Analisis Praktik Sosiokultural Pemberitaan UU MD3 di Harian Umum Nasional Waspada

Hasil gambar untuk uu md3
Ilustrasi UU MD3
Eriyanto (2001: ii) menyatakan analisis wacana adalah alternatif terhadap kebuntuan-kebuntuan dalam analisis media yang selama ini lebih didominasi oleh analisis isi konvensional dengan paradigma positivis. Namun yang penting untuk dimengerti dalam soal itu adalah perbedaan antara kuasa atas teks dengan kuasa atas struktur, didalam mana teks dikonstruksi dan dipresentasi. Artinya, pekerja industri pers memang mempunyai pilihan bagaimana membuat teks; namun toh itu semua tidak dilakukan dalam bingkai struktur pilihan-pilihan yang mereka susun sendiri, melainkan juga terbentuk dari luar jangkauan intervensi mereka (Hidayat dalam Eriyanto, 2001: ix).
Analisis praktik sosiokultural didasarkan pada asumsi, konteks sosial yang ada diluar media mempengaruhi bagaimana wacana yang muncul dalam media. Ruang redaksi atau wartawan bukanlah bidang atau kotak kosong yang steril, tetapi sangat ditentukan oleh faktor diluar dirinya. Praktik sosiokultural memang tidak secara langsung berhubungan dengan produksi teks, tetapi ia menentukan bagaimana teks diproduksi dan dipahami. Maka, bahasa dianalisis bukan dengan menggambarkan dari aspek kebahasaan semata, tetapi juga menghubungkannya dengan konteks. Adapun dalam konteks ini berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk untuk menolak pemberlakuan UU MD3. Fairclough (dalam Eriyanto, 2001: 322-326) membuat tiga level analisis pada praktik sosiokultural, yaitu: level situasional, institusional dan sosial.
Edisi Februari
1.     Situasional
Dalam konteks pemberitaan UU MD3 di Harian Umum Nasional Waspada, tampak jelas bagaimana isi teks pemberitaan tersebut diproduksi diantaranya karena memperhatikan aspek situasional. Pemberitaan UU MD3 yang kala itu masih terus berjalan, dengan sejumlah pasalnya yang dianggap kontroversial seperti Pasal 73 tentang pemanggilan paksa, Pasal 122k tentang menindak siapa saja yang dianggap merendahkan kehormatan DPR, dan Pasal 25 dimana tiap anggota DPR yang terlibat kasus, bila mau diperiksa harus melalui pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dan persetujuan Presiden. Sejumlah pasal yang dianggap kontroversial dalam UU MD3 ini merupakan suatu peristiwa yang penting untuk diberitakan.
Pemberitaan UU MD3 di Harian Umum Nasional Waspada dibalut dengan konteks situasional yang khas, seperti: Ketua DPR-RI, Bambang Soesatyo yang pro bahwa UU MD3 tetap berlaku, walaupun Presiden tidak menekennya. “Walaupun revisi UU MD3 tidak ditandatangani oleh Presiden dalam jangka waktu 30 hari, UU tersebut berlaku secara sah dan mengikat” (22/2/2018); dan yang kontra seperti Pakar Hukum USU, Dr. Abdul Hakim Siagian yang mengatakan, “UU itu yang membuka ruang penyalahgunaan wewenang. Diantaranya dikriminalisasinya rakyat oleh wakilnya. Kemudian, kepercayaan publik terhadap lembaga dewan sangat rendah. UU MD3 ini juga sebuah kemunduran demokrasi dan membunuh kebebasan menyampaikan pendapat” (23/2/2018).
Koordinator Lapangan Demonstrasi, Alboin Samosir juga kontra dengan mengatakan, “Saat ini DPR-RI tidak lagi menjadi wakil rakyat. Umumnya, anggota DPR RI hanya memikirkan kepentingan parpol, dan pemenuhan kepentingan pribadi semata” (27/2/2018); serta Kelompok Cipayung kontra dengan mengatakan, “Ada beberapa pasal dari UU MD3 yang berusaha membungkam kebebasan demokrasi. Diantaranya Pasal 73 tentang pemanggilan paksa, ditambah dengan adanya frase ‘wajib’. Hal itu bisa diartikan pasal tersebut membuka peluang akan memanggil siapa saja, yang dianggap mengganggu ‘tidur siangnya’ anggota DPR” (27/2/2018). Tentu, isi teks pemberitaan yang penuh pro-kontra ini memberikan sumbangsih terhadap wacana di Harian Umum Nasional Waspada.
