Monopoli Kepemilikan Media di Indonesia
Sumber: Buku II Indeks Panel Ahli. |
Salah satu butir dalam UU
No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran adalah mencegah monopoli kepemilikan, dan mendukung
persaingan yang sehat di bidang penyiaran (Bab II, Pasal 5,
butir g). Artinya, KPI didirikan untuk menjegal langkah penguasa media yang
berkecenderungan ingin memonopoli kepemilikan media di Indonesia,
mengintervensi isi siaran yang semata-mata berorientasi profit maupun sebagai
corong politiknya, yang pada hilirnya hanya akan menggadaikan ‘hak’ masyarakat
sebagai konsumen media untuk mendapatkan siaran yang berkualitas.
Dalam Bab III, Pasal 6 ayat (2) juga disebutkan, “Negara menguasai spektrum frekuensi radio,
yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”.
Pasal 18 juga dengan jelas memberikan pembatasan atas Lembaga Penyiaran
Swasta. Dalam ayat (1) disebutkan: “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan
Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah
siaran, dibatasi.
Kemudian ayat (2) menyebutkan, “Kepemilikan silang
antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan Jasa Penyiaran Radio dan
Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan Jasa Penyiaran Televisi, antara
Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta
dan Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak
langsung, dibatasi. Namun, dalam praktiknya sejumlah peraturan tersebut kerap kali
dilanggar. Berikut contoh beberapa kepemilikan media
yang hanya dikuasai segelintir elit saja, yaitu:
- Hary Tanoe = Pimpinan MNC Grup yang membawahi stasiun RCTI, GLOBALTV dan MNC TV, serta iNews TV adalah Ketua Umum Partai PERINDO, yang mars-nya kerap kali kita dengar.
- Surya Paloh = Pemilik Media Goup yang menaungi Metro TV adalah Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
- Aburizal Bakrie = Petinggi Golkar sekaligus Pemilik Visi Media Asia (Viva Group), yang menaungi tvOne dan antv.
- dan seterusnya.
- KESIMPULAN
Dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya kosentrasi kepemilikan media yang berlebihan
dapat menyebabkan over-representasi
dari pandangan-pandangan politik, atau nilai-nilai tertentu yang disukai oleh
pemilik media yang dominan, baik atas dasar komersial ataupun ideologis. Dengan kata lain, individu pemilik media dengan
kekuatannya dapat menyebarkan pandangan politik tunggal yang dapat mengorbankan
orang lain. Konsentrasi kepemilikan adalah modal yang memungkinkan seseorang,
atau segelintir orang yang dengan kekuatan ekonomi (baca: uangnya) bisa
mengintervensi news room sebagai satu
ruang yang seharusnya independen dalam hal pemberitaan. Dengan kepemilikan
kapital tersebut, mereka cenderung menggunakannya untuk melakukan kontrol atas
aliran suatu informasi. Tentu, akan semakin mengkhawatirkan lagi, apabila
kecenderungan me-monopoli kepemilikan lembaga penyiaran dan isi siaran menjadi
oligopoli. Tentu akan sangat berbahaya sekali bagi demokrasi, karena media akan
mudah sekali digunakan oleh kelompok-kelompok tertentu demi meraih kepentingan agenda-agenda
politik dan bisnis mereka.
Disisi lain, Eriyanto (2001: 41-42) merinci
kelemahan wartawan sebagai kelas tersendiri, dan hubungannya dengan pemilik
modal adalah relasi kelas yang berbeda, bukan hubungan profesional. Oleh karena
itu, kerja wartawan di media penyiaran bukanlah diatur dalam proses dan
pembagian kerja, tetapi dari kontrol kesadaran kelas mereka dengan kelompok
elit. Hamid dan Budianto (2011: 58) menambahkan, kelemahan insan jurnalistik
elektronik itu adalah mereka dalam struktur perusahaan hanyalah seorang pegawai
biasa. Wartawan hanyalah “orang gajian” yang secara psikologis tidak akan
menang berdebat dengan orang yang menggajinya. Take it or leave it! Oleh karena itu, KPI punya
peran sentral untuk mencegah monopoli kepemilikan media, yang banyak ‘mudharat-nya’
bagi masyarakat. Sebab, pemberitaan bisa jadi tidak bebas lagi, muatannya pun kerap
memperhitungkan aspek pasar dan segi politis, yang kerap mempertaruhkan mutu
isi siaran di ranah public sphere.
