APA ITU KOMODIFIKASI ISI MEDIA?
www.google.com |
Komodifikasi adalah salah satu dari tiga konsep
pendekatan Ekonomi Politik Media Vincent Mosco. Komodifikasi saling berkaitan
erat dengan konsep-konsep lainnya, seperti spasialisasi dan strukturasi.
Lantas, apa itu komodifikasi? Dan apa kaitannya dengan upaya pengembangan
literasi media, khususnya dalam menghadapi konten media penyiaran? Ya,
komodifikasi adalah upaya mengubah makna
dari sistem fakta atau data yang merupakan pemanfaatan isi media, dilihat dari
kegunaannya sebagai komoditi yang dapat dipasarkan. Sederhananya,
komodifikasi adalah mengubah nilai guna yang terdapat dalam media menjadi nilai
tukar, untuk menghasilkan keuntungan baik berupa materi maupun kekuasaan.
Merujuk pada buku Ekonomi Politik Media berjudul “The Political Economy of Communication”
tahun 1998 milik Vincent Mosco, maka komodifikasi dibagi kedalam empat jenis,
diantaranya Intrinsic Commodification (Komodifikasi
Isi); Extrinsic Commodification (Komodifikasi
Khalayak); dan Komodifikasi Pekerja Media. Berikut penjelasannya:
Pertama,
Komodifikasi Isi melihat
konten program acara televisi sebagai komoditi yang sangat berharga, karena
dapat mendatangkan keuntungan. Bayangkan saja, film-film Bioskop seperti Wreck-It-Ralph 2, Terlalu Tampan, Star is
Born yang menampilkan Lady Gaga pada
akhirnya tetap akan tayang di layar kaca, setelah sebuah stasiun televisi mampu
membayarnya, karena mampu menarik banyak pemirsa untuk menonton film tersebut.
Ataupun ketika tvOne menayangkan Film G30S/PKI, sejatinya ditayangkan
bukan hanya karena ingin memperingati Hari Kesaktian Pancasila yang jatuh pada
tanggal 1 Oktober setiap tahunnya, melainkan secara komodifikasi media untuk
mendapatkan banyak pemirsa.
Selain itu, komodifikasi media juga terlihat dari
berubah-ubahnya konten media penyiaran kita yang amat sangat ditentukan oleh
pasar. Contohnya seperti film Upin Ipin
yang tayang di MNC TV dan memperoleh rating tinggi, maka tv ini pun berusaha
tetap ‘menyihir’ mata anak-anak Indonesia melalui penyajian beragam tayangan
kartun asal negeri jiran lainnya, seperti Pada
Zaman Dahulu yang menyajikan kisah dongeng berbentuk fabel (pelakunya
diperankan oleh binatang). Walhasil, dalam komodifikasi isi, media penyiaran
akan terus memproduksi program-program acara yang sesuai dengan selera pasar,
sehingga dapat menaikkan rating. Seperti Indonesia Lawyer Club di tvOne, walaupun tayangan ini kerap
dikritik oleh KPI Pusat, karena dinilai belum mengarah pada kepentingan
masyarakat, melainkan cenderung untuk kepentingan kelompok politik tertentu.
Namun, secara rating tayangan ini
cukup mendapatkan perhatian bagi para pemirsa setianya. Terutama para pendukung
dan pemilih Prabowo Subianto – Sandiaga Uno dalam pemilihan presiden kali ini,
serta para fans Rocky Gerung dengan pandangan-pandangannya. Setidaknya, hal
itulah yang masih penulis lihat, bagaimana media penyiaran kita terpolarisasi
kedalam dua kubu, kubu Prabowo (merah/tvOne)
dan kubu Jokowi (biru/Metro TV)
seperti pemilihan presiden tahun 2014 silam. Ataupun tayangan Bollywood, horor/mistis, dan reality show yang masih tetap menjadi
pengisi konten setia di ANTV karena
memang ada segmentasi pasar khusus, yang memang dibidik oleh member VIVA group ini.
Komentar
Posting Komentar