PENGGUNAAN FREKUENSI YANG MENYALAH

Sumber: www.google.co.id

Donal Shaw dan Maxwell McComb (dalam Morissan 2013: 496) menyatakan, para editor media cetak dan para pengelola media penyiaran memainkan peran penting dalam membentuk realitas sosial kita, ketika mereka melakukan pekerjaan untuk membuat berita. Bahkan menurut Hall, media adalah instrumen kekuasaan kelompok elite, dan media berfungsi menyampaikan pemikiran kelompok yang mendominasi masyarakat, terlepas apakah pemikiran itu efektif atau tidak. Studi kultural menekankan pada gagasan, bahwa media menjaga kelompok berkuasa untuk tetap memegang kendali atas masyarakat. sementara mereka yang kurang berkuasa menerima apa saja, yang disisakan kepada mereka oleh kelompok berkuasa (Morissan, 2013: 535).
Setidaknya terdapat 7 kata ‘frekuensi’ dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran, diantaranya:
  1. Bahwa spektrum frekuensi radio merupakan sumber daya alam terbatas dan merupakan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesuai dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 (Menimbang butir b).
  2. Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran (Pasal 1 butir 2).
  3. Spektrum frekuensi radio adalah gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ranah publik dan sumber daya alam terbatas (Pasal 1 butir 8).
  4. Dalam sistem penyiaran nasional, Negara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 6 ayat 2).
  5. Izin dan Perpanjangan Izin Penyelenggaraan Penyiaran diberikan oleh Negara setelah memperoleh: d. izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah atas usul KPI (Pasal 33 ayat 4).
  6. Izin Penyelenggaraan Penyiaran dicabut karena: b. melanggar penggunaan spektrum frekuensi radio dan/atau wilayah jangkauan siaran yang ditetapkan (Pasal 34 ayat 5).
  7. Penyiaran mempunyai kaitan erat dengan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit geostasioner yang merupakan sumber daya alam terbatas, sehingga pemanfaatannya perlu diatur secara efektif dan efisien (Penjelasan Umum butir 6).

