ASA MEWUJUDKAN KONTEN LOKAL 10%

Sumber: NET. TV Medan

Sebagai salah satu media yang cukup akrab dengan kita, televisi harusnya bersifat independen (dalam artian berpihak pada masyarakat). Namun, karena ia dikelola dan digerakkan oleh subjek‐subjek, subjektifikasi para pengelola televisi akan menjadi warna yang dominan, yang menentukan kemana arah dan peran televisi. Besarnya investasi untuk sebuah stasiun televisi akan membuat pengelola televisi melakukan perhitungan‐perhitungan, untuk mengembalikan modal (mendapatkan laba/keuntungan finansial). Selain itu, distribusi atau sirklulasi pemerintahan yang berpusat di ibukota Jakarta, secara tidak langsung juga memberikan berbagai akibat. Yakni memposisikan stasiun‐stasiun televisi yang ada di Jakarta sebagai televisi nasional, yang dikonsumsi oleh masyarakat di seluruh pelosok tanah air.
Sementara watak dan perilaku televisi‐televisi itu, dengan berbagai keterbatasannya melakukan penyempitan Indonesia menjadi semata Jakarta saja. Berdasarkan kacamata Jakarta inilah, yang membuat media televisi tidak mampu memotret fenomena ketimpangan sosial di Indonesia secara maksimal. Pada posisi inilah stasiun televisi dikhawatirkan menjadi penyebab munculnya keseragaman (homogenisasi) nilai sosial-kebudayaan di Indonesia. Pluralitas dan heterogenitas budaya bangsa diabaikan. Indonesia yang heterogen dengan ribuan suku, bahasa, adat dan kebudayaan tergerus oleh keterbatasan modal dan keterbatasan wilayah.
Seperti baru-baru ini, KPI Pusat melaksanakan indeks rating di beberapa kota bekerjasama dengan perguruan tinggi ternama di Indonesia, salah satunya ialah Universitas Sumatera Utara. Dari hasil survei tersebut menunjukkan, muatan lokal di Sumatera Utara terendah dari yang ditonton pemirsa pada semester pertama itu.
Adapun masalah konten lokal pada media penyiaran di daerah, diantaranya:
Pertama, siaran re-run (tayangan ulangan). Tentunya tayangan semacam ini berpotensi membohongi/menyesatkan khalayak ramai karena informasi yang disajikan tidak mengikuti perkembangan di masanya (tidak update) dan tidak lagi akurat. Hampir seluruh lembaga penyiaran berjaringan melakukan hal yang sama. Contoh; program lokal “Expedition - Gliding Above Samosir” dari lembaga penyiaran Metro TV. Konten lokal ini menampilkan wawancara dengan Bupati Samosir Mangindar Simbolon, tanpa mencantumkan  periode  kepemimpinan sang Bupati (2005 – 2015). Siaran berformat dialog yang tayang berulang-ulang (terekam pada tanggal 26 Mei 2017 pukul 13:35 wib).
Begitupula dengan sejumlah program lokal ditengah malam yang menggambarkan tentang acara pertanian dengan sejumlah gambar dan tokoh kepala daerah di Karo yang sudah tidak menjabat lagi. Tayangan ini dianggap melanggar SPS Bab XVIII Pasal 40 huruf (a) dan (b), yakni upaya membohongi/menyesatkan khalayak ramai dengan informasi yang tidak lagi akurat (rekapitulasi pelanggaran isi siaran milik KPID-SU Bidang Pengawasan Isi Siaran). Ataupun tayangan ‘Indonesia Bagus’ Net. TV Medan edisi Nias, Sumut yang sejatinya mendapatkan nilai cukup tinggi pada rekapitulasi penilaian kategori pariwisata (televisi) dalam ajang KPID-SU Award 2018. Namun nilai tersebut harus terganjal, karena tayangan ini sudah berkali-kali tayang di televisi. Memenangkan ini sama dengan menjustifikasi bahwa judul bagus bisa re-run. Padahal, undang-undang mengamanatkan, agar konten lokal terus diproduksi secara masif 50% (SPS Pasal 68 ayat 3). Selain itu, program ini tidak tayang pada waktu primetime (SPS Pasal 68 ayat 2). Tercatat bahwa tayangan tersebut tayang pada pukul 05.30 wib.
Kedua, ditayangkan pada jam ‘hantu’, yakni ditayangkan disaat pemirsa televisi sedang istirahat/tidur (tayang diatas pukul 23.00 – 05.00 waktu setempat), sehingga alokasi waktu untuk konten lokal menjadi tidak produktif atau hanya sekedar memenuhi aturan yang ada.
