THEORY OF REASONED ACTION & THEORY OF PLANNED BEHAVIOUR
Sumber: www.google.co.id |
A. Pendahuluan
Theory of Reasoned Action (TRA) diperkenalkan oleh Icek Ajzen[1]
dan Martin Fishbein[2]
pada tahun 1967. TRA memandang pentingnya peran sikap dalam menentukan suatu
perilaku individu. Sikap dipandang sebagai faktor pertama yang mendorong orang
untuk berperilaku. Baik berupa sikap positif atau negatif atas perilaku yang
akan ia lakukan. Pada tahun 1988, teori ini bertransformasi menjadi Theory
of Planned Behaviour (TPB). Karena TRA dianggap hanya mampu
menganalisis perilaku berdasarkan dorongan sikap (kemauan sendiri). Sedangkan, TPB
melengkapi kemampuan analisisnya dengan menambahkan faktor norma subjektif,
yakni penilaian dari luar diri individu untuk berperilaku.
Norma subjektif dapat dikatakan sebagai bentuk
evaluasi orang lain terhadap perilaku seseorang. Jika orang lain menilainya
sebagai tindakan yang positif, maka individu terkait akan menampilkan kembali
perilaku yang sama, karena mempersepsikan orang lain suka dengan perilakunya
tersebut. Contoh: pujian seorang ibu kepada anaknya dengan kata “anak pintar”,
maka anak tersebut akan mempersepsikan ibunya suka dengan kepintarannya, sehingga
ia semakin giat belajar. Dalam kasus ini, ibu merupakan orang penting dalam
norma subjektif si anak.
Perbedaan mendasar lain antara TPB dengan
TRA adalah ditambahkannya dua faktor penentu perilaku individu, seperti:
1) Control beliefs (kepercayaan individu mengenai kemampuan untuk
mengendalikan perilakunya); dan 2) Perceived power (persepsi individu
mengenai kekuasaan yang dimiliki untuk melakukan suatu perilaku). Contoh faktor
control beliefs: Saat seseorang membeli motor ‘Yamaha Mio S’ yang berbodi
ramping karena kemudahan untuk mengendalikannya di jalan raya, ketimbang memilih
‘Honda Scoopy’ yang bisa membuatnya oleng sewaktu-waktu. Adapun contoh
untuk perceived power: Saat seorang laki-laki memendam rasa cintanya
kepada seorang perempuan karena ketidaksiapan fisik, mental dan materi,
sehingga merelakannya untuk dipersunting oleh laki-laki lain. Baik faktor control
beliefs maupun perceived power, keduanya sangat ditentukan
oleh Term of Reference (Pengetahuan) dan Term of Experience
(Pengalaman) individu terhadap perilaku yang akan dilakukan.
Dalam TPB orang memikirkan dampak dari
tindakan mereka, sebelum mereka memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan
suatu perilaku. Contoh: Saat Zainuddin menolak kembali membuka hati kepada
Hayati yang telah mengkhianatinya. Zainuddin telah memperkirakan dampak yang
akan diterima Hayati berupa sakit hati. Namun, Zainuddin tetap melakukannya agar
Hayati tahu bagaimana sakitnya dikhianati. Berikut perilaku Zainuddin yang
tertuang dalam bentuk kata-kata terhadap Hayati:
“Awak hancurkan semua harapan saya. Awak
patahkannya. Sekarang awak minta maaf? Wanita memang begitu. Dia cuma ingat
kekejaman yang orang lakukan padanya walaupun kecil, dan lupa kekejamannya pada
orang lain sedangkan ia begitu besar. Awak lupa siapa antara kita yang kejam?
Bukankah awak yang berjanji ketika saya diusir oleh ketua adat kerana keturunan
saya tidak jelas, orang hina, bukan darah tulen Minangkabau!’
“Awak menghantar saya ke simpang jalan. Awak berjanji
akan menunggu saya tak kira berapa lama. Namun kemudian awak memilih lelaki
lain yang lebih gagah, kaya raya, bersuku, beradat, berketurunan. Awak kahwini
dia. Awak beritahu saya yang perkahwinan itu bukan dipaksa tapi atas kerelaan
awak sendiri. Saya hampir mati menanggung cinta, Hayati.’
“Hampir dua bulan saya terlantar. Awak melawat
saya semasa saya sakit, tunjukkan inai di tangan awak, yang awak isteri orang
lain. Saya menulis surat, meratap, merendahkan diri, memohon dikasihani.
Kemudian awak balas surat itu dengan isi yang amat kejam. Awak kata kita
sama-sama miskin. Hidup tidak bahagia jika tiada wang. Jadi awak memilih
kehidupan yang lebih senang. Berlimpahan wang dan emas permata.’
“Siapa yang menghalang seorang anak muda yang
bercita-cita tinggi untuk menambah ilmu tapi akhirnya terbuang jauh ke tanah
Jawa, hilang kampung halaman sehingga dia akhirnya cuma ketawa dihadapan umum, dan
menangis di sebalik tirai.’
“Saya tak kejam. Saya cuma ikut permintaan
awak. Bukankah awak yang menulis dalam surat awak agar cinta awak dihapuskan
dan dilupakan? Digantikan dengan persahabatan yang kekal. Permintaan itulah
yang saya pegang teguh. Awak bukan kekasih saya, tunangan saya, isteri saya
tapi janda kawan saya. Jadi sebagai kawan, atau abang, saya akan berpegang
teguh pada janji saya dalam persahabatan itu. Sebagaimana teguhnya saya
memegang cinta saya dulu.’
