CIRI-CIRI, DAMPAK DAN SOLUSI ATAS INFORMASI HOAKS SERTA UJARAN KEBENCIAN DI MEDIA SOSIAL

 

sumber: dok. pribadi.

Kedua, jenis-jenis hoaks di antaranya: fake news (berita bohong)[1], clickbait[2] (tautan jebakan), confirmation bias (bias konfirmasi)[3], miss-information (informasi yang salah), satire (sesuatu yang dibesar-besarkan), post truth (pasca kebenaran), dan propaganda. Menurut Mei, kalangan remaja merupakan batasan usia yang mudah terpapar dengan informasi hoaks, karena belum bisa menyaring mana yang benar dan tidak. Namun, menurut Cici, juga Mahasisiwi Polimedia PSDKU Medan, kalangan milenial saat ini tidak dengan mudah termakan oleh hoaks atau berita bohong. Musabab, pasti mereka akan mencari tahu informasi atau berita tersebut dengan aktif, dinamis dan teliti di era uses and gratification kini, agar bisa menemukan kebenarannya dan mereka tidak hanya mencari dengan satu sumber, tetapi mereka mencari dengan banyak informasi agar mengetahui benar atau tidaknya suatu berita.

Ketiga, data[4] berita hoaks paling banyak menyebar melalui facebook; hoaks bertema politik paling banyak tersebar (52%); hoaks bertema agama (8.4%); hoaks bertema kesehatan (7%); hoaks bertema kriminalitas (5.8%); hoaks bertema bencana (2%); narasi + foto menjadi bentuk hoaks yang juga paling banyak tersebar. Hal ini memang sangat bergantung dengan siatuasi yang tengah dihadapi. Seperti ketika menjelang Pilkada, maka nanti isu hoaks seputar sosial politi bisa jadi kembali mencuat. Baik itu di media sosial seperti Facebook; Twitter; dan/atau Instagram; ataupun aplikasi obrolan[5] lainnya. Baik itu yang berbentuk tulisan, gambar ataupun video (motion picture). Sekarang pun, sejak munculnya kasus pandemi Covid-19, banyak kita temui isu-isu hoaks yang berseliweran seputar Virus Corona. Bahkan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mencatat lebih dari 1.125 hoaks terkait yang telah ditemukan. Kemkominfo sendiri tergabung ke dalam Gugus Tugas Nasional Penanganan dan Pengendalian Virus ini. Oleh karena itu, dalam media massa sendiri, setiap wartawannya telah dituntut untuk tidak membuat berita bohong[6] dan fitnah[7], sesuai dengan aturan yang telah termaktub dalam Pasal 4 Kode Etik[8] Jurnalistik (KEJ), sebagai turunan dari Undang-Undang Pers dan rujukan masyarakat dalam memperoleh informasi yang akurat.



[1] Beberapa contohnya seperti kasus Saracen di mana hoaks diciptakan sangat terstruktur dan sistematis serta masif, atau pun kasus hoaks yang sempat menimbulkan penyerangan terhadap Mapolsek Ciracas oleh sejumlah oknum TNI.

[2] Kini, hoaks juga dapat terjadi di online shop.

[3] Contoh: Kasus Musisi Anji X Drive yang telah mewawancarai salah seorang bernama Hadi Pranoto yang mengaku telah menemukan obat Covid-19. Dalam kasus ini kita belajar, bahwa setiap influencer yang memiliki pengikut banyak dan memiliki dampak yang besar, untuk berhati-hati dalam menampilkan narasumber. Sehingga narasumber yang ditampilkan hanya yang berkompeten dan tepercaya dalam menjelaskan peristiwa bencana nonalam seperti Virus Corona ini secara ilmiah.

[4] Sumber: Tim Pemetaan Hoax Litbang Mafindo 2019.

[5] Adapun saluran penyebaran berita bohong di aplikasi obrolan menempati urutan kedua, yakni sebesar 62.80%, berdasarkan pada Data Diskominfo Provsu Tahun 2019.

[6] Maknanya ialah wartawan Indonesia tidak membuat berita yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.

[7] Tiak membuat berita berdasarkan tuduhan tanpa dasar, yang dilakukan dengan sengaja dengan niat buruk. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 191 sendiri disebutkan, bahwa: fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan.

[8] Etika sendiri menurut K. Bertens adalah nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur perilaku.

Komentar

Postingan Populer