Analisis Praktik Sosiokultural Pemberitaan UU MD3 di Harian Waspada

Hasil gambar untuk uu md3
Sumber: www.google.co.id
           Edisi Maret
1.     Situasional
Dalam konteks pemberitaan UU MD3 di Harian Umum Nasional Waspada, tampak jelas bagaimana isi teks pemberitaan tersebut diproduksi diantaranya karena memperhatikan aspek situasional. Pemberitaan UU MD3 yang kala itu masih terus berjalan, dengan sejumlah pasalnya yang dianggap kontroversial seperti Pasal 73 tentang pemanggilan paksa, yang berbunyi: (1) DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memanggil setiap orang secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR; (3) Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia; (5) Dalam hal menjalankan panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menyandera setiap orang untuk paling lama 30 (tiga puluh) Hari. Pasal yang dianggap kontroversial dalam UU MD3 ini merupakan satu peristiwa yang penting untuk diberitakan.
Pemberitaan UU MD3 di Harian Umum Nasional Waspada dibalut dengan konteks situasional yang khas, seperti: “Mengekang Kebebasan Pers, Wartawan Indonesia Deklarasi Menolak UU MD3” (2/3/2018); “Jokowi Tidak Tandatangani UU MD3” (15/3/2018); “PMII Tolak UU MD3” (9/3/2018); “Jokowi ‘Cuci Tangan’ dalam Polemik UU MD3” (16/3/2018). Namun, 3 dari 4 pemberitaan tersebut cenderung bersifat netral. Hanya 1 dari 4 pemberitaan yang sifatnya kontra berjudul “Jokowi ‘Cuci Tangan’ dalam Polemik UU MD3 (16/3/2018). Pemberitaan itu berisi tentang Presiden yang terkesan ‘cuci tangan’ dari polemik revisi UU MD3, kalau mendesak masyarakat mengajukan judicial review UU MD3 ke MK; Respon Presiden menolak menandatangani UU MD3 sudah telat; Tanpa ditandatangani Presiden pun, UU tetap bisa diundangkan dalam 30 hari; Respon Presiden Menolak UU MD3 diduga hanya pencitraan; Kurang matangnya pengkajian UU MD3; Presiden harus membuat langkah riil, agar tidak terkesan cuci tangan; dan Masyarakat menunggu sikap Presiden, dan penerbitan Perpu sangat beralasan. Pemberitaan ini didominasi oleh pernyataan Pakar Hukum USU, Dr. Abdul Hakim Siagian.
Tentu, isi teks pemberitaan yang kontra ini memberikan sumbangsih terhadap wacana di Harian Umum Nasional Waspada. Sekaligus, jelas menarik perhatian pembaca terhadap sikap pihak yang kontra terkait UU MD3. Hanya saja, Harian Umum Nasional Waspada dalam hal ini masih mengandalkan jenis pemberitaan prominence, dimana Dr. Abdul Hakim Siagian masih menjadi narasumber tunggal dari segi hukum.
Selain itu, Harian Umum Nasional Waspada kurang menggunakan pemberitaan di edisi Maret sebagai alat perjuangan untuk menolak UU MD3. Hal ini terlihat dari banyaknya pemberitaan yang netral ketimbang yang pro ataupun kontra, 3 netral banding 1 kontra. Berikut rinciannya: “Mengekang Kebebasan Pers, Wartawan Indonesia Deklarasi Menolak UU MD3” (netral); “Jokowi Tidak Tandatangani UU MD3” (netral); “PMII Tolak UU MD3” (netral); dan “Jokowi ‘Cuci Tangan’ dalam Polemik UU MD3 (kontra)”.