“Oleh itulah dengan segenap kerendahan hati
saya, saya bawa awak tinggal di rumah ini untuk menunggu kepulangan suami awak.
Namun dia tidak pulang, sebaliknya surat cerai dan khabar ngeri yang sampai.
Jadi sebagai sahabat juga saya akan hantar awak ke kampung awak, tempat
kelahiran awak, tanah Minangkabau yang kaya dengan adat, yang tak lapuk dek
hujan dan tak lekang dek panas.’
“Selagi saya masih hidup, jika awak masih
belum menemui suami lain, insya-Allah saya akan tanggung kehidupan awak di
kampung.’
“Tidak. Pisang takkan berbuah dua kali. Lelaki
takkan sentuh sisa orang. Jangan nak menumpang hidup pada saya yang tak
berketurunan ini. Tanah Minangkabau beradat” (salah satu penggalan scene film ‘Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijk’, source: Youtube).
Seorang individu yang menampilkan perilaku
berdasarkan sikap, maka ia tidak memiliki beban apapun untuk melakukannya.
Artinya, seorang individu menampilkan atau tidak menampilkan suatu perilaku
berdasarkan kontrolnya sendiri. Sementara, jika seorang individu menampilkan
suatu perilaku berdasarkan dorongan orang lain, maka ia akan menghadapi dilema
antara melanjutkan atau menghentikan perilakunya tersebut.
B. Pembahasan
Meskipun teori TRA dan TPB berasal
dari kajian psikologi sosial, namun teori ini banyak diterapkan dalam ilmu
sosial lainnya, salah satunya adalah ilmu komunikasi. Seperti komunikasi
pemasaran untuk melihat motif perilaku konsumen dalam memilih suatu produk/jasa;
atau motif audience dalam memilih saluran komunikasi (channel tv/
rubrik koran/ program radio dan sebagainya); atau melihat motif komunikan
(siswa) dalam belajar dan sebagainya. Hal ini menunjukkan betapa fleksibelnya
kedua teori ini untuk diterapkan dalam berbagai bidang ilmu.
Adapun tujuan dan manfaat TRA dan TPB
secara spesifik, yakni memahami motivasi individu terhadap perilaku yang
dilakukannya. Seperti mengapa seseorang memilih bekerja sambil melanjutkan S2?
Mengapa seseorang memilih Eramas ketimbang Djoss pada Pilgubsu 2018? atau
mengapa seseorang mencintai perempuan yang jelas-jelas berbeda agama dengannya?
Untuk menjawab pertanyaan itulah, TRA dan TPB menyediakan kerangka
berpikir untuk mempelajari sikap dan norma subjektif yang mendorong
terbentuknya perilaku seseorang.
“Jika seseorang mempersepsikan perilaku yang dilakukannya
positif, maka ia akan memiliki sikap positif terhadap perilakunya tersebut.
Sebaliknya, jika seseorang mempersepsikan perilaku yang dilakukannya negatif,
maka ia akan memiliki sikap negatif terhadap perilakunya tersebut dan
meninggalkannya. Atau jika orang lain memandang perilakunya positif, maka
individu akan mempertahankannya demi memenuhi harapan orang lain. Sedangkan,
jika orang lain memandang perilakunya negatif, maka individu akan meninggalkan
atau tetap mempertahankannya” (Achmat, hal: 2).
Cara pengaplikasian TRA dan TPB dalam
penelitian ialah dengan menyebarkan kuesioner berskala Likert, seperti: Suka/Tidak
Suka, Baik/Buruk, atau Setuju/Tidak Setuju kepada responden yang diteliti.
Hasil kuesioner ini untuk mengukur keterpengaruhan sikap dan/atau norma
subjektif terhadap perilaku individu. Selain itu, TRA dan TPB kerap
peneliti gunakan sebagai landasan teori. Adapun kekurangan TRA dan TPB
adalah minimnya pembahasan tentang budaya baik individualistik ataupun kolektivistik.
Padahal, norma subjektif sangat berkaitan dengan budaya yang dianut individu. Berbeda
budaya jelas memberikan penilaian berbeda orang lain terhadap perilaku individu.
C. Simpulan
Dari pembahasan di atas, maka peneliti
mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. TRA dan TPB bertujuan menganalisis faktor terjadinya
suatu perilaku pada diri individu, baik secara sikap ataupun norma subjektif.
2. Peneliti menggunakan TRA dan TPB
sebagai landasan teori, serta dasar menyusun kuesioner.
3. TRA dan TPB sangat adaptif untuk diterapkan pada berbagai
penelitian sosial.
4. TRA dan TPB masih relevan digunakan hingga sekarang.
[1] Icek Ajzen, Ph.D adalah profesor psikologi dari University of
Massachusetts. Ia banyak menulis artikel, paper, jurnal, serta buku
mengenai Theory of Reasoned Action dan Theory of Planned Behaviour.
Bersama rekannya, Fishbein ia menulis buku “Understanding Attitude and
Predicting Social Behaviour” pada tahun 1980, dan menjadi rujukan bagi para
psikolog sosial.
[2] Martin Fishbein, Ph.D adalah profesor dari Department of Psychology and
the Institute of Communications Research, University of Illinois,
Urbana. Bersama koleganya, Ajzen ia menulis buku “Belief, Attitude,
Intention and Behaviour: An Introduction to Theory and Research” pada tahun
1975. Sama seperti rekannya, ia juga produktif dalam menghasilkan karya tulis ilmiah.
Komentar
Posting Komentar