Terjadinya Praktik Eksploitasi Pekerja Media
www.google.com |
Marxisme merupakan dasar
teori komunisme modern (Audi, 1995: 465-467). Teori ini tertuang dalam buku “Manisfesto Komunis”, yang dibuat
oleh Marx dan Friedrich Engels.
Marxisme merupakan bentuk protes Marx terhadap paham kapitalisme. Ia
menganggap bahwa kaum kapital mengumpulkan uang dengan mengorbankan kaum
proletar. Kondisi kaum proletar sangat menyedihkan, karena dipaksa bekerja
berjam-jam dengan upah minim. Sementara hasil pekerjaan mereka hanya dinikmati
oleh kaum kapitalis. Banyak kaum proletar yang harus hidup di daerah pinggiran
dan kumuh. Marx berpendapat bahwa masalah ini timbul, karena adanya
‘kepemilikan pribadi’ dan penguasaan kekayaan yang didominasi orang-orang kaya.
Sebagaimana kita ketahui,
industri media menuntut para pekerjanya untuk terus memberikan sesuatu yang
dapat memberikan pemiliknya keuntungan. Eriyanto (2001: 41-42) merinci
kelemahan wartawan sebagai kelas tersendiri, dan hubungannya dengan pemilik
modal adalah relasi kelas yang berbeda, bukan hubungan profesional. Oleh karena
itu, kerja reporter dan kameramen di media penyiaran bukanlah diatur dalam proses
dan pembagian kerja, tetapi dari kontrol kesadaran kelas mereka dengan kelompok
elit. Hamid dan Budianto (2011: 58) menambahkan, kelemahan insan jurnalistik
elektronik itu adalah mereka dalam struktur perusahaan hanyalah seorang pegawai
biasa. Wartawan hanyalah “orang gajian” yang secara psikologis tidak akan
menang berdebat dengan orang yang menggajinya. Take it or leave it! Oleh karena itu, KPI punya
peran sentral untuk mencegah monopoli kepemilikan media, yang banyak ‘mudharat-nya’
bagi masyarakat. Sebab, pemberitaan bisa jadi tidak bebas lagi, muatannya pun kerap
memperhitungkan aspek pasar dan segi politis, yang kerap mempertaruhkan mutu
isi siaran di ranah public sphere.
Ya, mungkin kita masih ingat
dengan Film Dokumenter “Dibalik Frekuensi”
yang mengisahkan Luviana, wartawan Metro
TV yang telah bekerja di media milik Surya Paloh tersebut selama 10 tahun.
Namun, akibat keinginannya membentuk serikat pekerja dan mewujudkan upah layak,
secara sepihak perusahaan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Selain itu,
ia juga menilai sistem kerja di sana yang tidak objektif, manajemen redaksi
yang berantakan, tidak membudayanya sistem evaluasi yang baik, pertimbangan
pemberian gaji yang tidak adil, hingga rendahnya kesejahteraan karyawan dan
pemberitaan yang bias gender (www.remotivi.or.id).
Sebagaimana dikutip dari www.umn.ac.id, dokumenter yang diproduseri Ursula Tumiwa
ini menekankan, “Tanah, air dan udara,
-merupakan sumber daya yang terbatas dan memiliki nilai yang sangat berharga –
harus dikuasai negara dan sebesar-besarnya digunakan untuk kepentingan rakyat.”
Namun, frekuensi sebagai bagian dari ‘udara’ dan milik publik dieksploitasi
oleh pemilik media dan digunakan demi kepentingan ekonomi serta politik mereka.
Lewat “Dibalik Frekuensi”, para pejuang hak publik atas frekuensi pun
menyerukan, “Hentikan Monopoli, Kembalikan Frekuensi!” dan “Media Mengabdi
Publik, Tidak Menghamba Pada Pemilik”.
Lantas, untuk mensejahterakan kaum proletar, Marx berpendapat bahwa
kaum proletar untuk memberontak dan menuntut keadilan. Inilah dasar dari
marxisme (Weij, 1991: 111-117). Namun,
sayangnya, masih banyak para pekerja media yang tidak menyadari, bahwa mereka
merupakan kelas buruh dalam suatu perusahaan media. Alasannya, karena pekerjaan
mereka tidak dapat digolongkan kedalam pekerjaan buruh kasar (blue collar). Melainkan pekerjaan mereka
menuntut adanya keahlian jurnalistik (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah dan menyampaikan informasi; Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers).
Penelitian Aliansi Jurnalis
Independen menyebutkan, “Ada problem
kelas yang belum tuntas. Selama ini mayoritas jurnalis masih
mengidentifikasikan dirinya sebagai kelompok profesional. Mereka merasa enggan
untuk dikelompokkan sebagai bagian (dari) kelas buruh. Latar belakang pendidikan
yang tinggi, kemudian akses dalam kerja-kerja jurnalistik, penampilan yang
keren dan mentereng, adalah beberapa faktor yang membuat jurnalis makin
membenamkan diri sebagai kelas white collar” (www.remotivi.or.id).
Maka, dalam Marxis Klasik, eksploitasi
ini erat kaitannya dengan fungsi atau guna pekerjanya dalam mendapatkan berita.
Untuk itu, pekerja media juga ikut dikomoditaskan oleh pemilik modal, yaitu
dengan mengeksploitasinya dalam melakukan pekerjaan kewartawanan. Sayang, masih
banyak sekali wartawan yang tidak sadar atas pengeksploitasian diri mereka
sendiri yang menghegemoni ini. Andaipun ada dari mereka yang sadar, maka mereka
memilih bungkam ketimbang tidak terjamin hidupnya dalam sistem kapitalisme
seperti sekarang ini.
Komentar
Posting Komentar