Pemenuhan Konten Lokal 10% Pada Lembaga Penyiaran

dok. pribadi

Baru-baru ini, KPI Pusat melaksanakan indeks rating di beberapa kota bekerjasama dengan perguruan tinggi ternama di Indonesia, salah satunya ialah Universitas Sumatera Utara. Dari hasil survey tersebut menunjukkan, muatan lokal di Sumatera Utara terendah dari yang ditonton pemirsa pada semester pertama ini. Adapun masalah konten lokal di media penyiaran di daerah adalah: a) re-run (tayangan ulangan); b) tayang di jam ‘hantu’ (jam tidur/22.01 – 04.59 waktu setempat)/alokasi waktu tidak produktif; c) belum cukupnya jam tayang konten lokal di stasiun TV; d) masih didominasi oleh tayangan-tayangan kriminalitas, kekerasan dan korupsi sehingga secara tidak langsung menunjukkan citra yang buruk bagi Provinsi Sumatera Utara; serta e) siaran lokal masih jarang ditempatkan pada waktu prime time. Malah pada kenyataannya seringkali didapati saluran televisi nasional berjaringan pada saat prime time, diisi oleh tayangan berupa film asing. Padahal, konten lokal juga penting untuk menghindari negara-negara, dimana sektor penyiarannya belum maju, dari homogenisasi program siaran negara yang sudah sangat maju sektor dan produksi penyiarannya seperti Amerika Serikat (Bhattacharjee dan Mendel, 2001: 1-2).
Konten lokal sendiri merupakan program siaran dengan muatan lokal yang mencakup program siaran jurnalistik, program siaran faktual, dan program siaran non-faktual dalam rangka pengembangan potensi daerah setempat, serta dikerjakan dan diproduksi oleh sumber daya dan lembaga penyiaran daerah setempat. Napoli (2001: 373) menjelaskan, bahwa konten lokal dalam kebijakan media didasarkan pada asumsi normatif, bahwa setiap stasiun tv wajib dan harus meliput isu-isu lokal, melaporkan berita-berita lokal, memproduksi program lokal dan menyediakan saluran bagi aspirasi lokal.
Berikut beberapa ketentuan peraturan terkait pemenuhan konten lokal di lembaga penyiaran, diantaranya:
  1. Pemenuhan Durasi Konten Lokal sesuai dengan amanah dan ketentuan SPS Pasal 68 ayat (1), yang berbunyi: “Program siaran lokal wajib diproduksi dan ditayangkan dengan durasi paling sedikit 10% untuk tv dan 60% untuk radio dari seluruh waktu siaran berjaringan perhari”. Ayat (2) yang berbunyi: “Program siaran lokal sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diatas paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) diantaranya wajib ditayangkan pada waktu prime time waktu setempat”, dan ayat (3) yang berbunyi: “Program siaran lokal sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) secara bertahap wajib ditingkatkan hingga paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) untuk televisi dari seluruh waktu siaran berjaringan per hari”.
  2. Parameter lokalitas program siaran masing-masing stasiun TV Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) sesuai dengan P3 (Pedoman Perilaku Penyiaran) Pasal 46 yang berbunyi: “Lembaga Penyiaran dalam Sistem Siaran Berjaringan wajib menyiarkan Program Lokal”.
  3. PKPI Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 2 yang berbunyi: “30% dari kewajiban menyiarkan Program Siaran Lokal sebagaimana ditetapkan ayat (1) pasal ini, bagi televisi ditetapkan pada waktu yang sama yakni pukul 05.00 – 06.00”.
  4. Parameter pemenuhan alokasi waktu produktif sesuai dengan bunyi PKPI Nomor 1 Tahun 2016 Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi: “LPS stasiun Penyiaran Lokal Berjaringan, wajib menyiarkan siaran lokal minimal 60% untuk radio dan minimal 10% untuk Televisi pada jam produktif antara pukul 05.00 – 22.00”.
  5. Stasiun TV Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) sesuai dengan P3 Pasal 46 yang berbunyi: “Lembaga Penyiaran dalam Sistem Siaran Berjaringan wajib menyiarkan Program Lokal”.