Pemberitaan tersebut dominan netral, karena Harian Umum Nasional Waspada mempertimbangkan Presiden, yang telah memutuskan tidak akan menandatangani hasil revisi UU MD3[1]. Keputusan ini Presiden ambil karena mengetahui dinamika di masyarakat terkait sejumlah pasal yang kontroversial. “Hari ini terakhir saya sampaikan tidak menandatangani UU itu, karena saya sadar, mengerti, dan tahu ketentuan UU itu akan berlaku meski tidak saya tandatangani (15/3/2018). Hal ini selaras dengan tuntutan insan Pers, yang mendorong seluruh pihak menghormati kemerdekaan Pers, dan merevisi beberapa undang-undang krusial yang dianggap mengekang kebebasan Pers (2/3/2018).
Sedikit banyak pemberitaan UU MD3 selama ini berhasil mempengaruhi opini publik. Apalagi, Harian Umum Nasional Waspada sebagai media massa merupakan agen sosialisasi sekunder, yang dampak penyebarannya paling luas dibanding agen sosialisasi lain. Cukup signifikan dalam memengaruhi masyarakat, baik dari segi kognitif (pemikiran), afektif (perasaan) maupun behavioral (perilaku)-nya untuk menolak UU MD3. Hal ini kemudian diketahui oleh Presiden, bahwa mayoritas masyarakat menolak UU MD3, karena memuat sejumlah pasal kontroversial. Sehingga, Presiden pun memutuskan untuk tidak menandatanganinya.   
Dalam kacamata idealisme media, sejumlah pemberitaan UU MD3 terdahulu, telah berhasil membuat Presiden untuk menolak menandatanginya. Lewat pemberian ruang pemberitaan yang besar kepada demonstrasi insan Pers dan tuntutannya (2/3/2018); dan demonstrasi mahasiswa dan tuntutannya (9/3/2018), yang semuanya menolak pemberlakuan UU MD3. Berikut beberapa kutipan terkait penolakan mereka terhadap UU MD3.
a.      “Kami menolak pemberlakuan UU MD3 sebab dipahami berpotensi mengekang kemerdekaan Pers (Yusi Adam, Wartawan asal Manado).
b.     Kami menolak UU MD3 yang baru, karena akan menciderai demokrasi (Adam Jordan Simanjuntak, Ketua PMII Cabang Labuhanbatu dan daerah pemekarannya).
c.      Jika kritis dianggap menghina, maka akan sulit bagi masyarakat untuk menilai kinerja dewan (Adam Jordan Simanjuntak, Ketua PMII Cabang Labuhanbatu dan daerah pemekarannya).
2.     Institusional
Dalam masyarakat modern, pada dasarnya Pers merupakan institusi yang mempunyai tiga wajah sekaligus. Ia merupakan institusi politik, institusi sosial dan institusi bisnis. Seperti yang dikutip dari Severin dan Tankard (2008: 373) yakni kekuatan politik, sosial, dan ekonomi tersebut berpengaruh langsung terhadap isi media. Maka, level institusional melihat bagaimana pengaruh institusi Harian Umum Nasional Waspada dalam memproduksi berita-berita UU MD3. Institusi ini bisa berasal dari dalam diri media sendiri, bisa juga kekuatan-kekuatan eksternal diluar media yang menentukan proses produksi berita.
Faktor institusi media tidak selamanya berhubungan dengan ekonomi, tetapi juga berhubungan dengan kebijakan yang diterbitkan negara. Apabila suatu kebijakan yang disahkan negara tidak sesuai dengan institusi media, maka media tersebut akan berusaha menentangnya lewat pemberitaan yang ada. Salah satunya adalah kebijakan UU MD3 yang mendapat penolakan keras dari insan Pers. Walaupun, pemberitaan di Harian Umum Nasional edisi Maret didominasi pemberitaan yang sifatnya netral, namun pemberitaan netral tersebut tidak menghilangkan substansi penolakan insan Pers dan mahasiswa terhadap UU tersebut. Seperti yang terdapat pada pemberitaan berjudul: “Mengekang Kebebasan Pers, Wartawan Indonesia Deklarasi Menolak UU MD3 (2/3/2018). Dalam pemberitaan tersebut diinformasikan, sebanyak 146 wartawan Indonesia dari berbagai platform media menyampaikan pernyataan sikap menolak pemberlakuan UU MD3; dan Mendorong seluruh pihak menghormati kemerdekaan Pers, dan merevisi beberapa undang-undang krusial yang dianggap mengekang kebebasan Pers.