Judul-judul pemberitaan seperti: “Pakar Hukum USU: UU MD3 Bertentangan dengan UUD 1945” (23/2/2018); “Tak Diteken Presiden, Dalam 30 Hari UUD MD3 Otomatis Berlaku” (22/2/2018); “Soal UU MD3, Demokrat Sebut Ada Masalah Serius di Pemerintah” (23/2/2018); “Tolak Revisi UU MD3 DPR Hanya Pikirkan Kepentingan Parpol” (27/2/2018); dan “UU MD3 Bungkam Kebebasan Demokrasi” (29/2/2018), jelas menarik perhatian pembaca terhadap sikap pihak yang pro dan kontra terkait UU MD3, sehingga Harian Umum Nasional Waspada terus-menerus mengupas dan meng-update pemberitaannya.
Judul-judul di atas menunjukkan, Harian Umum Nasional Waspada menggunakan pemberitaan tersebut sebagai alat perjuangan untuk menolak UU MD3, dengan lebih banyak meneribatkan pemberitaan yang kontra ketimbang yang pro (4 kontra, banding 1 pro, banding 1 netral). Berikut rinciannya: “Ketua DPR RI PWI Terkait Pro Kontra UU MD3” (netral); “Pakar Hukum USU: UU MD3 Bertentangan dengan UUD 1945” (kontra); “Tak Diteken Presiden, Dalam 30 Hari UUD MD3 Otomatis Berlaku” (pro); “Soal UU MD3, Demokrat Sebut Ada Masalah Serius di Pemerintah” (kontra); “Tolak Revisi UU MD3, DPR Hanya Pikirkan Kepentingan Parpol” (kontra); dan “UU MD3 Bungkam Kebebasan Demokrasi” (kontra). 
Mayoritas pemberitaan tersebut kontra, karena Harian Umum Nasional Waspada mempertimbangkan masyarakat, yang mayoritas menentang UU MD3. Seperti yang dilakukan Pengurus cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), yang berunjukrasa menentang UU MD3, dan mendesak Presiden Jokowi untuk tidak menyetujui revisi UU MD3, karena bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Salah seorang anggota DPRD Langkat, dimana lokasi demo dilakukan pun diberitakan mendukung kritik mahasiswa tersebut (29/2/2018). Vivian (2008: 495) menyatakan, media tidak menentukan agenda secara sepihak, tetapi mempertimbangkan khalayak dalam menentukan prioritas liputannya.
Sedikit banyak pemberitaan tentang UU MD3 akan mempengaruhi opini masyarakat. Apalagi, Harian Umum Nasional Waspada sebagai media massa merupakan agen sosialisasi sekunder, yang dampak penyebarannya paling luas dibanding agen sosialisasi lain. Cukup signifikan dalam memengaruhi masyarakat, baik dari segi kognitif (pemikiran), afektif (perasaan) maupun behavioral (perilaku)-nya untuk menolak UU MD3. Terutama akan dampak negatif UU MD3, seperti: UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945, UU MD3 bakal mengurangi peran Pers untuk mengawasi kinerja DPR, jika benar-benar diteken Presiden, dan UU MD3 menjadikan DPR sebagai lembaga super bodi (pernyataan Dr. Abdul Hakim Siagian, Pakar Hukum USU); UU MD3 sarat kepentingan, UU MD3 menjadikan DPR sebagai lembaga antibodi dan antikritik, UU MD3 membungkam kebebasan berpendapat, dan UU MD3 mempersulit anggota DPR untuk tersentuh hukum (pernyataan Koordinator Lapangan Demonstrasi, Alboin Samosir dan Kelompok Cipayung); dan Pasal 122 k bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi (pernyataan Pengurus cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Dalam kacamata idealisme media, pemberitaan ini merupakan bentuk perlawanan insan Pers terhadap pengesahan UU MD3. Apalagi pemberitaan tersebut ditunjang oleh pendapat Pakar Hukum USU, Abdul Hakim Siagian untuk menolak UU MD3. Berikut beberapa kutipannya: “UU itu yang membuka ruang penyalahgunaan wewenang. Diantaranya dikriminalisasinya rakyat oleh wakilnya. Kemudian, kepercayaan publik terhadap lembaga dewan sangat rendah. UU MD3 ini juga sebuah kemunduran demokrasi dan membunuh kebebasan menyampaikan pendapat”; Karena itu sangat mendasar dan tepat jika banyak pihak menggugat UU MD3 itu ke Mahkamah Konstitusi (MK)”; “Aneh, masa rakyat dibunuh oleh wakilnya sendiri. DPR itu penjelmaan atau perpanjangan tangan rakyat. Artinya tanpa pilihan rakyat, mereka tidak duduk di lembaga dewan. Mereka jangan lupa itu”; “Level tarung DPR adalah pelaku dan pemegang kekuasaan, bukan rakyat jelata”; “Mereka terlihat sudah main kasar dengan rakyat sendiri dengan pasal karet, yang bisa sangat berbahaya ketika diterapkan”.
