Apa itu Rating dalam Media Elektronik?
Sumber: www.google.co.id. |
Penyelenggaraan Penyiaran di Indonesia, baik
televisi dan radio didominasi oleh praktik standarisasi riset audiens bernama rating. Kualitas program diukur dari angka rating yang pada akhirnya memengaruhi
perolehan iklan. Kenyataan ini lebih kuat dalam industri pertelevisian.
Orientasi tunggal pada rating
akhirnya menentukan layak tidaknya suatu program acara televisi. Rating dan share menjadi position
utama yang menentukan definisi selera khalayak, mata acara, serta menentukan
keputusan dan strategi siaran.
Pembacaan rating
oleh pihak televisi, Production House
(PH), biro iklan-media planner,
bahkan masyarakat pada umumnya juga mengalami distorsi makna. Kesalahpahaman
ini berangkat dari realitas media yang selalu menonjolkan sudut pandang capaian
angka rating dan share untuk menilai kesuksesan atau keberhasilan tayangan tv.
Ditengah pemujaan rating tersebut,
sistem rating itu sendiri mendapatkan
banyak kritik tajam, karena kelemahan-kelemahan praktik metodologis maupun
teknis penyelenggaraan survey yang dilakukan.
Teguh Imawan dalam artikel opininya di Suara Pembaruan, 22 September 2006
menulis, opini publik tentang rating
acara televisi selalu dominan diwarnai oleh dua pandangan hipotesis. Pertama, bila acara memiliki rating tinggi, maka otomatis acara
tersebut dinilai bagus. Kedua,
sebaliknya, suatu program acara divonis tidak bagus, jika capaian angka rating tergolong rendah. Lebih lanjut
dilihat dari sisi internal media, menurut pandangan Imawan, para pekerja
televisi sering mengedepankan rating
dan share untuk mendongkrak
popularitas stasiun televisi. Kepentingan divisional itu membuat pola pikir
pragmatis dengan menjadikan angka rating
sebagai informasi tunggal untuk menetapkan pola acara dalam konteks persaingan
dengan televisi lain. Sementara itu, praktisi sales marketing berfokus bagaimana secara cepat mampu mengejar dan
memenuhi target penjualan spot iklan, karena tak mau sedikit membuka wawasan
menerima kreasi baru program acara, ketika meyakinkan pengiklan agar nanti
menaruh spot iklan ke acara yang dimaksud, ia hanya mengandalkan semacam brenchmark dari data yang sudah siap
saji. Dalam praktiknya, marketing
bermodus kreativitas instan seperti ini cenderung mencari kemudahan mendapatkan
iklan dengan menyebut nama acara yang sudah ada sebagai cara praktis
menggambarkan isi acara yang ditawarkannya kepada pengiklan.
Di Indonesia, penyelenggara survey rating televisi dirintis oleh Survey
Research Indonesia (SRI) sejak 1990. Pada tahun 1994, AC Nielsen – perusahaan
riset pemasaran terkemuka asal Amerika Serikat – mengakuisisi SRI, sehingga
namanya berubah menjadi AC Nielsen – SRI. Selanjutnya, beberapa kali perusahaan
ini berganti nama. Awalnya, AC Nielsen Media International, kemudian Nielsen
Media Research (Prakoso, “Beginilah Cara Pengukuran Rating Dilakukan”, http://www.semestanet.com/
2007/11/12/,
beginilah-cara-rating-dilakukan/).
Secara internasional, NMR adalah bagian dari grup perusahaan VNV Media
Measurement & Information. Terakhir pada tahun 2004, membentuk join venture dengan AGB, penyelenggara
survey kepermisaan terbesar dua di dunia, sehingga namanya berubah menjadi AGB
Nielsen Media Research (Wirodono, 2005: 95).
Di Indonesia,
perkembangan perusahaan Nielsen dari tahun ke tahun sebagai berikut:
Perusahaan
|
Tahun
|
Metode
|
Kota
|
SRI
|
1991
|
Diary
|
Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung.
|
AC-Nielsen
|
1998
|
People Meter
|
Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung,
Makassar, Yogyakarta, dan Palembang.
|
Nielsen Media Research
|
2002
|
People Meter Off-Line (Weekly)
|
Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung,
Makassar, Yogyakarta dan Palembang.
|
AGB Nielsen Media Research
|
2004
|
People Meter On-Line (Daily)
|
Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung,
Makassar, Yogyakarta, Palembang, Denpasar, dan Banjarmasin.
|
Pengukuran dengan people meter berlangsung secara seketika (online) dan tunda (offline).
Pada cara tunda, data tentang perilaku menonton direkam terlebih dahulu ke
disket yang terletak dalam slot meter. Disket itu kemudian setiap minggu
diambil oleh seorang petugas Nielsen. Pada cara seketika, data terkumpul pada
saat responden menonton. Pada cara ini people
meter yang tersambung dengan telepon rumah dikoneksi pusat data Nielsen
pada sekitar jam dua dini hari. Menurut pihak Nielsen, Telkom melakukan
perbaikan pada jam-jam ini. Akibatnya, koneksi seringkali tidak lancar sehingga
data peringkat rating di Indonesia
baru dapat dikeluarkan secara mingguan, belum harian sebagaimana di negara
lain. Kualitas gambar juga memengaruhi rating.
Jika kualitas gambar buruk, penonton akan cenderung meninggalkan saluran ini,
tak peduli betapa bagusnya program acara. Pada saat jam-jam puncak (peak hour), penonton memiliki pilihan
terbatas karena setiap saluran menyajikan jenis program yang sama. Adapun
acara-acara pada event khusus seperti
piala dunia, liburan sekolah, bencana alam, dan sejenisnya mampu mendongkrak rating (Prakoso, “Beginilah Cara
Pengukuran Rating Dilakukan”. http://www.semestanet.com/2007/11/22/beginilah-cara-rating-dilakukan/).
Kelemahan metodologis mengenai akurasi rating menjadi hal yang wajar mengingat
secara mendasar terdapat dua model dasar dalam mempelajari audiens dan media,
yakni model efek dan penggunaan-gratifikasi. Kedua model ini memberikan
penekanan yang berbeda. Model efek merujuk pada penekanan kekuatan ‘pesan’ yang
disampaikan media kepada audiens, sehingga memposisikan audiens seolah-olah
pasif, sementara model penggunaan gratifikasi memberikan penekanan pada apa
yang dilakukan audiens terhadap media. Hal ini menunjukkan otoritas dan
kekuasaan audiens dalam menggunakan media. Berdasarkan perbedaan mendasar
tersebut, dalam mempelajari riset audiens tidak cukup hanya dengan sistem rating yang mendasarkan pada metode
penelitian kuantitatif, yang mengukur semua dimensi berdasarkan angka-angka.
Untuk itu, perlu digagas alternatif lain selain rating yang hanya berbicara mengenai angka-angka statistik. Mungkin,
salah satunya adalah survey indeks kualitas program siaran televisi yang
dilakukan oleh KPI Pusat, yang bertujuan sebagai antitesa bahwa tayangan yang
be-rating tinggi belum tentu
merupakan tayangan yang berkualitas untuk dikonsumsi. (end).
*dikutip dari berbagai sumber dengan beberapa perubahan.
Komentar
Posting Komentar