132).
Malinowski beranggapan bahwa budaya adalah warisan sosiologis, bukan warisan biologis. Dengan demikian, Mallinowski menolak konsepsi determinisme ras, yang mengatakan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh turunan biologisnya. Sebaliknya, dia berpendapat bahwa perilaku manusia diturunkan secara sosial antar generasi; lingkungan sosial lah yang membentuk perilaku manusia. Warisan sosial ini merupakan kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi dan membentuk personaliti setiap individu yang lahir kedalam masyarakat tersebut. Kekuatan-kekuatan tersebut antara lain adalah kepercayaan atau agama, adat-adat tradisional, struktur sosial, dan seterusnya. Warisan kebudayaan adalah konsep kunci dalam antropologi kebudayaan, kata Malinowski (Marzali, 2006: 134).
Pandangan Evans-Pritchard  
Bagi RB, sebuah keluarga dapat dipandang sebagai sebuah struktur sosial, karena dalam keluarga terdapat beberapa status (ayah, ibu, anak) yang membentuk jaringan hubungan sosial yang terpola. Namun kenyataan ini tidak dapat diterima oleh Evans Pritchard, karena kesatuan keluarga akan segera hilang begitu anggota-anggotanya meninggal. Sedangkan, sebuah struktur sosial harus hidup langgeng meskipun anggota-anggotanya hilang, baik karena pindah atau meninggal. Komponen dari sebuah dusun dapat berupa RT, atau golongan keluarga. Meskipun keluarga atau individu anggota sebuah RT hilang karena pindah atau meninggal, namun RT, atau golongan, tetap langgeng dalam dusun tersebut (Marzali, 2006: 136-137).

Komentar

Postingan Populer