Pengenalan Teori Marxis Klasik
www.google.com |
Karl Heinrich Marx (Trier, Prussian Rhineland, 5 Mei 1818 –
London, 14 Maret 1883) merupakan tokoh besar Jerman dalam hal filsafat, politik
ekonomi, dan revolusioner sosial. Marx meneliti berbagai macam isu, termasuk
pengeksploitasian pekerja, kapitalisme dalam produksi dan sejarah materialisme.
Pengaruh idenya mulai meluas saat kemenangan Russian Bolsheviks dalam October Revolution tahun 1917, namun ada beberapa bagian yang tidak
sepenuhnya dibahas dalam ide Marxian
pada abad ke-20. Pemikiran Marxis klasik didasarkan pada pemikiran Karl Marx
dan Engels, yang mengaitkan transisi masyarakat Eropa dari feodalisme -
kapitalisme – sosialisme (Gilpin, 1987: 272).
Marxisme Klasik merupakan teori-teori yang secara langsung dilahirkan
oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Istilah “Marxisme Klasik” digunakan untuk
membedakan antara “Marxisme” yang dipahami secara luas dengan apa yang diyakini
oleh Marx, sedangkan Marxisme adalah teori yang didasarkan pada interpretasi (penafsiran) atas karya-karya Marx dan Engels. Marxis mempercayai, bahwa kaum kapitalis
perekonomian internasional akan beroperasi secara sistemik, dan mengubah
perekonomian LDC (negara yang belum
maju: Less Developed Countries). Negara yang kaya akan memiliki
kontrol atas negara-negara dunia ketiga dan kemiskinannya. Marxis menganggap
interaksi yang dihasilkan bersifat konfliktual dan penuh eksploitasi (Gilpin,
1987: 265).
Gilpin, Robert (1987), Marxist melihat masyarakat
kapitalis sebagai salah satu kelas dominasi. Media dijadikan arena pertandingan
ideologi agar dapat dilihat semua kelas yang sedang berjuang, yang akhirnya
mengarah pada monopoli modal dan internalisasi budaya yang dominan. Kapitalisme
telah melanggengkan kelompok elite berkuasa melakukan eksploitasi
terhadap kelompok yang tidak berkuasa alias lemah. Pesan yang disampaikan
melalui media sejak awal dibuat dan disampaikan kepada khalayak dengan satu
tujuan, yaitu membela kepentingan kapitalisme. Walaupun media seringkali
mengklaim bahwa diri mereka menyampaikan informasi untuk kepentingan publik dan
kebaikan bersama (common good), namun “ujung-ujungnya duit” (Morissan, 2013: 536). Teori Marxist ini
cenderung menekankan kepada peran media massa dalam mempertahankan dan
mengembangkan status quo, seolah-olah berbeda dengan paham
liberal dan menekankan peran media dalam mengembangkan kebebasan berbicara.
Indonesia sebagai negara yang berada pada era reformasi ditegakkan
sejak tahun 1998 hingga kini abad 21, telah memberi ruang yang sangat terbuka
terhadap kebebasan penyaluran informasi, berekspresi dan berpendapat. Ini dapat
dilihat dengan munculnya perusahaan media massa, khususnya yang semakin tumbuh
dan berkembang bak cendawan di musim hujan. Distribusi informasi tidak terbatas
hanya melalui lembaran kertas, siaran lokal, dan berita luar negeri yang
disadur, namun sudah menjelajah sampai ke berbagai media berteknologi tinggi.
Televisi pemerintah semakin tenggelam dengan banyaknya bermunculan televisi
swasta, yang menyajikan beragam informasi baik lokal maupun interlokal,
Indonesia bahkan dunia secara lebih mendetail. Mulai dari program-program
hiburan, seperti film, musik, sinetron, kuis atau berbagai macam reality
show sampai pada program non-hiburan.
Berita yang awalnya dengan tampilan sederhana bertransformasi dengan
kemasan yang sangat menarik. Kemunculan televisi swasta seperti Metro TV mulai
mengambil alih posisi khalayak, sebagai stasiun berita laiknya saluran televisi
luar negeri CNN. Hal ini dibebeki oleh media televisi swasta
lainnya seperti tvOne, dengan tag linenya sebagai stasiun
berita dan olahraga hingga terjadi persaingan diantara keduanya, yang kemudian
pula diikuti oleh stasiun televisi lain, seperti Trans TV, Trans7, RCTI, SCTV,
ANTV, Kompas TV, Net. TV dan stasiun lainnya yang seolah ‘tak mau kalah’
dalam merebut pundi-pundi keuntungan. Hingga kini, perkembangan media massa,
media cetak bahkan media online sudah tidak terbendung lagi
keberadaannya, namun, selanjutnya muncul pemikiran sampai kapan
idealisme pemberitaan pro rakyat ini bertahan? Tidak berubah menjadi
kepentingan segelintir pemilik perusahaan pemberitaan, yang memiliki afiliasi
terhadap kepentingan politik tertentu. Walhasil, frekuensi udara sebagai milik
negara yang digunakan untuk kemaslahatan rakyat pun dipertaruhkan; antara
edukasi atau mengejar profit semata?
Komentar
Posting Komentar