EXPECTANCY VIOLATION THEORY (TEORI PELANGGARAN HARAPAN)
sumber: www.google.co.id |
1.1.Pendahuluan
Pernahkah
kita mengira seseorang mencintai kita, lantaran perhatian dan kasih sayangnya? Padahal, dia sama
sekali tidak merasakan itu.
Kita pun menanyakan, “Apakah kamu mencintaiku?” atau “Terimakasih atas perhatianmu,
aku pun mencintaimu”, lantas orang itu pun mendadak ‘ilfil’ (hilang feeling/perasaan) dan pergi meninggalkan
kita. Hal inilah yang disebut Expectancy Violation Theory (EVT),
dimana kita telah melanggar harapan seseorang. Dalam kasus ini misalnya,
seseorang itu hanya ingin berteman saja dan tidak lebih dari itu. Venus (2003:
301) dalam jurnalnya menulis, “Setiap orang memiliki harapan tertentu pada
perilaku orang lain. Jika harapan tersebut dilanggar, maka orang akan bereaksi
dengan memberikan penilaian positif atau negatif sesuai karakteristik pelaku
pelanggaran tersebut”.
1.2.
Esensi Teori
Teori ini sebelumnya bernama Nonverbal Expectancy Violations
Theory (NEVT), yang dikenalkan oleh Judee K. Burgoon[1]. Teori
ini membahas
tentang pelanggaran personal space (jarak
pribadi)[2].
Kita tentu masih ingat dengan mata kuliah Komunikasi AntarBudaya, yang salah
satunya
membahas tentang jarak pribadi yang berlaku di Amerika Serikat. Tentu kita
masih ingat, saat Antropolog Edward T. Hall (dalam Samovar, dkk, 2010: 322), mengelompokkan ruang gerak pribadi
kedalam empat
kategori, diantaranya:
1. Jarak
intim = 18 derajat
2. Jarak
pribadi = 18 sampai 14 derajat
3. Jarak
sosial = 4 sampai 8 derajat
4. Jarak
publik = 8 sampai 10 derajat
Hal
ini sesuai dengan
Burgoon dalam pembahasan NEVT-nya, seperti:
1. Zona
Intim
0 - 18 inci (46 cm). Biasanya dilakukan dalam hubungan yang sangat dekat.
Contoh: jarak hubungan antara suami-istri.
2. Zona
Personal
18 – 4 kaki (46 cm -
1,2 m). Hanya ada sedikit kesempatan untuk melakukan kontak fisik, seperti
bergandengan tangan, berbicara dengan suara normal, dan menjaga jarak dengan
seseorang sejauh panjang lengan. Contoh: jarak hubungan antar sahabat.
3. Zona
Sosial
4 – 12 kaki (1,2 – 3,6
m). Zona ini banyak terdapat
di lingkungan kerja. Contoh: jarak
antara kolega ketika sedang
bercakap-cakap.
4. Zona
Publik
> 12 kaki ( > 3,7 m). Ketika melakukan presentasi didepan umum, jaraknya bervariasi;
dekat maupun jauh. Contoh: jarak antara Gubernur Sumut,
Teuku Erry Nuradi dengan tetamu undangannya ketika memberikan kata sambutan.
Dari zona-zona tersebut muncul pertanyaan di benak
Burgoon: Apa yang akan terjadi jika seseorang menunjukkan tingkah laku
nonverbal yang diluar dugaan?; dan bagaimana persepsi seseorang terhadap
tingkah laku nonverbal yang menyimpang itu? Berawal dari pertanyaan-pertanyaan inilah, kemudian Burgoon tertarik untuk meneliti perilaku
komunikasi nonverbal masyarakat Amerika,
yang menghantarkannya
pada penemuan teori Nonverbal Expectancy
Violation Theory (Syukri, 2016: 4). Teori ini diuraikan dalam karyanya berjudul “A
Communication Model of Personal Space Violations: Explication and an Initial
Test”, yang diterbitkan dalam jurnal Human Communication Research,
Volume 4 Tahun 1978 (Venus, 2003: 302).
