TONTONAN YANG JADI TUNTUNAN

Photo by: Bayu Juliandra Putra
“Frekuensi adalah milik negara yang dipinjamkan ke lembaga penyiaran. Oleh karena itu, program penyiarannya harus mencerdaskan bangsa dan beretika,” kata Komisioner KPID Sumut Drs. Jaramen Purba, M. AP, mengawali dialog publik di aula Peradilan Semu Fakultas Hukum USU (18/12). Menurutnya, fungsi lembaga penyiaran harus kembali diluruskan, yaitu: 1) Menginformasikan fakta  yang sesungguhnya, namun tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat; 2) Mendidik, 3) Menghibur dalam artian tetap mematuhi kaedah jurnalistik dan tidak berbau seks; dan 4) Sebagai kontrol sosial dalam hal pembangunan, ekonomi dan perekat sosial.
Hal senada juga disampaikan Kepala Program Studi Magister Ilmu Komunikasi USU, Prof. Lusiana Andriani Lubis, M.A, Ph.D yang menyatakan, bahwa masyarakat harus pintar memilah dan memilih program siaran. “Walaupun televisi memang sudah mulai ditinggalkan, karena perkembangan teknologi. Tapi, tak dapat dipungkiri bahwa televisi dan program tayangannya harus tetap diawasi,“ sambung Lusiana dalam diskusi publik bertema: “Program Siaran yang Berkualitas Menjadikan Masyarakat Cerdas, Beretika dan Berperilaku Baik” itu. 
Setidaknya, dalam tahun ini KPID sendiri telah memberikan sebanyak 31 teguran kepada lembaga penyiaran yang bermasalah. Karena pertama, masih menampilkan adegan vulgar dengan pakaian talent wanitanya yang minim (tampak belahan dada dan bokong), termasuk dalam iklan layanan masyarakat sekalipun. Padahal, hal ini jelas melanggar P3SPS Bab XII Pasal 16 yang berbunyi: “Lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program siaran bermuatan seksual”.  Kedua, berita masih mengandung unsur kekerasan dan tidak mem-blur korban pencabulan. Padahal ini bertentangan dengan etika jurnalistik, sekaligus menimbulkan gejala traumatik bagi korban.
Ketiga, masih menampilkan gambar orang merokok secara sengaja atau tidak sengaja. Hal ini KPID larang, agar anak-anak yang menonton tidak terimitasi tayangan tersebut. Baik secara kognitif, afektif dan konatif. Keempat, menampakkan adegan makan makanan mentah, yang tentu dianggap tabu oleh sebagian kalangan. “Oleh karena itu, KPID-SU meminta lembaga penyiaran yang bermasalah tersebut untuk hadir dan dibina (sanksi 1), teguran tertulis (sanksi 2), dan pemberhentian acara sementara (sanksi 3),” papar Jaramen.
Sementara, Lusiana menyatakan ada beberapa hal lain yang menjadi masalah lembaga penyiaran dewasa ini, yaitu: Pertama, isi media belum mencerminkan realitas yang sesungguhnya; Kedua, isi media masih dipengaruhi oleh penguasa media. “Contoh liputan pernikahan putri Jokowi yang menenggelamkan pemberitaan-pemberitaan lainnya. Juga Metro TV dan tvOne yang harus mematuhi KEJ dalam keakuratan pemberitaannya,” jelasnya; Ketiga, program siaran yang menyebabkan halusinasi anak berlebihan, contoh: tayangan superhero.
Keempat, adegan kekerasan pada anak dan remaja, ditambah dengan adanya media baru; Kelima, kemerosotan moral anak seperti melawan orangtua dan guru; Keenam, terlalu banyak menonton dapat mengurangi daya pikir, kerusakan mata pada jarak dekat dan kurang konsentrasi; serta ketujuh, upaya pemenuhan berbagai keinginan secara instan; “Televisi menyajikan itu semua, sehingga masyarakat kita rentan terkena perilaku konsumerisme,” ungkapnya.
Oleh karena itu, sebagai akademisi, beliau memaparkan beberapa solusi nyata, sehingga program tayangan tidak sekedar menjadi tontonan, tapi juga tuntunan, yaitu: 1) Pendampingan dalam menonton; 2) Memperbanyak aktivitas diluar ruangan yang bermanfaat; 3) Membatasi waktu menonton bagi anak; 4) Literasi media bekerjasama dengan pihak-pihak terkait; 5) Menjadikan kesempatan menonton sebagai ajang orangtua mengajari anak, mana yang baik dan mana yang salah; dan 6) Menindak pelanggar secara tegas.   
Jaramen juga mengapresiasi langkah beberapa stasiun tv yang mulai mengembangkan konten lokal, terutama dalam sektor pariwisata. Sekaligus mengakui, bahwa KPID SU masih terkendala dengan terbatasnya jumlah SDM untuk bekerja secara maksimal. “Tidak mungkin 7 komisioner mampu untuk mengawal ini, tanpa partisipati aktif masyarakat,” ungkap Jaramen.
Perwakilan Komisi A DPRD SU, H. M. Hanafiah Harahap, S.H turut mengapresiasi terselenggaranya dialog publik ini. “Acara ini harus selalu dilakukan, karena ini tanggung jawab kita bersama. Buatlah cita-cita besar, lompatan besar. Sepanjang itu mengarah ke kemaslahatan masyarakat, agar penyiaran di Indonesia bisa terkontrol. (KhairullahMustafa).

Komentar

Postingan Populer