MENYOAL EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN JARAK JAUH (BAG. 3)

 

sumber: mediaindonesia.com.

Kedua, sulitnya menyelenggarakan kegiatan kunjungan industri, karena berbagai alasan, seperti: a) Sejak Corona melanda, untuk sementara beberapa lembaga penyiaran di daerah meniadakan siaran lokal, karena pegawai dan penyiarnya diharuskan Work From Home, sehingga kegiatan redaksi pun dilakukan dari rumah; dan b) Dari beberpa pihak gedung lembaga penyiaran jenis televisi dan radio juga tidak diizinkan untuk menerima kunjungan. Hal ini saya temui ketika hendak mengajukan permohonan kunjungan industri ke beberapa stasiun televisi bejaringan di daerah. Namun, ada juga lembaga penyiaran yang masih mau menerima, seperti DAAI TV Medan lewat webinar via zoom[1] bertemakan “Pentingnya Menjaga Independensi dan Kepercayaan Publik dalam Pemberitaan di Televisi[2]”; serta MNC Trijaya Medan 95,1 FM yang menerima kunjungan industri kami secara langsung[3]. Saat itu, kami mendengarkan pemaparan dari penanggung jawab radio terkait, Bapak Iskandar Prapanca tentang “Pentingnya Penerapan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dalam Peliputan dan Pemberitaan di Radio”.

Saya pribadi berani mengajukan kunjungan industri itu, karena jumlah mahasiswa kami yang memang hanya 5 orang saja, ditambah dengan 1 orang kepala program studi. Pun, salah seorang mahasiswi saya dalam salah satu masukannya ketika Ujian Tengah Semester (UTS) menuliskan, bahwa harapannya kegiatan belajar-mengajar Etika Profesi yang saya tanggung jawabi lebih baik lagi, seperti sering melakukan praktik yang berhubungan dengan mata kuliah ini. Apalagi, memang konsep ‘kampus merdeka’ kini yang tengah digalakkan lebih menekankan pada pembelajaran yang modern, seperti perluasan lingkup profesi alias tidak dibatasi.

Oleh karena itu, jika kita menyoal seberapa efektif pembelajaran jarak jauh di masa pandemi? Makan menurut saya, jawabannya ialah masih belum terlampau efektif, karena berbagai macam kendala, sebagaimana yang telah saya paparkan di atas. Begitu pula, apabila ditanya seberapa siap kita terhadap penerapan pembelajaran jarak jauh ini? Maka, saya harus menjawab; “siap tidak siap harus siap!”, dan “mau tidak mau harus mau!”. Musabab, pandemi tidak dapat kita hindari, melainkan kita hadapi dengan kemampuan, kemauan dan kesungguhan kita. Meski pun ini mungkin baru pertama kali kita hadapi dalam hidup kita. Namun ke depan, kita telah memiliki cetak biru (blueprint) bagaimana sikap kita ketika menghadapi situasi semacam ini, khususnya dalam hal proses pelaksanaan belajar-mengajar. Walhasil, peran dosen dalam pembelajaran jarak jauh sangat penting, karena membatu mahasiswa menghadapi ketidakpastian yang telah disebabkan oleh pandemi Covid-19.

Salah satu dari tiga kewajiban (tri dharma)[4] perguruan tinggi itu, yakni pendidikan. Adagium menyebut, “the future lies with the young” (masa depan suatu bangsa terletak di tangan pemuda”. Ya, pemuda kita haruslah memiliki kapasitas ilmu pengetahuan (intelektual) dan keahlian yang mumpuni. Adapun salah satu cara membuat anak muda-mudi kita berdaya, yakni dengan menyekolahkan mereka hingga ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Artinya, meskipun di tengah pandemi, proses belajar-mengajar tidak boleh mati. Untuk itu berbagai macam persoalan mengenai perubahan metode tatap muka di kelas menjadi termediasi via layar laptop atau gawai membutuhkan adaptasi dan perubahan yang harus dievaluasi secara bersama-sama. Terutama dari sisi penyiapan materi dan interaksi di ruang digital.

Apalagi, komunikasi secara tatap muka (face to face) memang masih dianggap lebih ampuh dalam membentuk sikap (afektif) dan perilaku (behavioral) mahasiswa. Setidaknya begitulah yang saya pahami ketimbang komunikasi bermedia, yang ‘katanya’ hanya berpengaruh pada tataran pengetahuan (kognitif) saja. Selain itu, perbedaan lainnya ialah umpan baliknya (feedback) lebih bersifat langsung secara alami[5] tanpa adanya bias teknis. Ketimbang komunikasi bermedia yang umpan balik/timbal-baliknya terjeda misal karena kendala jaringan. Adapun feedback itu sendiri tidak harus melulu dalam bentuk kata-kata, tapi juga bisa melalui bahasa isyarat yang kini banyak digantikan oleh keberadaan emotikon di media sosial maupun media obrolan. Hal semacam ini jelas harus dipahami, agar proses berlangsungnya komunikasi di antara pendidik dan peserta didik menjadi efektif (tepat guna). Selain itu, persoalan pemerataan akses informasi juga harus diperhatikan oleh perguruan tinggi terkait. Hal ini berguna agar tidak adanya kesenjangan sosial di antara tiap-tiap mahasiswa. Walakhir, selamat menjalankan pembelajaran daring dan tetap semangat!...


[1] Baru belakangan saya bisa mengoperasikannya dalam salah satu webinar (web seminar) yang saya kerjakan. Walhasil, saya mengambil kesimpulan, bahwa sebenarnya kita bisa apabila kita mau. Agadium menyebutnya: Where is a will, there is a way (Di mana ada kemauan, di situ ada jalan). Belakangan juga, saya telah mengetahui, bagaimana cara mengoperasikan google meeting dan WA Video melalui web dan messenger, karena memang kedua platform (wadah) itu cukup mudah digunakan.

[2] Telah dilaksanakan pada tanggal 28 September 2020, bersama Produser DAAI TV Medan, Kak Khairiah Lubis, S.Sos.

[3] Telah dilaksanakan pada tanggal 31 Agustus 2020.

[4] Bahasa Sanskerta.

[5] Seperti adanya dukungan empati, evaluasi hasil pembelajaran secara langsung, dan mampu mendengarkan secara baik, serta iklim di kelas yang mungkin lebih menciptakan keterbukaan antara dosen dan mahasiswa (open disclosure).

Komentar

Postingan Populer