Ketiga, masih belum terpenuhinya pemanfaatan SDM lokal, terutama dalam membawa acara, sehingga, the truly local (subcultural, grassroots, etc…) menjadi terabaikan (Mohammady, 1996: 189). Selain itu, presenter/newsanchor/figur lokal lainnya harus diakui masih belum mampu menarik perhatian pemirsa untuk menonton acara yang mereka bawakan.
Keempat, kualitas siaran lokal secara audiovisual masih buruk, dan secara kemasan masih kurang menarik untuk ditonton. Terlalu monoton dan kurang kreatifitas maupun improvisasi dalam penyajian program yang ditayangkan. Padahal potensi dari sisi budaya, kearifan lokal, keberagaman maupun spesifikasi tiap-tiap daerah merupakan kekayaan tersendiri yang dimiliki tiap-tiap daerah. Isu-isu ini kesannya yang belum tergali dan dikemas secara profesional serta proporsional.
Kelima, penyajian konten lokal masih didominasi oleh tayangan-tayangan pemberitaan kriminalitas, kekerasan dan kasus korupsi, sehingga implikasinya secara tidak langsung menunjukkan citra yang buruk bagi daerah Provinsi Sumatera Utara.
Keenam, siaran lokal masih jarang ditempatkan pada waktu primetime (pukul 18.00 – 22.00). Kenyataannya, televisi berjaringan pada saat prime time lebih banyak diisi dengan program nasional bernuansa hiburan, yang memiliki nilai rating penonton lebih tinggi seperti film-film asing. Apalagi, merujuk pada pendapat Hamid dan Budianto (2011: 60) yang menyatakan, “Daily or weekly report on rating and share is the main consideration when the management decided which programme can survive for another night or dropped from the audience screen. (Bertahannya laporan harian ataupun mingguan seorang reporter juga suatu program, sangat bergantung kepada pertimbangan rating ataupun share, atau mesti hengkang dari layar penonton). Hal ini jelas mengindikasikan lembaga penyiaran berjaringan lebih mengedepankan komersialisasi ketimbang mematuhi aturan yang sudah disepakati.
Padahal, sejumlah peraturan seperti P3 (Pedoman Perilaku Penyiaran) Pasal 46 yang berbunyi: “Lembaga Penyiaran dalam Sistem Siaran Berjaringan wajib menyiarkan Program Lokal”; SPS Pasal 68 ayat (1), yang berbunyi: “Program siaran lokal wajib diproduksi dan ditayangkan dengan durasi paling sedikit 10% untuk tv dan 60% untuk radio dari seluruh waktu siaran berjaringan perhari”; Ayat (2) yang berbunyi: “Program siaran lokal sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diatas paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) diantaranya wajib ditayangkan pada waktu primetime waktu setempat”, dan ayat (3) yang berbunyi: “Program siaran lokal sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) secara bertahap wajib ditingkatkan hingga paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) untuk televisi dari seluruh waktu siaran berjaringan per hari” telah membuka ruang bagi terciptanya keberagaman isi (diversity of content) penyiaran di Indonesia, terutama menyangkut konten lokal.
Hal ini jelas kita rasa penting, karena industri penyiaran selama ini kerap mengabaikan konten lokal dan menggantinya dengan isu-isu ‘Jakarta Sentris’ seperti kemacetan, yang kita rasa sangat tidak diperlukan. Selain itu, isu-isu seperti ini pun kerap meredam potensi-potensi daerah kita, yang seharusnya bisa disebarluaskan melalui keberadaan konten lokal. Seperti kebudayaan di daerah Sumatera Utara, keberagaman, pariwisata, kuliner, adat-istiadat dan sebagainya. Sehingga, lebih mendapatkan tempat di hati masyarakat.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Sumatera Utara H. MHD Fitriyus saat membuka acara Sosialisasi KPID-SU Award tanggal 16 Agustus 2018 di Aula Transparansi mengatakan, keberadaan lembaga penyiaran yang menyiarkan konten lokal, sesungguhnya menyimpan potensi sebagai media dokumentasi budaya atau videografi budaya (cultural videography). Informasi berita bermuatan lokal dikemas dalam bahasa yang khas, karena selain akan bisa memberi informasi kejadian lokal dengan tegas dan lepas, serta demokratis, sajian seperti ini juga akan mudah menyapa publik sendiri, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom). 
Adapun menurut P3 Pasal 1 butir 15 dan SPS Pasal 1 butir 17 menyebutkan, program lokal merupakan program siaran dengan muatan lokal yang mencakup program siaran jurnalistik, program siaran faktual, dan program siaran non-faktual dalam rangka pengembangan potensi daerah setempat, serta dikerjakan dan diproduksi oleh sumber daya dan lembaga penyiaran daerah setempat. Napoli (2001: 373) menjelaskan, bahwa konten lokal dalam kebijakan media didasarkan pada asumsi normatif, bahwa setiap stasiun tv wajib dan harus meliput isu-isu lokal, melaporkan berita-berita lokal, memproduksi program lokal dan menyediakan saluran bagi aspirasi lokal. Selain itu, keberadaan peraturan ini juga menyiratkan satu pesan, bahwa konten lokal tidak boleh ‘dibunuh’ dengan alasan apapun. Termasuk dengan alasan mengejar profit yang sebesar-besarnya.