Pada dasarnya, teori ini bertolak pada keyakinan, setiap orang memiliki
harapan-harapan tertentu, tentang bagaimana orang lain seharusnya bersikap padanya. Kepatutan tersebut sangat
bergantung pada agama dan
norma budaya yang dianut di lingkungannya. Bila harapan tidak terpenuhi, maka akan membuat kita memberikan penilaian ‘negatif’ kepada pelakunya, dan berpotensi merusak hubungan. Sebaliknya,
terpenuhinya harapan tersebut akan membuat kita
memberikan penilaian ‘positif’ kepada pelakunya, dan berpotensi melanggengkan
hubungan kedepannya. Namun, nyatanya jarak-jarak tersebut
rentan dilanggar. Contoh: seorang lelaki yang melanggar zona intim
seorang perempuan yang bukan
istrinya. Jelas tindakan ini melanggar jarak pribadi si perempuan, dan sangat
tidak diharapkan olehnya. Kecuali dalam situasi darurat, dimana
si perempuan kecelakaan dan si laki-laki hendak menolong. Jelas si laki-laki harus melanggar jarak
pribadi si perempuan dengan membopongnya ke rumah sakit.
Teori ini terus mengalami perkembangannya. Salah satunya
ketika Burgoon memandang pelanggaran harapan tidak melulu soal
noverbal, tapi juga verbal dan tindakan-tindakan lainnya. Sehingga Nonverbal
Expectation Violation (NEV) berubah menjadi Expectation Violation
Theory (EVT). Ada tiga kata kunci dari teori ini, yaitu: Harapan (Expectancy), Pelanggaran
Harapan (Expectancy Violations), dan
Valensi Ganjaran Komunikator (Communicator
Reward Valence) (Griffin, 2000). Berikut penjelasannya:
1. Expectancy
Sesuatu
yang diharapkan akan terjadi. Perkiraan ini muncul karena adanya context (norma budaya); relationship (kemiripan, familier,
kesukaan, status hubungan); dan communicator
characteristics (umur, jenis kelamin, tempat lahir, penampilan fisik,
kepribadian, dan gaya berkomunikasi).
Contoh:
Tentu kita masih ingat saat Dian Sastrowardoyo tidak
mau diajak foto oleh penggemarnya. Akibatnya, pemeran Cinta dalam film Ada Apa
Dengan Cinta itu
tak sedikit menuai hujatan dari netizen. Meski selanjutnya, Dian Sastro
mengklarifikasi perbuatannya itu
dalam suatu
acara televisi. Hanung Bramantyo juga meminta maaf dan mengklarifikasi tindakan pemeran Kartini di film-nya itu. “Selaku sutradara film Kartini, saya minta
maaf jika ada salah satu pemain saya tidak sopan dengan penonton atau penggemar. Kami berusaha
untuk selalu baik dengan siapapun, tapi kami juga manusia. Kami bisa juga lelah dan tidak sadar
kelelahan kami mengakibatkan sikap yg
gak enak. Saya percaya apa yang dilakukan Dian maupun pemain lain bukan
sesuatu yang disengaja. Maafkan, maafkan yaa,” tulis Hanung
di kolom komentar Instagram-nya (sumber: Youtube).
2. Expectancy Violations
Expectancy Violations
merupakan nilai positif atau negatif dalam merespons kelakuan tak terduga pelaku. Pelanggaran dapat bermakna ambigu[3],
tetapi dengan bantuan pesan nonverbal biasanya nilai dapat ditentukan.
Contoh:
Seorang suami yang seharusnya mencintai istri dengan tulus, malah melakukan
kekerasan terhadapnya. Baik melalui kekerasan fisik ataupun kekerasan kata-kata (verbal).
Tindakan ini tentu menimbulkan dampak traumatik pada diri istri, sekaligus
melanggar pengharapannya
untuk dilindungi bukan dilukai secara fisik ataupun hatinya.
