REALITAS VS FANTASI DALAM MEDIA

Sumber: www.google.co.id.
Ilmu adalah cahaya dan berguna dalam kehidupan kita sehari-hari. Tak jarang, demi memenuhi ilmu kita tidak hanya membaca buku dan bersekolah, tapi kita juga mengonsumsi berbagai media lain sebagai sumber pendidikan non-formal bagi kita. Untuk itu, kita perlu meningkatkan minat dalam menggunakan media sebagai sumber ilmu pengetahuan. Jadi, media tidak hanya digunakan sebagai sumber untuk memenuhi kebutuhan hiburan saja. Sayang data dan fenomena di Indonesia malah menunjukkan sebaliknya. Dimana media masih menjadi tempat untuk mendapatkan hiburan semata, hal ini merujuk pada berbagai penelitian yang ada.    
Seringkali kita terjebak diantara realitas dan fantasi saat mengonsumsi media. Kita seolah dibuat lupa bahwa media apapun bentuknya penuh dengan konstruksi dan tidaklah netral. Disatu sisi, bagi kita orang dewasa, mungkin akan sangat mudah menentukan suatu tayangan tersebut fantasi atau bukan. Namun bagi anak-anak tentu menentukan dua hal tersebut akan sangat sulit sekali. Contoh: Aksi kejar-kejaran antara pemburu dan Bugs Bunny dalam serial kartun Looney Tunes, bisa dianggap sebagai sebuah realita oleh anak-anak. Padahal, aksi tembak-tembakan yang ada didalamnya tidak menyebabkan tokoh-tokoh utamanya mati. Ataupun adegan menembus tembok, pukul-pukulan sampai benjol, terpeleset dan adegan-adegan kekerasan lainnya khas Tom & Jerry yang tidak masuk akal bagi orang dewasa, tetapi bisa jadi sebaliknya bagi anak-anak. Lagipun, tidak sedikit kasus yang memakan korban anak-anak, lantaran meniru adegan-adegan berbahaya yang mereka tonton di tv.
Tayangan-tayangan lainnya seperti Suka-Suka Uya, Masih Dunia Lain, Rumah Uya, Katakan Putus, Termehek-mehek, Kuis Win-HT (tayang beberapa tahun silam ketika masa kampanye), juga merupakan program settingan meski tidak terlihat begitu jelas. Kebanyakan dari kita baru memahami tayangan-tayangan tersebut merupakan rekayasa setelah adanya kebocoran-kebocoran dari berbagai aspek. Seperti ketika syuting/casting/proses rekrutmen, dan terekam kamera sebagian orang yang kemudian disebarluaskan. Tentu hal ini hanya akan menimbulkan reaksi sinis penonton terhadap perkembangan reality show di Indonesia yang hampir stagnan setiap tahunnya. Sayang disisi lain, masih banyak juga masyarakat yang menyakini, bahwa tayangan tersebut benar adanya. Untuk itu, sudah menjadi tanggungjawab kita bersama yang menempuh pendidikan, yang dibekali kemampuan berpikir kritis untuk turun ke jalan, dan menyampaikan kepada mereka yang masih awam bahwa isi media tidak semata menggambarkan realitas, namun ada konstruksi di dalamnya. Tentu, penyampaian yang kita lakukan itu haruslah sopan dan menyesuaikan dengan keadaaan mereka.
“Menyadari kontinum fantasi-realitas sangat penting dewasa ini, musabab ada begitu banyak program yang mengaku ‘realitas’ di televisi. Meskipun memang benar seluruh program ini memiliki elemen realitas di dalamnya, namun juga mengandung elemen fantasi yang tidak sedikit. Beberapa ‘reality show’ mungkin memiliki campuran elemen yang menjadikannya lebih nyata ketimbang beberapa program yang memang fiktif. Namun, jika Anda cukup kritis, maka perbedaan yang tersemat dalam program acara tersebut akan terlihat dengan sangat jelas”.      
Lantas, fantasi dalam media memang ada untuk menghibur para penggunanya, yang suntuk dan terus-menerus dicecoki dengan hal-hal yang berbau serius dalam kehidupannya. Namun, tampaknya perlu ada batasan yang jelas antara dunia nyata dan layar yang menampilkan adegan-adegan imajiner tersebut. Daya tarik program reality show yang kerap menegangkan itu haruslah disikapi secara bijak sebagai suatu hiburan belaka. Sehingga, ‘kelebayan’ tersebut tidak perlu dibawa-bawa sampai ke dunia nyata, tempat kita menjalani kehidupan yang sesungguhnya.

Komentar

Postingan Populer