Pun, jika dilihat dari sudut pandang sosiologis dan kultural masyarakat Indonesia yang sangat majemuk, dengan kebudayaannya yang sangat beragam. Baik dari sisi adat-istiadat, tradisi, maupun bahasa. Masyarakat yang plural tersebut mempunyai realitas sosiologis dan kulturalnya masing-masing, sehingga tidak mungkin dapat direpresentasikan dalam media yang sentralistik dan terkomersialisasi seperti sekarang ini.
Disisi lain, secara geografis, wilayah Indonesia sangat luas dan terbagi kedalam tiga zona waktu (WIB, WITA dan WIT). Oleh karena itu, persoalan akan muncul ketika suatu program siaran disaksikan oleh masyarakat dari zona waktu yang berbeda. “Apa signifikansinya kita yang berada di Bontang, harus mendengarkan atau melihat berita tentang macetnya beberapa ruas jalan di Jakarta atau kota-kota besar di Jawa sana. Sementara isu-isu lokal, baik berita maupun hiburan, yang justru kita butuhkan dan diminati masyarakat sini sulit atau bahkan tak mungkin ditayangkan oleh media umum tersebut. Tentu saja, mereka (media mainstream -red) yang mementingkan pasar potensial, atau bahkan tidak punya nilai jual yang dapat ditawarkan kepada para pengiklannya (dikutip dari Maryani, 2010: 6).
Salah satu faktor belum terpenuhinya siaran konten lokal pada Stasiun Siaran Berjaringan, karena mahalnya biaya produksi dan tak sebanding dengan pendapatan iklan lokal, dimana minat masyarakat lokal untuk beriklan masih cukup rendah, masih terseok-seok dalam hal mencari iklan. Oleh karena itu, SDM yang ada di lembaga penyiaran tersebut harus lebih kreatif, terutama lembaga penyiaran di daerah untuk memanfaatkan sumber daya alam lokal, jasa lokal, kuliner lokal dan sebagainya yang bisa untuk diiklankan. Sebagaimana Drs. Muhammad Safrin., M.Si, pakar iklan USU dalam slide-nya pada acara Sosialisasi Pengawasan Iklan Obat dan Makanan di Aula KPID-SU mengatakan, “Mungkin iklan-iklan yang berskala nasional membutuhkan pertarungan untuk mendapatkannya, namun kenapa tidak melirik produk-produk lokal? Banyak produk kesehatan, obat dan makanan lokal yang perlu beriklan. Ini jelas potensi pasar yang gemerlap kalau benar-benar digarap serius. Kita pasti bisa!”.
Harus kita akui upaya pencapaian tayangan konten lokal memang terus dilakukan lembaga penyiaran, hanya saja waktunya yang masih sering tayang di ‘jam-jam hantu’. Padahal, dalam P3SPS disebutkan, bahwa konten lokal seharusnya ditayangkan pada waktu-waktu utama (primetime), seperti yang dilakukan Metro TV yang telah memenuhi alokasi konten lokal 10 persen dari total waktu siaran setiap hari, dan tayang pada waktu yang produktif (Wajah Smut/Dialog Sumut pukul 13.00 wib/m.kumparan.com), walaupun pada beberapa tayangannya masih terdapat re-run. Beberapa lembaga penyiaran lain juga telah melakukan strategi pemenuhan konten lokal, yang sejatinya diproduksi secara nasional dan belum mengandung unsur-unsur kearifan lokal. Padahal, dalam buku P3SPS disebutkan pula, bahwa konten lokal yang dimaksud haruslah diproduksi oleh lembaga penyiaran dan SDM lokal yang bersangkutan.
Baru-baru ini KPID-SU bekerjasama dengan USU juga telah melakukan riset terhadap 15 Stasiun Siaran Televisi Berjaringan yaitu MNC TV, Indosiar, ANTV, GTV, RCTI, SCTV, tvOne, Metro TV, TRANS TV, TRANS7, RTV, TVRI, Kompas TV, Net. TV, dan 1 Stasiun Televisi Lokal DAAI TV. Data tayangan konten lokal yang diriset mulai dari Januari – Maret berasal dari hasil rekaman KPID-SU, beserta copy siaran Lembaga Penyiaran untuk mengikuti ajang KPID-SU Award 2018 sebagai tambahan data penelitian. Untuk memetakan masalah, hambatan dalam pengelolaan konten lokal Sumatera Utara.