2.     Institusional
Dalam masyarakat modern, pada dasarnya Pers merupakan institusi yang mempunyai tiga wajah sekaligus. Ia merupakan institusi politik, institusi sosial dan institusi bisnis. Seperti yang dikutip dari Severin dan Tankard (2008: 373) yakni kekuatan politik, sosial, dan ekonomi tersebut berpengaruh langsung terhadap isi media. Maka, level institusional melihat bagaimana pengaruh institusi Harian Umum Nasional Waspada dalam memproduksi berita-berita UU MD3. Institusi ini bisa berasal dari dalam diri media sendiri, bisa juga kekuatan-kekuatan eksternal diluar media yang menentukan proses produksi berita.
Faktor institusi media tidak selamanya berhubungan dengan ekonomi, tetapi juga berhubungan dengan kebijakan yang diterbitkan negara. Apabila suatu kebijakan yang disahkan negara tidak sesuai dengan institusi media, maka media tersebut akan berusaha menentangnya lewat pemberitaan yang ada. Salah satunya adalah kebijakan UU MD3 yang mendapat penolakan keras dari insan Pers, sehingga pemberitaan di Harian Umum Nasional Waspada didominasi oleh pemberitaan yang kontra terhadap UU MD3. Seperti: “Pakar Hukum USU: UU MD3 Bertentangan dengan UUD 1945” (23/2/2018); “Soal UU MD3, Demokrat Sebut Ada Masalah Serius di Pemerintah” (23/2/2018); “Tolak Revisi UU MD3 DPR Hanya Pikirkan Kepentingan Parpol” (27/2/2018); dan “UU MD3 Bungkam Kebebasan Demokrasi” (29/2/2018). Musabab itu, produksi pemberitaan UU MD3 menunjukkan, sikap Harian Umum Nasional Waspada tidak mungkin bisa dilepaskan dari pengaruh kebijakan UU MD3, yang mereka anggap kontroversial untuk kemudian mereka lawan melalui teks-teks beritanya.
Misalnya, dalam pemberitaan berjudul “Tolak Revisi UU MD3, DPR Hanya Pikirkan Kepentingan Parpol (27/2/2018). Pemberitaan tersebut didominasi oleh kutipan Kelompok Cipayung, dan satu kutipan Koordinator Lapangan Demonstrasi, Alboin Samosir. Sementara, klarifikasi dari Pemerintah tidak ada, melainkan beberapa tokoh pemerintah setempat pun turut membubuhkan tanda tangan penolakan UU MD3. Berikut beberapa kutipan terkait:
1.      Saat ini DPR RI tidak lagi menjadi wakil rakyat. Umumnya, anggota DPR RI hanya memikirkan kepentingan parpol, dan pemenuhan kepentingan pribadi semata (Alboin Samosir).
2.     Ada beberapa pasal dari UU MD3 yang berusaha membungkam kebebasan demokrasi. Diantaranya pasal 73 tentang pemanggilan paksa, ditambah dengan adanya frase ‘wajib’. Hal itu bisa diartikan pasal tersebut membuka peluang akan memanggil siapa saja yang dianggap mengganggu ‘tidur siangnya’ anggota DPR (Kelompok Cipayung).
3.     Tidak hanya itu, yang paling kontroversial yakni pasal 122 k. dalam pasal itu disebutkan, akan menindak siapa saja yang dianggap merendahkan kehormatan DPR (Kelompok Cipayung).
4.     Pasal itu juga akan membungkam kebebasan beraspirasi dan bersuara. Dengan demikian, DPR akan menjelma menjadi badan antikritik (Kelompok Cipayung).
5.     Begitu juga pasal 25, dimana tiap anggota DPR yang terlibat kasus, bila mau diperiksa harus melalui pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dan persetujuan Presiden (Kelompok Cipayung).
Tentu kutipan-kutipan pemberitaan ini semakin menunjukkan, posisi Harian Umum Nasional Waspada berpihak pada insan Pers untuk menolak penerapan UU MD3. Jadi, pengaruh kebijakan pemerintah terkait UU MD3 sangat mempengaruhi fakta apa yang harus diambil, dan bagaimana berita itu dibahasakan sebagai bentuk perjuangan. Meskipun keenam pemberitaan UU MD3 edisi februari ini kami nilai objektif, namun ada nilai-nilai tertentu yang ingin disampaikan, yaitu penolakan terhadap UU MD3. Lewat pemberitaan yang bersifat prominence, secara tidak langsung Harian Umum Nasional Waspada menegaskan menolak pemberlakuan UU MD3. Baik itu berita prominence yang dihasilkan lewat wawancara bersama Dr. Abdul Hakim Siagian, Pakar Hukum USU (23/2/2018); Fandi Utomo, Ketua DPP Partai Demokrat (23/2/2018); Alboin Samosir, Koordinator Lapangan Demonstrasi dan Kelompok Cipayung (27/2/2018); Seorang Pendemo dan Anggota DPRD Langkat (29/2/2018).
