Apa Itu Sinetron?
Sumber: google.co.id. |
Sinetron atau sinema elektronik menjadi primadona hiburan
masyarakat sejak kondisi perfilman nasional mengalami keterpurukan pada dekade
1990-an. Seiring booming industri
pertelevisian dan menjamurnya era selebriti instan bentukan televisi, sinetron
merajai program layar kaca. Pengertian sinetron sendiri, jika ditilik dari
konsep yang sederhana, bisa didefinisikan sebagai sandiwara bersambung yang
disiarkan oleh stasiun televisi. Di Indonesia, istilah ini pertama kali
dicetuskan oleh pengarang dan penulis skenario Arswendo Atmowiloto serta
Soemardjono (salah satu pendiri dan mantan pengajar Institut Kesenian Jakarta).
Jadi, penyebutan ‘sinetron’ sesungguhnya khas istilah Indonesia karena dalam
bahasa Inggris, sinetron disebut opera sabun (soap operas), sedangkan dalam bahasa Spanyol disebut telenovela (http://id.wikipedia.org/wiki/sinetron).
Dalam perkembangannya, format sinetron pun beragam,
dari sinetron serial, sinetron seri, sinetron lepas, sinetron miniseri, hingga
film televisi (misalnya, FTV yang popular di SCTV). Genre sinetron berkembang
dari drama, keluarga, komedi, laga, misteri, kolosal, dan sebagainya. Robert
Kolker membedakan secara tegas antara film (baca: sinetron) seri dengan film
serial. Ia menyebut serial sebagai programs with
an open narrative line that continues from one episode to another like soap
operas, sementara seri adalah programs
with a continuiting set of characters in somewhat different narrative
situations in each episode like situation comedies (Kolker, 2002: 214). Dengan
demikian, cerita sinetron serial berkelanjutan dari satu episode ke episode
berikutnya, sementara cerita sinetron seri berbeda tema setiap episodenya meski
memunculkan karakter yang sama.
Segmen psikografis penonton sinetron terbesar dari
anak-anak, dewasa, sampai orangtua. Dari segmen geografis, menyebar dari
wilayah pedesaan sampai perkotaan. Menurut survei yang pernah dilakukan oleh
beberapa lembaga survei dan litbang internal televisi swasta, remaja adalah
konsumen yang paling banyak menonton sinetron, disamping kalangan ibu rumah
tangga. Fenomena ini tidak mengherankan mengingat dua kategori penonton
tersebut paling banyak menghabiskan waktu luang didepan televisi. Oleh karena
itu, anak dan remaja menjadi konsen utama KPI untuk melindungi mereka dari
tayangan yang tidak menyehatkan.
Setidaknya, ada beberapa poin perlindungan anak
dalam P3SPS, yaitu:
- Kewajiban mengutamakan kepentingan anak dalam setiap program siaran, klasifikasi: Pasal 14 P3, Pasal 15 SPS;
- Perlindungan dari pornografi dan unsur seksualitas (cabul, adegan seks, cium bibir, eksploitasi tubuh), dan eksploitasi anak dalam iklan, lagu, video klip & tayangan lain: Pasal 36, 37, 18 SPS.
- Larangan adanya kekerasan, baik verbal (ungkapan kasar, cabul, mesum, vulgar dalam bahasa apapun) maupun visual: Pasal 36, 37 SPS; dan seterusnya.
Adapun beberapa penyakit ‘sinetron’ kita yang
kontraproduktif bagi sebuah karya seni. Ironisnya, praktik-praktik ini justru
kian mewabah. Jika dirunut secara sederhana, penyakit itu antara lain tampak
dari pola epigon (mengekor, jiplakan, episode yang dipanjang-panjangkan, sekuel
yang dipaksakan berlanjut, skenario monoton, adopsi mentah dari luar negeri,
menjual wajah tampan/cantik, berkedok religius meski sebenarnya mengarah pada
kesyirikan, memaksakan lagu hits menjadi tema/daya tarik sinetron, banyaknya
hal-hal klise yang ditampilkan, jam tayang yang cenderung seragam, menampilkan
unsur SARA, Jakarta sentris, bias gender, stereotip yang berlebihan, iklan yang
mendominasi durasi tayang, mengumbar makian, dan umpatan, eksploitasi tubuh
perempuan, kekerasan, sadistis, mistik, dan sebagainya.
*dikutip dari berbagai sumber, dengan beberapa penyesuaian.
Komentar
Posting Komentar