3. Communicator Reward Valences
Communication Reward Valences adalah
hasil pertimbangan pikiran mengenai keuntungan atau kerugian, yang didapat seseorang dalam interaksi.
Contoh: Jika laki-laki atau perempuan dalam Islam
mendapatkan lawan jenis yang mengamalkan firman Allah SWT, maka tentu akan
menjadi ghirah (semangat) tersendiri bagi si laki-laki untuk
memperistrinya, atau perempuan untuk menjadikannya suami/imam dalam hidupnya.
Hal ini terjadi karena keduanya mempertimbangkan ‘pahala’,
dan potensi kebahagiaan rumah
tangga yang akan mereka dapatkan kelak (atribut positif).
Selama 30 tahun Burgoon meneliti EVT, dia juga
mendapatkan hasil, bahwa manusia sangat subjektif dalam memahami pelaku
komunikasi. Salah satunya ialah melalui kesan yang ia dapatkan ketika
berinteraksi dengan orang lain. Jika kita ‘menyukai’ pelaku pelanggar harapan
kita, atau jika pelanggar tersebut merupakan orang yang berstatus sosial lebih
tinggi, maka kita akan ‘legowo’ menerima pelanggaran tersebut. Contoh:
Kim Shin (Gong Yoo) terkenal dingin kepada Ji Eun-Tak (Kim Go-eun), sehingga Ji
Eun Tak menyangka Khim Shin tidak akan pernah menaruh hati padanya. Nyatanya, Kim Shin juga jatuh hati pada Ji Eun Tak, dan merupakan
sosok pria romantis dibalik kedinginannya (sumber: drama Korea ‘Goblin’). Hal ini
tentu bentuk pelanggaran
harapan yang disukai Ji Eun-Tak, sekaligus menunjukkan bahwa Kim Shin merupakan
manusia abadi (immortal) yang tetap
membutuhkan cinta. Sebaliknya,
jika kita ‘tidak menyukai’ pelaku, kita tidak akan mentolerir pelanggaran yang
telah dilakukan apapun alasannya (Infante, 2003).
Burgoon
mengajukan beberapa proposisi[4]
yang menjadi landasan teori ini, diantaranya:
·
Manusia memiliki
dua kebutuhan yang saling berlomba-lomba untuk terpenuhi, yaitu: kebutuhan
untuk berkumpul bersama dengan orang lain, dan kebutuhan untuk menyendiri
dengan mengadakan jarak pribadi pada dirinya. Kedua kebutuhan ini tidak dapat
dipenuhi secara bersamaan.
·
Manusia
memiliki kemampuan untuk merasakan beragam corak warna dalam jarak.
·
Manusia
dapat mengembangkan pola tingkah laku yang berbeda dari norma-norma sosial.
·
Manusia
mengembangkan harapan tertentu pada perilaku komunikasi orang lain.
Konsekuensinya, setiap orang memiliki kemampuan untuk memberikan tanggapan yang
berbeda terhadap perilaku komunikasi orang lain yang menyimpang,
atau sejalan dengan tuntunan norma sosial.
·
Penyimpangan
dari harapan akan memunculkan tanggapan tertentu.
·
Orang-orang
yang berinteraksi membuat penilaian terhadap orang lain.
·
Penilaian
yang dilakukan dipengaruhi oleh persepsi terhadap pelaku pelanggar harapan
(Burgoon, 1978: 129-142).
Untuk
proposisi yang pertama, Neulip (2000) mengatakan,
poin ini merujuk pada konsep dasar ilmu
antropologi, sosiologi dan psikologi yang meyakini, manusia adalah makhluk
sosial yang tidak dapat hidup sendiri (the
human can not life alone). Manusia sebagai homo socius memiliki naluri biologi untuk bersosialisasi dengan
orang lain. Namun demikian, manusia juga tidak dapat mentolerir apabila ruang
pribadinya terusik.