Perkembangan media penyiaran di Indonesia secara
umum terlihat menggembirakan, namun itu bukan berarti aman dari berbagai PR
‘besar’ yang menanti. Adapun PR besar itu ialah: 1) Masih belum terpenuhinya
konten lokal 10% di lembaga penyiaran kita. Media penyiaran kita masih sangat
bersifat ‘Jakarta Sentris’, sehingga kontennya kerap mengabaikan keberagaman
kultur yang dimiliki daerah-daerah di Indonesia, terutama di Sumut; 2) Masih
banyak terjadinya pelanggaran isi siaran; serta 3) Masih kerap terjadi praktik
monopoli kepemilikan lembaga penyiaran. Dimana siaran lembaga penyiaran
cenderung menguntungkan kelompok tertentu, yang juga memiliki kedekatan politik
dengan penguasa atau pihak-pihak yang juga merupakan pelakudi bidang politik
tersebut.
Untuk itu, tampaknya lembaga penyiaran di Indonesia
umumnya dan di Sumatera Utara khususnya, harus kembali ke khittah-nya. Yaitu meletakkan hak warga negara sebagai fokus utama
sistem penyiaran di Indonesia sesuai dengan amanat konstitusi. Warga Negara
Indonesia berhak dilindungi oleh negara dari informasi yang merugikan, yang
mungkin muncul dalam konten media penyiaran kita. Selain itu, KPI juga harus
menjadi regulator media elektronik yang adil dan menempatkan frekuensi radio sebagai
milik publik, serta digunakan sebaik mungkin untuk kemakmuran seluruh warga
Indonesia.
Demikian pula,
peran serta masyarakat[1] juga sangat KPI harap dan
butuhkan, sebagaimana diatur pada Bab VI, Pasal 52 yang menyebutkan, “1) Setiap Warga
Negara Indonesia memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam berperan
serta mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional; 2) Organisasi nirlaba, lembaga swadaya
masyarakat, perguruan tinggi, dan kalangan pendidikan, dapat mengembangkan kegiatan
literasi dan/atau pemantauan lembaga penyiaran; 3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dapat mengajukan keberatan terhadap program dan/atau isi siaran yang
merugikan”. Artinya, mengawal penyiaran di Indonesia bukan hanya
tanggungjawab KPI, melainkan juga membutuhkan peran serta seluruh elemen bangsa
di dalamnya. Termasuk masyarakat dalam bentuk mekanisme pengaduan[2], sehingga dapat segera
ditindaklanjuti. Terimakasih.
[1]
Selama ini, masyarakat masih dianggap sebagai pihak yang pasif dalam
bidang penyiaran. Masyarakat lebih dianggap sebagai konsumen, dan bukan sebagai
warga yang memiliki hak-hak dasar atas informasi yang dikonsumsinya.
[2]
KPID-SU tetap membutuhkan partisipasi publik yang kuat dan langsung
dalam mengawasi jalannya penyiaran kita. Adapun masyarakat Sumatera Utara dapat
berpartisipasi lewat pengaduan atas tayangan yang
bermasalah melalui email resmi kpid.sumut@yahoo.com, nomor telpon (061) 4520625, atau bisa mendatangi langsung
kantor KPID Sumut di Jl. Adinegoro No. 7 Medan. Sudah menjadi kewajiban KPI
untuk mendengar dan menindaklanjuti pengaduan dari masyarakat, karena
masyarakat adalah pemilik sah frekuensi!
Komentar
Posting Komentar