Artinya frekuensi dipinjam sementara oleh lembaga penyiaran, dan harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dengan kata lain, pengaturan tersebut ditujukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran publik yang luas, bukan perorangan atau kelompok, namun realitasnya menunjukkan, data dari Adstensity terhitung dari November 2015 hingga Januari 2016, iklan partai Perindo di MNC Group mencapai 1918 kali. Rincian iklan tersebut yakni RCTI (648 kali), MNC TV (630 kali) dan Global TV (640 kali). Berdasarkan perhitungan Adstensity tersebut, uang yang harus dikeluarkan untuk mempromosikan partainya itu berkisar Rp. 132 miliar. Nilai tersebut tentu saja tergolong mahal untuk sebuah promosi di televisi dalam waktu relatif hanya untuk tiga bulan, namun berhubung Hary Tanoe adalah bos MNC Group, maka ceritanya akan lain. 
Begitupula data dari Adstensity selanjutnya, terhitung dari 13 April hingga 12 Mei 2017, jumlah slot iklan Partai Perindo mencapai 653 kali. Jika dirinci lebih detail, 213 muncul di RCTI, 220 di MNC TV dan 220 di Global TV. Iklan Mars Perindo masih kerap disisipkan pada acara-acara yang strategis dan be-rating tinggi, seperti: Gosip Go-Spot, Dahsyat (kini tidak tayang lagi/diberhentikan sementara penayangannya oleh KPI Pusat sumber: www.kpi.go.id), FTV Pagi, FTV Siang, Preman Pensiun, Sinetron Anak Jalanan (kini Anak Langit), Tukang Bubur Naik Haji (kini sudah tamat), Tukang Ojek Pengkolan, Roman Picisan/RCTI, Kaulah Takdirku/MNC TV, Layar Spesial (Big Movies), Liga Inggris, Upin dan Ipin serta Naruto Shippuden/Global TV. Jika dikalkulasikan kedalam rupiah, maka HT harus merogoh kocek hingga Rp. 61 Milyar (tirto.id).
Komisioner KPI Pusat Bidang Pengawasan Isi Siaran Dewi Setyarini menjelaskan, berdasarkan pantauan KPI dalam kurun waktu tahun 2016 hingga tahun 2017 terdapat beberapa Lembaga Penyiaran yang sangat gencar menayangkan iklan terkait politik, maupun mars/himne politik. Dari sampel tayangan yang diolah KPI pada tahun 2016, mars atau himne politik tersebut tayang rata-rata 6 sampai 9 kali dalam sehari dengan durasi sekitar 60 detik. “Seringnya iklan terkait partai politik tersebut tayang di media penyiaran yang pemiliknya berafiliasi langsung dengan pimpinan partai politik yang beriklan, telah menimbulkan keresahan masyarakat. Hal tersebut disampaikan melalui berbagai jalur pengaduan ke KPI dengan meminta agar tayangan iklan partai politik dihentikan. Data di KPI menunjukkan antara Juli hingga November 2016 saja terdapat sekitar 108 pengaduan yang disampaikan baik melalui twitter, facebook, email, maupun SMS,” ujar Dewi sebagaimana dikutip dari www.kpi.go.id.
Salah satu bentuk aduan tersebut adalah keluhan dari banyak orangtua yang gelisah melihat anak-anaknya hafal diluar kepala lirik Mars Perindo. Menurut Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Samsul Ridwan (sebagaimana dikutip dari tirto.id), apa yang dilakukan Perindo cenderung mendorong dan melibatkan anak-anak telibat dalam kegiatan politik. Jika terbukti melakukan penggiringan, maka hal ini sudah bertentangan dengan UU Perlindungan Anak.
 “Anak ane umur 4 tahun kalau ada lagu ini di tv langsung ikut nyanyi biarpun cuma reff-nya doang sambil tangannya diangkat kayak konduktor lagi pimpin nyanyi,” keluh akun Londogtewur. 
Akun bangfreeman pun ikut menimpali. “Kirain anak ane doang yang denger lagu ini gak mau ganti channel, ternyata yang lain juga sama. Anak ane umur tiga tahun. Ikut nyanyi walau cuma kata-kata di belakangnya aja. Kayaknya untuk 10 tahun yang akan datang atau kalau anak-anak kita sudah gede mereka pasti terhipnotis sama partai ini.”
“Tunggu aja 20 tahun lagi, kalo ada thread nostalgia anak-anak 2010-an barangkali ada yang menganggap lagu Perindo sebagai lagu masa kecil,” sindir akun Maryani secara jenaka.
Dari komentar netizen dalam artikel tirto.id dan komentar netizen di Youtube, Mars Perindo terbukti mampu menghipnotis anak-anak Indonesia. Mungkin HT tidak akan memetik hasilnya di 2019, tetapi di 2029 yakni ketika anak-anak batita-balita sekarang ini sudah memiliki hak pilih.
Pada 10 Mei 2017, KPI pun menjatuhkan sanksi teguran tertulis pada 4 TV HT (RCTI, GTV, MNC TV, iNews TV), karena dinilai melanggar Pasal 11 ayat (2) Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Pasal 11 ayat (1) Standar Program Siaran (SPS); serta Pasal 36 ayat (4) UU 32/2002 terkait independensi dan netralitas isi siaran. Bahkan, Hardly Stefano Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI mengancam akan merekomendasikan pencabutan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), jika MNC Group kembali berulah. Begitupula halnya dengan Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Meutya Hafid, yang meminta Kemkominfo serta KPI untuk mengevaluasi ulang izin televisi yang menayangkan iklan Partai Perindo secara berlebihan, dan tidak mengindahkan surat teguran tertulis KPI.
