COGNITIVE DISSONANCE THEORY (TEORI DISONANSI KOGNITIF)

www.google.co.id
A.    Pendahuluan
Teori disonansi kognitif[1] diperkenalkan oleh Leon Festinger pada tahun 1957 (Shaw & Contanzo, 1985), dan berkembang pesat sebagai pendekatan dalam memahami proses pesan komunikasi (Festinger, 1957: 4). Festinger mendefinisikan disonansi kognitif sebagai kesenjangan antara sikap dan perbuatan, sehingga menciptakan ketidaknyamanan psikologis. Selaras dengan Festinger, Vaughan & Hogg (2005) menyatakan, disonansi kognitif adalah suatu kondisi yang tidak nyaman akibat dari tidak konsistennya antara sikap dan perbuatan. Sementara, Wibowo (dalam Sarwono, 2009) mendefinisikan teori disonansi kognitif sebagai keadaan tidak nyaman, akibat adanya pertentangan antara sikap dan perilaku. Dari penjelasan definisi di atas dapat disimpulkan, teori disonansi kognitif merupakan teori yang membahas tentang ketidaknyamanan perasaan seseorang akibat sikap, pemikiran, dan perilaku yang saling bertentangan satu sama lain.
Contoh: Geri (diperankan oleh Chicco Jerikho) dalam film Negeri Van Oranje merupakan seorang gay.  Namun, ia menyadari orientasi seksualnya itu bakal mendapatkan pertentangan dari agama, norma sosial juga teman-temannya (Lintang, Banjar, Daus dan Wicak). Akibatnya, Geri terus menyimpan rahasianya itu agar tetap dipandang normal, sesuai dengan sudut pandang mayoritas masyarakat. Meskipun pada kenyataannya Geri terbeban dengan situasi itu, dimana ia harus membohongi dirinya sendiri untuk tidak menyukai sesama jenis. Apa yang dialami Geri adalah fenomena disonansi kognitif. Namun perlu digarisbawahi, teori disonansi kognitif tidak hanya berlaku untuk menjelaskan fenomena orientasi seksual belaka. Ketika seorang perempuan ingin keluar malam minggu bersama temannya, namun disatu sisi juga tidak ingin melanggar peraturan orangtuanya juga dapat disebut mengalami disonansi kognitif. Larangan yang harus dipatuhi berbenturan dengan keinginannya untuk pergi.
Shaw & Contanzo (1985) menjabarkan 2 hal penting dari teori disonansi kognitif, diantaranya:
1.      Tujuan teori ini ialah untuk memahami hubungan perilaku (behavior) dengan pikiran (cognitive).
2.      Teori ini memberikan sumbangsih yang besar dalam perkembangan ilmu psikologi, yang kemudian diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial lainnya. Termasuk didalamnya ilmu komunikasi. Teori disonansi kognitif termasuk teori yang diterima secara luas, untuk menjelaskan perubahan perilaku sosial.
B.     Pembahasan
Adapun 4 asumsi dari teori ini adalah:
1.      Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan perilakunya. Asumsi ini menekankan pada sifat dasar manusia yang menginginkan adanya stabilitas antara sikap dan perbuatan. Teori ini menyatakan, orang tidak akan menikmati inkonsistensi dalam kehidupan mereka.
2.      Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi.
3.      Disonansi adalah perasaan tidak suka karena tidak nyaman, sehingga mendorong individu untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut.
4.      Disonansi akan mendorong individu untuk memperoleh konsonansi, dan mengurangi disonansi yang adaKarena sudah menjadi naluriah manusia untuk mencari konsistensi, yang menciptakan kesenangan dalam kehidupannya.
Menurut Festinger (dalam Shaw & Contanzo, 1982) terdapat dua macam hubungan antar elemen disonansi kognitif, yaitu:
1.      Hubungan Tidak Relevan (Irrelevant Relationship)
Tidak adanya kaitan antara dua elemen kognitif.
Contoh: Pengetahuan bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan dan janin, serta rokok membunuhmu dengan pengetahuan bahwa di Indonesia tidak akan pernah turun salju.
2.      Hubungan Relevan (Relevant Relationship)
Adanya kaitan antara dua elemen kognitif, sehingga salah satu elemen mempunyai dampak terhadap elemen lainnya. Hubungan ini disebut juga konsistensi antara satu elemen dengan elemen yang lain, sehingga menciptakan harmoni. Hubungan ini terdiri dari dua macam, diantaranya:
a.    Disonan
Jika dari kedua elemen kognitif, satu elemen diikuti penyangkalan (observe) dari yang elemen lainnya. Berarti elemen-elemen yang terjalin tidak seimbang satu dengan lainnya.
Contoh: Seorang penganut agama yang mengetahui poligami memang diatur dalam agamanya[2], namun tetap merasa berat bila hal itu terjadi pada keluarganya.
b.    Konsonan