Selain itu, ada 3 teori yang berhubungan dengan EVT, yaitu: 1) Proxemics
Theory; 2) Anxiety/Uncertainty
Management (AUM) Theory; dan 3) Social
Exchange Theory (SET). Berikut
penjelasannya:
1) Proxemics Theory
Proxemics
Theory adalah teori yang mempelajari posisi dan jarak tubuh
seseorang saat berlangsungnya komunikasi antarpribadi. Edward T. Hall
merupakan pencetus dari teori ini.
Menurut Edward, zona-zona proksemik sebagaimana disebutkan di atas dapat
mengakibatkan adanya penafsiran
negatif
atau positif terhadap pelaku
pelanggarnya.
2) Anxiety/Uncertainty Management
(AUM) Theory
Anxiety/Uncertainty
Management (AUM) Theory adalah teori yang menjelaskan,
perbedaan antar manusia
dapat menimbulkan kecanggungan untuk
berkomunikasi, karena timbulnya
ketidakpastian. Teori ini dikemukakan
oleh William Gundykunst, seorang Profesor Speech
Communication dari California State University.
3) Social Exchange Theory
(SET)
Social
Exchange Theory (SET) adalah teori yang mengatakan,
kontribusi seseorang dalam suatu hubungan dapat memengaruhi orang lain.
Pencetus teori ini adalah Thibault dan Kelley.
1.3.
Studi Kasus
Sebuah penelitian karya M. Syukri pernah mengangkat
masalah EVT dengan judul “Analisis Pelanggaran Harapan
Nonverbal dalam Jarak Personal Karyawan Riau Pos Pekanbaru”.
Dalam penelitian itu ditemukan hasil, jarak yang terlalu dekat dapat
menimbulkan ketidaknyamanan saat bekerja. Apalagi, pekerja di Riau Pos membutuhkan ruang
untuk menyendiri agar
lebih fokus dalam mencari ide-ide,
atau mengedit
tulisan yang akan naik cetak.
Sebagaimana observasi Syukri,
tata
letak meja dan kursi para jurnalis
dan
karyawan Riau Pos Pekanbaru[6]
kurang mendapat perhatian
pihak manajemen. Beberapa jarak
meja
terlalu dekat dengan meja yang lainnya (termasuk jarak personal/ 18 – 4 kaki/46
cm - 1,2 m). Seharusnya, jarak antar meja
berada pada jarak sosial (4 – 12 kaki/1,2 – 3,6 m), yang memungkinkan karyawan
meneruskan pekerjaannya dengan fokus.
“Kami butuh
waktu beberapa menit untuk menyendiri yaitu ketika ingin mencari ide, tapi
selain itu tidak perlu. Jadi, jam untuk
menyendiri tidak ditentukan ketika kita ada berita yang bakal deadline dan beritanya tidak ada foto, kita perlu cari inspirasi
misalnya turun keluar gedung untuk sekedar minum dan merokok. Jika sudah dapat
idenya langsung naik ke atas untuk berbaur lagi untuk mengerjakan. Kami butuh
menyendiri hanya untuk mencari ide, bukan karena ingin menjauhkan diri dari
kawan-kawan, tidak mau berbaur atau sebagainya, waktu kerja aja tidak mau
diganggu. Takutnya pekerjaan jadi terhambat” (Aidil Adri, Kepala Departemen
Desain Riau Pos, 26 April 2016).
“Kalau di
kantor kita jarang sendiri, ketika sudah jam tiga, kita melanjutkan menyiapkan editing dan menyiapkan laporan
lapangan yang dibutuhkan kawan-kawan redaktur selaku penanggungjawab, kalau
melakukan itu memang butuh fokus, jika ada
tamu saya minta cancel, diundur
besok pagi atau siang, kalau panggilan lewat telpon minta konfirmasi selepas
maghrib. Jadi, jam tiga sampai jam enam memang
waktu padat, kita butuh fokus dan tidak bisa diganggu” (Desriandi Candra, Koordiantor Liputan
Riau Pos, 26 April 2016).