Adapun hasil yang didapatkan ialah sebagai berikut:
  • Tayangan konten lokal yang paling disukai oleh masyarakat adalah tayangan dengan tema program berita.
  • Khalayak menilai bahwa stasiun TV Nasional Berjaringan masih perlu melakukan evaluasi terhadap tayangan konten lokal Sumatera Utara, meliputi jam tayang, jumlah program, intensitas penayangan, dan konsistensi stasiun TV dalam menayangkan program konten lokal.
  • Intensitas menonton tayangan konten lokal masyarakat di Provinsi Sumatera Utara masih masuk dalam kategori menonton yang rendah (light viewer) yang terdapat dalam teori kultivasi (penanaman) milik George Gerbner. Masyarakat umumnya menonton hanya di akhir pekan saja (hari Sabtu dan hari Minggu).
  • Khalayak menginginkan lebih banyak produksi tayangan konten lokal Sumatera Utara yang mengangkat tema-tema seperti budaya, kuliner dan musik. Selain itu, khalayak menilai bahwa program musik, komedi dan berita adalah program yang penting untuk mengangkat konten lokal Provinsi Sumatera Utara.
  • Konsistensi Jam Tayang masih bersifat timeless, sehingga bisa ditayangkan berulang kali (re-run).
Menurut Drs. Amir Purba, M.A, Ph.D, konten lokal sendiri adalah isi pesan komunikasi (media) yang berasal dari suatu wilayah tertentu. Wilayah dapat diartikan, baik secara politik maupun sosial dan erat kaitannya dengan upaya menyukseskan demokrasi di Indonesia. Secara politik, konten lokal berada pada struktur vertikal politik seperti gubernur, bupati dan kepala desa (camat/lurah). Sementara secara sosial berada pada struktur horizontal sosial primordial seperti agama, bahasa, ras, etnik, kedaerahan, marga dan lain-lain.
Adapun yang dimaksud primordialisme adalah ikatan yang dianggap sudah ada sejak lama (givens), terutama yang berhubungan dengan kekerabatan. Diluar itu, primordialisme bisa hadir karena seseorang terlahir didalam masyarakat agama tertentu, berbicara dalam bahasa tertentu, atau bahkan dalam dialek suatu bahasa, dan mengikuti kebiasaan-kebiasaan sosial tertentu. Keselarasan ini dipandang memiliki daya paksa yang tidak terlukiskan, dan kadang-kdang menggagahi di dan dari dalam dirinya (Geertz. C, 1973). Maka sewaktu beberapa aspek primordialisme ‘berkelindan’, maka sentimen primordialismenya akan semakin menguat.
Provinsi Sumatera Utara sendiri berpenduduk 15.000.000 jiwa, yang terdiri dari 33 Kabupaten/Kota; 417 Kecamatan dan 5.744 Kelurahan/Desa. Etnis asli yang dimilikinya seperti Karo, Simalungun, Toba, Mandailing dan Pak-Pak; Melayu dan Nias. Sementara Etnis pendatang terdiri dari Jawa, Minangkabau, Sunda, Aceh, Banjar dan lain-lain (Pelzer, K.J, 1991).
Dalam slide-nya Drs. Amir Purba juga memberikan catatan penting, yaitu: “Didalam sistem politik yang demokratis, konten lokal sangat diperlukan untuk memperkuat proses komunikasi dari bawah ke atas. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran belum mengatur tentang konten lokal secara khusus. Aspirasi masyarakat yang berkembang pada wilayah-wilayah politik dan primordialisme di Sumatera Utara masih belum tersalurkan dalam proses dari bawah ke atas (bottom up flow of information), dimana arus informasi sebaliknya justru lebih kuat”.
Ya, munculnya Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 meski mencoba menata dan mengkritisi penyiaran televisi Jakarta yang sentralistis, belum jua mampu menyelesaikan persoalan. Bahkan, para pengelola dan investor televisi Jakarta sempat melakukan perlawanan untuk menggagalkan UU tersebut. Demikian pula munculnya televisi lokal dibeberapa daerah sebagai akibat adanya regulasi ini tidak pula berada dalam harapan yang sebanding, karena stasiun televisi ini pun sama dan dibangun/diakuisisi oleh ‘orang-orang pusat’. Dalam percaturan politik ekonomi skala internasional maupun nasional tidak dapat dipungkiri, bahwa media massa mainstream dikuasai oleh para pemilik modal, dan digunakan untuk kepentingan para pemilik modal tersebut. Cengkraman kapitalis terhadap media komunikasi di Indonesia menjelaskan, bahwa penyiaran tidak lagi menjadi alat penerangan, namun bisa dimiliki secara pribadi. Sekaligus tak dapat dipungkiri pula, hukum industrial membuat pemilik media memiliki otoritas penuh dalam mengelola medianya.

Komentar

Postingan Populer