MODEL KOMUNIKASI PARTISIPASI DAN JARUM HIPODERMIK
Ilustrasi seorang guru bercadar yang tengah mengajari murid-muridnya suatu pelajaran (sumber: www.google.co.id) |
A. Model Komunikasi Partisipasi
Model komunikasi partisipasi dikembangkan oleh
Everett M. Rogers dan Lawrence Kincai. Model ini dimaksdudkan untuk menggantikan
model komunikasi satu arah, yang telah banyak mendominasi penelitian-penelitian
terdahulu. Dalam model komunikasi partisipasi, komunikator dan komunikan
sama-sama aktif dalam mengirim dan menerima pesan. Namun, model ini kurang bisa
diterapkan dalam komunikasi massa, karena sifat umpan baliknya yang tertunda.
Andaipun kini telah ada dialog interaktif antara pembawa acara dengan
khalayaknya, hal tersebut merupakan special case (kasus khusus) yang
sangat sedikit jumlahnya, sehingga tidak dapat digeneralisir.
Kelebihan model ini apabila benar bisa
diterapkan di media yakni, media tidak menjadi pendikte lewat siarannya, dan
khalayak bukanlah kerbau yang dicucuk hidung. Dalam model komunikasi
partisipasi, setiap peserta komunikasi berada pada posisi ‘sama rata sama
rasa’.
B. Model Jarum Hipodermik
Model jarum hipodermik diperkenalkan oleh
Elihu Katz pada tahun 1930. Model jarum hipodermik mengasumsikan media massa
memiliki kekuatan ‘super’ untuk mempengaruhi khalayaknya yang pasif dan homogen.
Teori-teori yang sejalan dengan model ini adalah bullet theory (teori
peluru), transmition belt theory (teori sabuk transmisi), dan teori
Stimulus-Respon (S-R) oleh Wilbur Schram pada tahun 1930-an. Namun, satu per
satu teori ini rontok, tak terkecuali teori S-R pada tahun 1970-an. Pada saat
itu, pakar komunikasi meyakini, masyarakat mulai aktif dan selektif dalam
memilih media mana yang ingin dikonsumsinya.
Contoh 1: Air mineral “AQUA” yang
terus-menerus menayangkan iklan di televisi seperti “Iklan AQUA edisi
kemerdekaan RI – Rangkul Kebaikan, Saya Indonesia”; “Iklan AQUA #AdaAqua”;
“Iklan AQUA Ngomong Jepang“ dan sebagainya menjadikan merk ini
tergeneralisasi. Hampir setiap air minum mineral kemasan disebut AQUA, meskipun
sejatinya bukan.
Contoh 2: Valentino, bocah berusia 5 tahun
yang terjun dari lantai 19 apartemen Laguna, Jakarta Utara, lantaran ingin
meniru tokoh idonya Spiderman. Meskipun bukan faktor utama, namun tayangan media
turut menjadi pemicu anak mempraktikkan adegan yang salah. Apalagi, anak merupakan
‘peniru’ ulung di usianya (sumber: m.liputan6.com, 1 Mei 2014).
|
Komentar
Posting Komentar