Selain itu, pelanggaran harapan lain yang membuat karyawan Riau Pos tidak
nyaman, yakni kecenderungan berkomunikasi dengan
intonasi tinggi (berteriak ketika ada kesalahan
berita, cetak, dan
sebagainya). Namun, lama-kelamaan karyawan menganggap itu sebagai suatu kewajaran. Apalagi, hal yang dipeributkan
masih seputar pekerjaan. Karyawan Riau Pos juga telah memahami karakter setiap
koleganya yang berbeda, sehingga pelanggaran harapan yang terjadi dapat
dipahami sebagai suatu hal yang niscaya dan dapat dikelola dengan baik.
1.4. Simpulan
Menurut
kelompok kami, penerapan EVT sangat
bagus untuk dapat memahami pola-pola perilaku komunikasi dari berbagai kultur
masyarakat. Sehingga, jalannya proses komunikasi
bisa berlangsung lancar tanpa hambatan. Sekaligus
menyadarkan kita, bahwa bahasa tubuh tidak bisa diabaikan begitu saja dalam
proses komunikasi (Buckley, 2013).
Daftar Pustaka
Kitab:
Al-Quranul Karim
Jurnal:
Buckley, Susan G. (2013). Buku Pintar Bahasa Tubuh. Jakarta:
Penerbit Cerdas Pustaka.
Burgoon, Judee K. (1978). A Communication Model of Personal Space
Violations: Explication and Initial Test. Human Communication Research,
Vol. 4, Hal. 129-124.
Syukri, M. (2016). Analisis Pelanggaran Harapan Nonverbal dalam
Jarak Personal Karyawan Riau Pos Pekanbaru, JOM FISIP, Vol. 3, No. 2, Hal.
1-15.
Venus, Antar. (2003). Nonverbal Expectancy Violation Theory.
Mediator, Vol. 4, No. 2, Hal. 301-306.
Buku:
Infante, Dominic A, Andrew S Rancer,
& Deanna F Womack. (2003). Building
Communication Theory. Illinois: Waveland Press Inc.
Neulip, James W. (2000). Intercultural Communication: a Contextual
Approach. USA: Houghton Mifflin Company.
Samovar, Larry A. (2010). Komunikasi
LintasBudaya (Communication Between Cultures). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.
[1] Judee K. Burgoon adalah Profesor Komunikasi Universitas Arizona, AS.
Burgoon merupakan teoritikus wanita yang banyak melakukan penelitian terkait
dengan komunikasi noverbal. Pemikirannya telah banyak tersebar baik dalam
bentuk artikel, jurnal maupun buku-buku bertema komunikasi.
[2] Jarak pribadi sangat bergantung pada norma budaya suatu negara,
sebagaimana yang dinyatakan Edward T. Hall dalam pengklasifikasian ruang dan
jarak pribadi (proksemik).
[3]
Tindakan ambigu adalah tindakan yang memiliki makna ganda. Seperti tersenyum dengan menarik salah satu sudut bibir,
disertai dengan pandangan menyamping sembari menyipitkan mata (senyum sinis/sarcastic smile). Tentu, senyuman ini akan bernilai
negatif, karena sifatnya yang bertujuan untuk mengejek dan menyatakan diri
lebih hebat.
[4] Proposisi teori ini tidak
mengalami perubahan sejak dikemukakan pertama kali pada tahun 1978.
[5] Menurut para ahli, normatif adalah berpegang teguh pada
norma, aturan dan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini kata normatif
mengacu pada sikap, loyalitas dan kesetiaan seseorang terhadap aturan di
lingkungannya.
[6]
Riau Pos Pekanbaru adalah suratkabar regional dibawah PT. Riau Pos
Intermedia. Perusahaan ini bergerak di bidang penerbitan, dengan
produk andalannya suratkabar, yang memiliki wilayah edar di seluruh
kabupaten/kota Provinsi Riau dan menjadi kebanggaan masyarakatnya (Syukri,
2016: 3).
Komentar
Posting Komentar