Terjadi ketika dua elemen bersifat relevan, dimana satu kognisi diikuti secara selaras oleh kognisi lainnya. Hubungan kedua elemen tersebut terjadi pada posisi seimbang.
Contoh: Jika seorang wanita mengetahui nge-gym bermanfaat untuk mengurangi resiko penyakit, membuat tubuh lebih bugar dan indah, melatih pernapasan, mengurangi stres, membakar lemak, memperkuat jiwa dan raga, serta menambah teman, maka keyakinan wanita tersebut untuk rutin nge-gym akan menciptakan hubungan yang konsonan antara elemen kognitif dengan perilakunya.
Lebih lanjut Festinger (1957) menjelaskan empat sumber disonansi diantaranya:
1.      Inkonsistensi Logika (Logical Incosistency)
Logika berpikir yang mengingkari logika berpikir lainnya.
Contoh: Seseorang yang percaya manusia dapat mencapai bulan, namun juga percaya manusia tidak dapat membuat alat yang dapat membantu keluar dari atmosfir bumi.
2.      Nilai budaya (cultural mores)
Kognisi yang dimiliki seseorang di suatu daerah kemungkinan akan berbeda di daerah lainnya.
Contoh: Orang Indonesia meyakini bersendawa merupakan suatu hal yang wajar setelah makan, namun tindakan tersebut dapat dianggap tidak sopan oleh orang Barat.
3.      Opini Umum (Opinion Generality)
Disonansi dapat muncul akibat perbedaan pendapat dengan apa yang menjadi pendapat umum.
Contoh: Seorang timses paslon Eramas dalam Pilgubsu 2018, yang dianggap publik pasti akan memilih Edy Rahmayadi – Musa Rajekshah, ternyata lebih memilih kandidat dari paslon Djoss (Djarot Saiful Hidayat – Sihar Sitorus) yang merupakan lawan politiknya.
4.      Pengalaman masa lalu (Past Experience)
Disonansi akan muncul, bila kognisi tidak konsisten dengan pengalaman masa lalu seseorang.
Contoh: Seseorang yang mengetahui bila terkena hujan akan basah, mengalami disonansi ketika suatu hari ia mendapati dirinya tidak basah saat terkena hujan.
Festinger (1957) menyatakan, terdapat 2 konsekuensi ketika seseorang mengalami disonansi, yaitu: 1) Terjadi ketidaknyamanan psikologis yang mendorong seseorang untuk mengurangi disonansi, dan mencapai kondisi yang konsonan; 2) Seseorang tidak hanya berusaha untuk mengurangi disonansi, tetapi juga akan menghindari situasi dan informasi yang dapat meningkatkannya. Dari 2 konsekuensi tersebut, Aronson dan Festinger (dalam Sarwono, 2009) memberikan solusi untuk mengurangi disonansi, diantaranya:
1.      Mengubah sikap atau perilaku menjadi konsisten satu sama lain.
Contoh: Seorang gay yang tinggal di lingkungan yang menentang keras LGBT, dapat pindah ke lingkungan lain yang lebih bisa menerima orientasi seksualnya. 
2.      Mencari informasi yang mendukung sikap atau perilaku, untuk menyeimbangkan elemen kognitif yang bertentangan.
Contoh: Seorang gay mencari referensi yang mendukung orientasi seksualnya bukanlah hal yang menyimpang, sehingga dapat lebih menenangkan diri dan dapat menjadi rujukan dalam diskusi.
3.      Menganggap ketidaksesuaian antara sikap dan perilaku sebagai suatu hal yang biasa. Berusaha tidak peduli, dan menjalani rutinitas kehidupan sebagaimana biasa.
C.    Contoh Kasus
Sebuah iklan anti-merokok terbaik pada tahun 2012 versi Cannes dengan judul Smoking Kid dapat dijadikan contoh kasus yang sesuai dengan Teori Disonansi Kognitif. Video pendek ini menceritakan banyak perokok dewasa yang tahu dampak buruk dari merokok, seperti: gangguan hati, kanker paru-paru, wajah terlihat tua, dan bahkan menyebabkan kematian. Namun, mereka tetap saja merokok. Uniknya, ketika seorang anak laki-laki dan anak perempuan hendak meminjam korek api untuk menyalakan rokok mereka, orang-orang dewasa tersebut menolaknya, dan menasehati mereka bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan. Terlihat jelas, bagimana Teori Disonansi Kognitif berlaku dalam iklan ini, dimana perokok dewasa sadar akan bahaya merokok (sikap kognitif), namun tetap saja melakukannya (perilaku). Ketidaksesuaian antara kognisi dan perilaku pun terjadi. You worry about me, but why not about yourself?



[1] Kognitif merujuk pada setiap bentuk pengetahuan, opini, keyakinan atau perasaan mengenai diri ataupun lingkungan seseorang. Elemen kognitif berhubungan dengan hal nyata (pengalaman sehari-hari), dan merupakan pengalaman psikologis seseorang.
[2] “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (QS. An-Nisa’: 3). 

Komentar

Postingan Populer