MENYOAL EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN JARAK JAUH

 

sumber: Liputan6.com.

Di dalam kurun waktu yang bersejarah ini, di mana Virus Corona hampir melumpuhkan seluruh sektor kehidupan masyarakat di muka bumi. Termasuk salah satunya proses belajar-mengajar yang terdapat di kampus. Namun beruntungnya, kita kini berada di zaman yang melek teknologi. Sehingga, permasalahan ini dapat sedikit banyak diantisipasi. Salah satunya ialah melalui metode pembelajaran berbasis digital.

Di mana metode pembelajaran konvensional menjadi tidak diutamakan lagi, kecuali di beberapa daerah yang memang sudah termasuk ke dalam zona hijau. Hanya saja menurut saya, masih sangat sedikit sekali daerah berzona hijau, apalagi di tengah angka positif dan kematian akibat Covid-19 yang semakin tinggi.

Ya, pembelajaran berbasis teknologi[1] jelas dimaksudkan untuk mencegah penularan Virus Corona. Sebagaimana kita tahu, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah masifnya penularan virus ini, yaitu: mencuci tangan dengan sabun atau pensanitasi tangan (hand sanitizer); menjaga jarak 1 sampai 2 meter[2]; menggunakan masker; dan menghindari tempat-tempat yang berpotensi menimbulkan kerumunan (crowd).

Saya pikir, jelas proses belajar daring dilakukan untuk menghindari terjadinya kerumunan, dan tidak diterapkannya protokol kesehatan dengan baik. Pun, di beberapa kampus yang saya tahu, hanya mengizinkan mahasiswanya datang untuk beberapa urusan penting saja, seperti: bimbingan tugas akhir; meminjam buku di perpustakaan atau pun sidang. Dengan tetap menerapkan peraturan yang telah saya sebutkan di atas tadi secara ketat. Termasuk dengan melakukan pengecekan suhu tubuh. Sehingga, hanya mahasiswa dengan suhu tubuh tertentu yang diperbolehkan masuk.

Hal ini dilakukan, tentu tidak dimaksudkan sebagai bentuk diskriminasi atau pun bentuk pembedaan perlakuan. Melainkan untuk menjaga kampus tetap steril dan tidak menjadi klaster penyebaran Covid-19. Sebagaimana kita tahu, tempat-tempat yang mengundang keramaian kerap kali menjadi klaster penyebaran virus ini. Seperti klaster per daerah, baik kabupaten/kota maupun provinsi; klaster industri; klaster pendidikan; klaster resepsi pernikahan; klaster keluarga[3]; klaster perkantoran; klaster demonstrasi[4], hingga sangat mungkin ke depan klaster Pilkada[5].



[1] Pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang dilakukan secara daring (online) memang di satu sisi memberikan banyak manfaat, yang salah satunya meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menggunakan teknologi. Namun apa kabar dengan tenaga pengajarnya? Berdasarkan pengamatan (observasi) sepintas memang, yang saya dapati dan pahami banyak dosen yang kurang berkompeten secara teknis dalam menggunakan berbagai aplikasi pendukung tersebut. Berbagai alasan mengiringi, mulai dari kebanyakan dosen yang masih didominasi oleh kalangan baby boomers (lahir pasca Perang Dunia ke-II). Sehingga dalam pelaksanaannya, mereka banyak dibantu oleh pihak administrasi kampus. Saya pribadi pun, lebih suka menggunakan Whatsapp Video karena lebih simpel alias mudah untuk digunakan (uses friendly).

[2]Baca:https://khairullahbinmustafa.blogspot.com/2020/06/new-normal-dari-segikomunikasi.html

[3] Sehingga isolasi mandiri tidak diperbolehkan lagi oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Apabila fasilitas yang ada tidak memadai, atau pun kondisi yang ada tidak memungkinkan, bahkan malah mengkhawatirkan, karena dapat menularkannya kepada anggota keluarga yang lain. Oleh karena itu, pemerintah mengimbau setiap masyarakat yang terpapar virus tersebut, untuk dapat melakukan isolasi di tempat yang sudah disediakan. Pemerintah baik di pusat maupun di daerah juga telah bekerja sama dengan sejumlah rumah sakit, serta beberapa pihak hotel untuk hal ini.

[4] Sebagaimana diketahui, baru-baru ini terjadi demonstrasi besar-besaran dari kalangan buruh, mahasiswa, bahkan pelajar yang menuntut pembatalan Undang-Undang Cipta Kerja. Oleh karena itu, penulis berharap anggota legislatif dan pemerintah harus bijak dalam menerbitkan suatu peraturan. Sehingga tidak menimbulkan kontroversi dan ketegangan di antara masyarakat, pengusaha dan pemerintah di masa pandemi. Jika tidak, pernyataan protes yang dikemukakan secara massal atau unjuk rasa itu akan menimbulkan kerumunan dan memunculkan klaster baru penyebaran Covid-19. Masyarakat pun, penulis harapkan dapat sangat selektif dalam menerima ajakan demonstrasi di media sosial tanpa alasan yang jelas agar tidak menjadi korban hoaks (informasi bohong). Adapun untuk Mahkamah Konstitusi (MK) dan Polisi, penulis berharap kedua instansi dapat sangat bijak dalam menyikapi permasalahan ini. Mulai dari jika UU ini dikaji ulang (judicial review) di MK, hingga pendekatan persuasif yang perlu lebih dikedepankan dalam menghadapi pendemo (Lihat You Tube BBC News Indonesia: ‘Demo Anarkis’ dan ‘Brutalitas Polisi’ dalam Aksi Tolak Omnibus Law). Adapun para demonstran ketika menyampaikan aspirasinya, untuk dapat mematuhi peraturan yang berlaku, dan berhati-hati dari datangnya para penyusup yang tidak bertanggung jawab, dan malah merusak fasilitas publik (berujung anarkis –red) (Lihat. You Tube metrotvnews: ‘Tangkap Dalang Rusuh Demo Omnibus Law’). Demostrasi sendiri memang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dan juga telah dijamin dalam Pasal 28E Undang-Undang Dasar Tahun 1945, serta Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hak ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun juga, dan dengan tidak memandang batas-batas”. Pasal 29 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang antara lain pula menetapkan, sebagai berikut: 2) Dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk semata-mata pada pembatasan yang ditentukan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan penghargaan terhadap hak serta kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil bagi moralitas, ketertiban, serta kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis; 3) hak dan kebebasan ini sama sekali tidak boleh dijalankan secara bertentangan dengan tujuan dan asas Perserikatan Bangsa-Bangsa.   

[5] Sebagaimana dikutip dari tribunnews.com, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat, selama dua hari pendaftaran Pilkada 2020, terjadi 243 dugaan pelanggaran yang dilakukan bakal calon kepala daerah. “Hari pertama 141 (dugaan pelanggaran), hari kedua 102. Termasuk 20 orang yang tidak membawa hasil swab saat pendaftaran,” kata Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar. Belum lagi, bakal calon kepala daerah yang tidak sedikit terkonfirmasi terjangkit positif Covid-19, meski sudah banyak juga yang sembuh (news.detik.com). Ditambah lagi dengan jadwal kampanye yang telah dimulai sejak tanggal 26 September sampai dengan 5 Desember 2020. Padahal, KPU sebagai penyelenggara Pilkada telah mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas PKPU No. 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana NonAlam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Artinya, kesadaran dari pasangan calon dan simpatisan menjadi penentu tegaknya protokol kesehatan Pemilihan Kepala Daerah di tengah pandemi.

Komentar

Postingan Populer