Juga pemberitaan berjudul: “PMII Tolak UU MD3” (9/3/2018). Dalam pemberitaan tersebut diinformasikan, massa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kab. Labuhan Batu dan daerah pemekarannya, berunjukrasa di DPRD setempat menolak UU MD3. Mereka juga mengumpulkan petisi (tanda tangan) penolakan, karena UU MD3 akan mengekang kebebasan masyarakat untuk mengkritisi kinerja DPR dan DPRD. Maka daripada itu, produksi pemberitaan UU MD3 menunjukkan, sikap Harian Umum Nasional Waspada tidak mungkin bisa dilepaskan dari pengaruh kebijakan UU MD3, yang mereka anggap kontroversial untuk kemudian mereka lawan melalui teks-teks beritanya.
Meski demikian, dominasi pemberitaan UU MD3 edisi Maret bersifat netral, karena diberikannya ruang bagi pemerintah untuk memberikan pernyataan untuk menidaklanjutinya. Seperti judul pemberitaan “Mengekang Kebebasan Pers, Wartawan Indonesia Deklarasi Menolak UU MD3” (2/3/2018). Dimana dalam pemberitaan tersebut, Harian Umum Nasional Waspada memberikan ruang untuk MK memberikan komentarnya, seperti: “Permintaan Pers bukan yang pertama dan terakhir, akan saya sampaikan ke ketua dan wakil. Saya yakin kami semua setuju, seperti yang disampaikan peserta sosialisasi, dunia ini mau dibawa ke mana ada di penanya Pers” (Anwar Usman, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi).
Juga pada pemberitaan berjudul “PMII Tolak UU MD3” (9/3/2018). Dimana dalam pemberitaan tersebut, Harian Umum Nasional Waspada memberikan ruang untuk Anggota DPRD, Elly Rosa Siregar dan Siti Rohaya untuk memberikan komentarnya, seperti: “Aspirasi ini akan disampaikan untuk dibahas di Komisi A”. Tentu kutipan-kutipan pemberitaan ini menunjukkan, posisi Harian Umum Nasional Waspada lebih melunak, karena respon Presiden yang telah menolak menandatangani UU MD3. Sekaligus menunjukkan, jika Pemerintah telah berpihak pada insan Pers untuk menolak penerapan UU MD3. Meskipun dalam hal ini, Pakar Hukum USU, Dr. Abdul Hakim Siagian menilai respon Presiden menolak UU MD3 sudah telat. Berikut beberapa kutipan terkait dari Dr. Abdul Hakim Siagian:
1.     Menolak tandatangan UU MD3 bentuk presiden cuci tangan dibalik semua ini.
2.   Sebab, jika presiden tidak sepakat dengan klausul di revisi UU MD3 tersebut, maka seharusnya bisa menyampaikannya ke DPR melalui salah satu menterinya pada saat pembahasan bersama.
3.     Harusnya sebelum disahkan pemerintah melakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada publik, apakah setuju atau tidak soal perubahan UU MD3 ini.
4.     ...., rasanya aneh dan lucu setelah publik pro kontra lalu Presiden menyatakan. “Ini apa namanya klu bukan cuci tangan? Jika bila benar bukan cuci tangan apalagi sekedar pencitraan maka, yang pas untuk menjawab itu adalah dengan menerbitkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) untuk mencabut dan atau membatalkannya.
5.     Jika hanya tidak sekedar meneken ini bermakna bias, disatu sisi seolah pro publik dan disisi lain mendukung DPR juga. Sebab kalau pun tidak diteken Presiden RUU itu otomatis akan jadi UU. Jadi menarik untuk kita tunggu apa tindakan Presiden untuk menjawab asumsi publik.   