Shoemaker dan Reese (1996) menyebutkan, produksi berita setidaknya dipengaruhi oleh sejumlah faktor, diantaranya: faktor individual (pekerja media); rutinitas media; organisasi media; ekstra media dan ideologi media.
Pertama, faktor individual (individual level). Dalam melakukan konstruksi realitas, faktor individual wartawan sangat berpengaruh bagaimana dia akan mengkonstruksi sebuah realitas yang dilihatnya dalam kasus UU MD3. Jadi, peliputan hal-hal seperti “Pakar Hukum USU: UU MD3 Bertentangan dengan UUD 1945” (23/2/2018); “Soal UU MD3, Demokrat Sebut Ada Masalah Serius di Pemerintah” (23/2/2018); “Tolak Revisi UU MD3, DPR Hanya Pikirkan Kepentingan Parpol” (27/2/2018); “UU MD3 Bungkam Kebebasan Demokrasi” (29/2/2018) mengandung nilai-nilai perjuangan menjaga kemerdekaan Pers, yang diyakini wartawan penting untuk diberitakan kepada khalayak.
Kedua, adalah faktor rutinitas media. Faktor ini berkaitan dengan keseharian dari mekanisme pembentukan berita. Pada setiap media massa memiliki kebijakan pemberitaan dan pengolahan berita tersendiri yang sudah menjadi ciri khas media tersebut. Kebijakan redaksional tersebut dioperasionalkan dalam mekanisme kerja redaksi yang dimulai dari proses perencanaan berita. Mekanisme kerja redaksional tersebut dipengaruhi dengan alur produksi berita, dimana sebuah berita yang terbentuk harus melalui suatu proses gate keeping, yaitu rangkaian penjaga gerbang yang muncul mulai dari jajaran reporter, redaktur hingga pemimpin redaksi. Namun, hal ini sangat sulit kami tentukan sebagai peneliti, karena analisis praktik sosiokultural berada pada level makro, sehingga teknik pengumpulan datanya juga membutuhkan wawancara mendalam dengan pembuat naskah untuk mendapatkan data primer, sementara hal itu tidak kami lakukan karena keterbatasan waktu pengerjaan tugas.
Ketiga, faktor organisasi media. Karakter organisasi terdiri dari komponen kelembagaan organisasi itu sendiri, struktur organisasi hingga sistem keorganisasian yang diterapkan. Dari kelembagaan organisasi Waspada, aspek redaksional pemberitaan melewati serangkaian proses produksi yang kompleks. Dimana pemimpin redaksi, redaktur pelaksana berita, dan wartawan merupakan aspek yang berperan dalam proses pengambilan keputusan redaksional. Sedangkan faktor keempat ekstra media, yaitu faktor yang berasal dari luar lingkungan media. Seperti pemerintah yang turut mempengaruhi proses produksi berita, lewat rapat paripurna pengesahan Revisi UU MD3 di DPR pada 12 Februari 2018. Dimana insan Pers menganggap produk hukum tersebut kontroversial, dan bakal membelenggu kemerdekaan Pers. Kelima, faktor ideologi, yang seringkali diartikan dengan kerangka referensi yang ada di dalam masing-masing individu wartawan Waspada. Ideologi tersebut tertuang dalam motto Waspada yaitu “Demi Kebenaran dan Keadilan”. Motto tersebut menjadi kacamata bersama wartawan Waspada dalam meliput UU MD3. Sekaligus menyatakan sikap mereka untuk menolak pemberlakuan UU MD3, yang bakal mengurangi peran Pers dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
3.     Sosial
Faktor sosial sangat berpengaruh terhadap wacana yang muncul dalam pemberitaan. Bahkan, Fairclough menegaskan wacana yang muncul dalam media ditentukan oleh perubahan masyarakat. Dalam level sosial, budaya masyarakat misalnya, turut menentukan perkembangan dari wacana media. Salah satu budaya tersebut adalah menolak peraturan yang mereka anggap represif, dan dapat mengekang kebebasan insan Pers untuk melakukan fungsi pengawasannya. “UU itu yang membuka ruang penyalahgunaan wewenang. Diantaranya dikriminalisasinya rakyat oleh wakilnya. Kemudian kepercayaan publik terhadap lembaga dewan sangat rendah. UU MD3 ini juga sebuah kemunduran demokrasi dan membunuh kebebasan menyampaikan pendapat”. Walhasil, pemberitaan UU MD3 di Harian Umum Nasional Waspada telah menjadi alat perjuangan insan Pers untuk menolak pemberlakuan UU MD3.

Komentar

Postingan Populer