Sejumlah peraturan di atas jelas telah membuka ruang bagi terciptanya keberagaman isi (diversity of content) penyiaran di Indonesia, terutama menyangkut konten lokal. Hal ini jelas kita rasa penting, karena industri penyiaran selama ini kerap mengabaikan konten lokal dan menggantinya dengan isu-isu ‘Jakarta Sentris’ seperti kemacetan, yang kita rasa sangat tidak diperlukan. Selain itu, isu-isu seperti ini pun kerap meredam potensi-potensi daerah kita, yang seharusnya bisa disebarluaskan melalui keberadaan konten lokal. Seperti kebudayaan di daerah Sumut, keberagaman di daerah Sumut, pariwisata, kuliner, adat-istiadat dan sebagainya. Sehingga, lebih mendapatkan tempatnya di hati masyarakat. Selain itu, keberadaan UU Penyiaran ini juga menyiratkan satu pesan, bahwa konten lokal tidak boleh ‘dibunuh’ dengan alasan apapun. Termasuk dengan alasan mengejar profit yang sebesar-besarnya.
Sebagaimana disebutkan pada Bab 1, Pasal 1, butir 11: “Tatanan informasi nasional yang adil, merata dan seimbang adalah kondisi informasi yang tertib, teratur, dan harmonis terutama mengenai arus informasi atau pesan dalam penyiaran antara pusat dan daerah, antarwilayah di Indonesia, serta antara Indonesia dan dunia internasional”.
Sekalipun lembaga penyiaran dan stasiun siaran berjaringan yang menyiarkan konten lokal memiliki sejumlah keuntungan[1], seperti merangsang dan membangun dinamika ekonomi, sosial, dan budaya lokal, serta menumbuhkan rumah-rumah produk lokal, biro iklan lokal, lembaga rating lokal dan kegiatan-kegiatan ekonomi kreatif lainnya (Pandjaitan, dkk, 2003: 44). Namun tampaknya niat baik itu tergeser oleh model penyiaran kita yang telah beralih ke private (swasta), dimana tujuan utamanya ialah profit (mencari keuntungan) semata dan melepaskan fungsi sosialnya (Dominick, et. al, 2004, hal: 312). Sehingga, demokratisasi penyiaran yang menjamin diversity of content (keberagaman isi) dan diversity of ownership (keberagaman kepemilikan) belum sepenuhnya bisa terwujud (Puji Rianto dalam Tempo, 9 April 2011).
Padahal, jika dilihat dari sudut pandang sosiologis dan kultural masyarakat Indonesia yang sangat majemuk dengan kebudayaan yang sangat beragam. Baik dari sisi adat-istiadat, tradisi, maupun bahasa. Masyarakat yang plural tersebut mempunyai realitas sosiologis dan kulturalnya masing-masing, sehingga tidak mungkin dapat direpresentasikan dalam media yang sentralistik dan terkomersialisasi seperti sekarang ini. Disisi lain, secara geografis, wilayah Indonesia sangat luas dan terbagi kedalam tiga zona waktu (WIB, WITA, WIT). Oleh karena itu, persoalan akan muncul ketika suatu program siaran disaksikan oleh masyarakat dari zona waktu yang berbeda.

“Apa signifikansinya kita yang berada di Bontang, harus mendengarkan atau melihat berita tentang macetnya beberapa ruas jalan di Jakarta atau kota-kota besar di Jawa sana. Sementara isu-isu lokal, baik berita maupun hiburan, yang justru kita butuhkan dan diminati masyarakat sini sulit atau bahkan tak mungkin ditayangkan oleh media umum tersebut. Tentu saja, mereka (media mainstream -red) yang mementingkan pasar potensial, atau bahkan tidak punya nilai jual yang dapat ditawarkan kepada para pengiklannya (dikutip dari Maryani, 2010: 6).
Untuk itu, guna meningkatkan konten lokal di lembaga penyiaran dan Stasiun Siaran Berjaringan di Sumatera Utara sesuai Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, maka KPID[2] Provinsi Sumatera tengah melakukan berbagai upaya, dua diantaranya sebagai berikut:
Pertama, melaksanakan KPID Award Tahun 2018 bertema “Sumatera Utara dalam Bingkai Keberagaman[3]”, dengan memperlombakan beberapa konten program acara yang terkandung muatan lokal di dalamnya. KPID Award ini merupakan program tahunan KPI, yang dilaksanakan sebagai bentuk apresiasi Lembaga Negara Independen ini kepada Lembaga Penyiaran untuk lebih terpacu lagi dalam menayangkan siaran-siaran yang berkualitas, sehingga siaran tersebut tidak hanya sekedar menjadi tontonan, melainkan juga menjadi tuntunan bagi masyarakat.
Diawali dengan Kegiatan Sosialisasi KPID Award 2018, tanggal 16 Agustus silam, pihak KPID-SU telah mengundang 100 lembaga penyiaran di Sumatera Utara untuk mensosialisasikan kegiatan tersebut. Adapun kategori yang diperlombakan untuk Lembaga Penyiaran Publik (LPP), Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL), Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK), dan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) Jasa Televisi, sebagai berikut:
  1. Kategori Berita (Hard, Feature, dan/atau Investigatif);
  2. Kategori Budaya dan Hiburan;
  3. Kategori Pariwisata;
  4. Kategori Pendidikan;
  5. Kategori Anak dan Perempuan;
  6. Kategori Talkshow (Bincang-Bincang);
  7. Kategori Iklan Layanan Masyarakat;
  8. Kategori Lembaga Penyiaran yang Terbanyak Menayangkan Program Siaran Sehat.

