INTROPEKSI DIRI DALAM BERMEDIA
Sumber: www.google.co.id. |
Kita perlu memformat ulang
tentang ‘kebiasaan-kebiasaan’ kita dalam bermedia. Seperti: Sampai selarut apa
kita bermedia sosial hanya untuk mencari tahu kabar hubungan sepasang artis
yang sedang trend? Sampai sejauhmana media sosial Instagram turut menentukan mode Anda
dalam berpakaian? Berpergian ataupun membeli tas bermerk keluaran terbaru?
Sampai sedalam apa media sosial tersebut ‘mengatur’ kehidupan Anda? Jika Anda
sudah mempertimbangkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, tentu Anda diharapkan
lebih bijak dalam menggunakan durasi bermedia sosial. Sehingga disatu sisi
media sosial tetap memuaskan Anda, namun disisi lain tidak membuat pekerjaan
Anda yang lain terbengkalai.
Atau kita secara pribadi memahami, bahwa konten
televisi secara umum lebih baik ketimbang media online terlebih lagi media sosial. Namun, kita juga menyadari bahwa
konten televisi masih memiliki cacat di sana-sini. Terkhusus terhadap
tayangan-tayangan yang masih bermuatan seks, kekerasan ataupun tayangan-tayangan
religi yang dapat dikatakan ‘membodohi publik’. Disatu sisi kita melontarkan
kritikan terhadap KPI untuk mencabut program-program tersebut, dan menggantinya
dengan program-program yang lebih berkualitas. Tapi, kebanyakan dari kita atau
saudara-saudara kita diluar sana masih bersifat tidak konsisten dengan
pendapatnya sendiri.
Contoh: Diam-diam kita mengagumi ‘Hotman Paris’ sang
pengacara kondang, yang program acaranya penuh dengan candaan ‘jorok’ yang
kerap melecehkan wanita sebagai warga kelas 2. Sekalipun tayangan bertajuk
‘Hotman Paris Show’ tersebut tayang pukul 22.00 wib, sesuai amanat Pedoman
Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) untuk klasifikasi program
dewasa. Atau disatu sisi kita mengecam keras tayangan-tayangan yang memuat
adegan kekerasan, namun disatu sisi kita masih candu terhadap tayangan
kekerasan UFC.
Begitupula halnya dengan tayangan sinetron religi,
yang kami anggap nyeleneh dan
mengarah pada kesyirikan. Dimana Tuhan telah menjelma kedalam diri sutradara,
sehingga sang sutradara dapat memberikan adzab ‘seheboh-hebohnya’, hingga menggelindingkan
gas elpiji kepada mayat yang notabene telah meninggal dunia. Sehingga, netizen pun berbondong-bondong membuat meme ‘ejekan’ sebagai bentuk satire atas munculnya tayangan semacam
ini. Namun, satire tinggal lah satire, sebab selama rating dan share tayangan ini tinggi, maka selama itu pula tayangan ini akan
terus berlanjut. Tentu kita berharap KPI melakukan upaya-upaya konkrit, seperti
pembinaan terus-menerus kepada Lembaga Penyiaran untuk menghasilkan
tayangan-tayangan yang berkualitas, namun tetap mendapatkan permintaan slot
iklan yang tinggi.
Komentar
Posting Komentar