Jadi, pengaruh kebijakan pemerintah terkait UU MD3 sangat mempengaruhi fakta apa yang harus diambil, dan bagaimana berita itu dibahasakan. Meskipun 3 dari 4 pemberitaan UU MD3 edisi maret ini kami nilai netral, namun tetap memuat nilai-nilai tertentu yang ingin disampaikan, yaitu penolakan terhadap UU MD3. Lewat pemberitaan yang bersifat prominence, secara tidak langsung Harian Umum Nasional Waspada menegaskan menolak  pemberlakuan UU MD3. Namun, berita berjenis prominence yang dihasilkan Harian Umum Nasional Waspada masih didominasi oleh pendapat Pakar Hukum USU, Dr. Abdul Hakim Siagian. Dalam pemberitaan berjudul “Jokowi ‘Cuci Tangan’ dalam Polemik UU MD3 (16/3/2018), Dr. Abdul Hakim Siagian menyatakan: 1) Presiden terkesan ‘cuci tangan’ dari polemik revisi UU MD3, kalau mendesak masyarakat mengajukan judicial review UU MD3 ke MK; 2) Respon Presiden menolak menandatangani UU MD3 sudah telat; 3) Tanpa ditandatangani Presiden pun, UU tetap bisa diundangkan dalam 30 hari; 4) Respon Presiden menolak UU MD3 diduga hanya pencitraan; 5) Kurang matangnya pengkajian UU MD3; 6) Presiden harus membuat langkah riil, agar tidak terkesan cuci tangan; dan 7) Masyarakat menunggu sikap Presiden, dan penerbitan Perpu sangat beralasan.
Shoemaker dan Reese (1996) menyebutkan, produksi berita setidaknya dipengaruhi oleh sejumlah faktor, diantaranya: faktor individual (pekerja media); rutinitas media; organisasi media; ekstra media dan ideologi media.
Pertama, faktor individual (individual level). Dalam melakukan konstruksi realitas, faktor individual wartawan sangat berpengaruh bagaimana dia akan mengkonstruksi sebuah realitas yang dilihatnya dalam kasus UU MD3. Jadi, peliputan hal-hal seperti “Mengekang Kebebasan Pers, Wartawan Indonesia Deklarasi Menolak UU MD3” (2/3/2018); “Jokowi Tidak Tandatangani UU MD3” (15/3/2018); “PMII Tolak UU MD3” (9/3/2018); dan “Jokowi ‘Cuci Tangan’ dalam Polemik UU MD3” (16/3/2018) mengandung nilai-nilai penting untuk diberitakan kepada publik, menyangkut perkembangan pemberitaan UU MD3.
Kedua, adalah faktor rutinitas media. Faktor ini berkaitan dengan keseharian dari mekanisme pembentukan berita. Pada setiap media massa memiliki kebijakan pemberitaan dan pengolahan berita tersendiri yang sudah menjadi ciri khas media tersebut. Kebijakan redaksional tersebut dioperasionalkan dalam mekanisme kerja redaksi yang dimulai dari proses perencanaan berita. Mekanisme kerja redaksional tersebut dipengaruhi dengan alur produksi berita, dimana sebuah berita yang terbentuk harus melalui suatu proses gate keeping, yaitu rangkaian penjaga gerbang yang muncul mulai dari jajaran reporter, redaktur hingga pemimpin redaksi. Namun, hal ini sangat sulit kami tentukan sebagai peneliti, karena analisis praktik sosiokultural berada pada level makro, sehingga teknik pengumpulan datanya juga membutuhkan wawancara mendalam dengan pembuat naskah untuk mendapatkan data primer, sementara hal itu tidak kami lakukan karena keterbatasan waktu pengerjaan tugas.