Sedangkan, untuk Jasa Radio, sebagai berikut:
  1. Kategori Berita (Hard, Feature, dan/atau Investigatif)
  2. Kategori Budaya dan Hiburan;
  3. Kategori Talkshow (Bincang-Bincang);
  4. Kategori Iklan Layanan Masyarakat;
  5. Kategori Lembaga Penyiaran yang Terbanyak Menayangkan Program Siaran Sehat.

Sampai sejauh ini, setidaknya KPID-SU telah menerima 34 materi siaran dari lembaga penyiaran, yang terdiri dari 17 LP Jasa Radio dan 17 LP Jasa Televisi untuk kemudian diberikan kepada dewan juri. Adapun sebelumnya, jumlah LP yang telah dikirimkan surat undangan untuk mengikuti KPID Award Tahun 2018 sebanyak 61 LP sesuai dengan ketentuan dan syarat yang berlaku.
Kedua, pihak KPID-SU juga telah menjalin kerjasama dengan FISIP USU untuk melakukan “Survey Tayangan Konten Lokal Sumatera Utara di Lembaga Penyiaran Televisi”. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memetakan konten lokal lembaga penyiaran di Sumatera Utara, sekaligus sebagai bahan pertimbangan KPID-SU dalam melaksanakan fungsi pengawasan isi siaran kedepanya. Lagipun, KPID-SU membutuhkan data, sebagai bahan untuk mendorong lembaga penyiaran terkait untuk lebih banyak memproduksi acara yang berkualitas, dan memperbaiki tayangan konten lokal mereka. Serta, menjadi bahan evaluasi tersendiri bagi KPID-SU untuk mengukur efektivitas kinerja mereka selama ini. Sampai dengan makalah ini diturunkan, kegiatan survey ini telah sampai ke tahap pengumpulan data dan menganalisisnya.


[1] Kadiskominfo Sumut, Drs. H. MHD. Fitriyus, S.H dalam sosialisasi KPID Award menyebutkan, sejumlah keuntungan tersebut diantaranya: 1) televisi yang menayangkan konten lokal sebagai media dokumentasi budaya. Selain sebagai media penyedia sarana informasi (berita), keberadaan lembaga penyiaran yang menyiarkan konten lokal sesunguhnya menyimpan potensi sebagai media dokumentasi budaya atau videografi budaya (cultural videography); dan 2) Informasi berita bermuatan lokal yang dikemas dalam bahasa yang khas (Pasal 38 ayat 1 –red), karena selain akan bisa memberi informasi kejadian lokal dengan tegas dan lepas, serta demokratis, juga sajian seperti ini akan mudah menyapa publik sendiri, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom).
[2] Berdasarkan tabel perbandingan tiga pemikiran sistem penyiaran, yakni otoritarian, neoliberal dan demokratis. Maka, KPID-SU tergolong kedalam lembaga regulator yang independen, dibentuk oleh negara untuk mengawal penyiaran dan bertanggung jawab kepada publik melalui DPRD Provinsi. Adapun tujuan negara membentuk KPID, yaitu: mengatur agar terjaminnya akses publik terhadap informasi yang adil dan merata melalui pelaksanaan UU 32/2002 dan P3SPS, serta meniscayakan terpeliharanya keberagaman isi dan kepemilikan dalam iklim penyiaran kita.
[3] Adapun sub tema KPID Award adalah: “Meningkatkan Kualitas Penyiaran Sumut yang Beretika, Bermartabat, dan Berkearifan Lokal”.

Komentar

Postingan Populer