Tentu pula kita masih ingat dengan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Utara Nomor: 109/G/2017/PTUN-JKT terkait pembatalan larangan iklan politik diluar masa kampanye disesalkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), karena putusan itu dianggap menghambat sikap dan perjuangan mereka dalam meminimalisir kekeruhan layar kaca dari kepentingan politik. Apalagi, pengawasan isi siaran merupakan tugas dan ranah mereka. Pasal 8 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran menyebutkan, “Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), KPI mempunyai wewenang: c. mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran.”; dan Pasal 50 ayat (1) yang menyebutkan, “KPI wajib mengawasi pelaksanaan pedoman perilaku penyiaran”.
Menurut KPI, sebelum dikeluarkannya Surat Edaran yang dimaksud, KPI telah lebih dulu melakukan berbagai upaya, seperti: klarifikasi terhadap Lembaga Penyiaran (LP) yang menayangkan iklan dan atau mars/himne partai politik; hingga menerbitkan surat teguran tertulis pertama kepada LP tersebut untuk menghentikan penayangan iklan atau mars/himne terkait partai politik, namun demikian, beberapa LP ‘mbandel’ dengan tetap menayangkan iklan dan atau mars/himne tersebut. Pun menurut KPI, Surat Edaran itu hanya ditujukan kepada LP yang menjadi locus pengawasannya dan bukan ditujukan kepada partai politik, sehingga KPI beranggapan gugatan yang dilayangkan Partai Berkarya serta Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (P3I) kala itu salah alamat.
Walhasil, kebebasan dalam media kemudian tidak otomatis melahirkan kebebasan yang bertanggung jawab. Pada beberapa kasus ditemukan penyalahgunaan media untuk kepentingan tertentu. Publik pasti juga belum lupa dengan langkah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mengawasi konten siaran Media Nusantara Citra (MNC) Grup, menyusul beredarnya video berisi percakapan rencana penggunaan frekuensi publik untuk kepentingan politik praktis oleh sebuah partai politik di media sosial (Karta, 2013). Pada kasus tersebut, menunjukkan bahwa pengaruh media yang begitu masif harus diseimbangkan dengan peran pihak lain diluar media termasuk masyarakat, agar media tidak melanggar fungsi yang seharusnya.
Dus, tampaknya media massa kita, khususnya penyiaran harus kembali kepada hakikatnya yaitu memenuhi Diversity of Content (prinsip keberagaman isi). Yaitu tersedianya informasi yang beragam bagi publik. Tidak melulu mars iklan kampanye partai politik tertentu saja, hingga anak-anak hafal diluar kepala. Apalagi anak-anak masih memiliki tingkat imitasi (peniruan) yang cukup tinggi baik secara pola pikir (level kognitif), perasaan (afektif), dan/atau perilaku (behavioral)-nya; dan memenuhi Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan). Yaitu jaminan bahwa kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang/lembaga saja, apalagi cenderung memanfaatkannya untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu. Tentu hal ini sangat berbahaya bagi independensi media. Terutama bila itu menyangkut iklan kampanye penguasa ataupun pemilik media-nya sendiri. Antitesa kami adalah media yang terlalu ‘membebek’ terhadap penguasa dan kepentingan para pemilik modalnya, hanya akan menyisakan antipati khalayak terhadap media tersebut.
Kedua prinsip di atas menjadi landasan bagi setiap kebijakan yang dirumuskan dan dikeluarkan oleh KPI. Lagipun, Lembaga Penyiaran menggunakan frekuensi untuk bersiaran, dan frekuensi adalah sumber daya alam terbatas yang dimiliki negara, dan dipinjamkan kepada Lembaga Penyiaran untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat (tanpa melupakan fungsi ekonominya –red). Tentu, hal ini dimaksudkan untuk menjamin tidak terjadinya sentralisasi iklan kampanye politik dan lebih fairplay terhadap partai politik lainnya, karena itu, dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 23 Tahun 2018, Pasal 38 ayat 1, 2 dan 3 (sekarang telah diperbaharui dengan PKPU No. 28 Tahun 2018) menyebutkan bahwa fasilitasi iklan kampanye oleh KPU dengan materi iklan kampanye dari peserta pemilu. Begitupula peraturan-peraturan KPI lainnya, yang pada intinya menurut kami tidak pernah melarang iklan kampanye partai politik, sepanjang hal itu dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan masih didalam masa kampanye.

Komentar

Postingan Populer