Ketiga, faktor organisasi media. Karakter organisasi terdiri dari komponen kelembagaan organisasi itu sendiri, struktur organisasi hingga sistem keorganisasian yang diterapkan.  Dari kelembagaan organisasi Waspada, aspek redaksional pemberitaan melewati serangkaian proses produksi yang kompleks. Dimana pemimpin redaksi, redaktur pelaksana berita, dan wartawan merupakan aspek yang berperan dalam proses pengambilan keputusan redaksional. Sedangkan faktor keempat ekstra media, yaitu faktor yang berasal dari luar lingkungan media. Seperti pemerintah yang turut mempengaruhi proses produksi berita, lewat rapat paripurna pengesahan Revisi UU MD3 di DPR pada 12 Februari 2018 silam. Dimana insan Pers menganggap produk hukum tersebut kontroversial, dan bakal membelenggu kemerdekaan Pers. Namun, pada perkembangannya Presiden menangkap sinyalemen penolakan UU MD3 dari masyarakat, sehingga tidak menandatangani UU tersebut. 
Kelima, faktor ideologi, yang seringkali diartikan dengan kerangka referensi yang ada di dalam masing-masing individu wartawan Waspada. Ideologi tersebut tertuang dalam motto Waspada yaitu “Demi Kebenaran dan Keadilan”. Motto tersebut menjadi kacamata bersama wartawan Waspada dalam meliput UU MD3. Sekaligus menyatakan sikap mereka untuk menolak pemberlakuan UU MD3, yang bakal mengurangi peran Pers dalam menjalankan tugas jurnalistiknya. Namun, dalam edisi Maret ini sifat pemberitaan Harian Umum Nasional Waspada lebih netral. Apalagi sejak pemerintah setempat menindaklanjuti tuntutan penolakan dari demonstrasi masyarakat, yang berujung pada keengganan Presiden untuk menandatangani UU itu. “Hari ini terakhir saya sampaikan tidak menandatangani UU itu karena saya sadar, mengerti, dan tahu UU itu akan berlaku meski tidak saya tandatangani” (15/3/2018). Namun pada edisi ini, Harian Umum Nasional Waspada tetap menyisakan satu pemberitaan bersifat kontra berjudul “Jokowi ‘Cuci Tangan’ dalam Polemik UU MD3” (16/3/2018). Dalam pemberitaan tersebut, Pakar Hukum USU Dr. Abdul Hakim Siagian menyesali keterlambatan respon Presiden terhadap UU MD3, dan menganggapnya hanya sebagai pencitraan saja. Selain itu, ia menganggap langkah yang diambil Presiden tidak menyelesaikan substansi permasalahan yang ada. “..., rasanya aneh dan lucu setelah publik pro kontra lalu Presiden menyatakan. “Ini apa namanya klu bukan cuci tangan? Jika bila benar bukan cuci tangan apalagi sekedar pencitraan maka, yang pas untuk menjawab itu adalah dengan menerbitkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) untuk mencabut dan atau membatalkannya”.
3.     Sosial
Faktor sosial sangat berpengaruh terhadap wacana yang muncul dalam pemberitaan. Bahkan, Fairclough menegaskan wacana yang muncul dalam media ditentukan oleh perubahan masyarakat. Dalam level sosial, budaya masyarakat misalnya, turut menentukan perkembangan dari wacana media. Salah satu budaya tersebut adalah menolak peraturan yang mereka anggap represif, dan dapat mengekang kebebasan insan Pers untuk melakukan fungsi pengawasannya. “Kami menolak pemberlakuan UU MD3, sebab dipahami berpotensi mengekang kemerdekaan Pers”. Walhasil, pemberitaan UU MD3 di Harian Umum Nasional Waspada telah menjadi alat perjuangan insan Pers untuk menolak pemberlakuan UU MD3.


[1] Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), yang telah disahkan DPR-RI dalam rapat paripurna tanggal 12 Februari 2018.

Komentar

Postingan Populer