Teknik Interpersonal dalam Meningkatkan Literasi Media

Sumber: internet sehat (seri literasi digital)

Mulanya, mungkin kita dapat mempraktikkan teknik interpersonal kepada anak-anak. Sebagaimana kita ketahui, anak-anak adalah kelompok yang perlu mendapatkan perhatian khusus dalam menghadapi terpaan media, karena mereka masih berada pada tingkat perkembangan kogitif (struktural pengetahuan) dan pengalaman bermedia yang rendah, sehingga harus senantiasa dibimbing oleh orangtua dan/atau orang terdekatnya. Contoh: Dalam konteks tayangan televisi yang dapat memengaruhi pola pikir, sikap dan perbuatan penontonnya. Terkhusus, bagi anak-anak yang memang masih memiliki tingkat imitasi (peniruan) yang cukup tinggi, dan remaja yang memiliki tingkat kelabilan dalam proses pencarian jati diri. Sehingga, keduanya dalam kondisi psikologis umur seperti itu, dapat digolongkan rentan terhadap dampak negatif media yang belum tentu mampu mereka saring. Bahkan bagi mereka, konten media adalah sabda yang tidak perlu diragukan lagi kebenarannya, sehingga patut untuk ditiru.
Untuk itu, para orangtua harus senantiasa melindungi buah hatinya, sehingga tayangan yang ditonton tetap berada pada koridor yang aman. Dalam artian tayangan tersebut berkualitas dan memberikan manfaat. Bisa dalam bentuk tayangan yang menghibur, namun tetap memuat nilai-nilai pendidikan, motivasi, sikap percaya diri anak, mengandung nilai-nilai kerjasama, saling menghormati, cinta tanah air, kesederhanaan dan nilai-nilai positif lainnya. Bukan malah yang secara tidak langsung mengajarkan anak untuk saling mem-bully; memuat kata-kata bernada ejekan, kata-kata kotor/kasar; menonjolkan unsur kekerasan, adegan berbahaya; melanggar norma kesopanan; mengandung unsur horor, mistik, dan supranatural yang dapat berdampak secara langsung atau tidak terhadap tumbuh kembang mereka.
“…. isi hiburan tidak jelas dan asal joget. Yang penting bisa ketawa-ketawa. Belum lagi bila mereka menonton tayangan yang menggambarkan realitas sekolah[1] di televisi dipenuhi kisah-kisah ironis; dominasi percintaan remaja, kisah cinta guru dengan murid, guru kurang dihormati muridnya, perkelahian, malas belajar, gaya hidup hedon, budaya instan, perempuan menggunakan rok mini diatas lutut, berpakaian ketat, budaya alay di-booming-kan, dan lain-lain” (petikan opini Yuliandre Darwis, Ketua KPI Pusat dalam newsletter-nya).
Hasil kajian Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) pun turut merilis, bahwa mayoritas acara anak di televisi masih masuk dalam kategori ‘tidak aman’, yakni 59% dari 1.401 acara anak yang mereka analisis. Hasil YPMA ini menegaskan, tayangan anak yang memang aman buat mereka masih kalah banyak (newsletter KPI Pusatedisi November-Desember 2017). Untuk itu, para orangtua diharapkan mampu mendidik dan memberikan contoh tauladan yang baik bagi anak-anaknya. Mungkin, salah satu tayangan Upin dan Ipin di MNC TV dapat dikatakan sebagai salah satu tayangan yang mendidik, yang mengajarkan anak-anak untuk mau saling menghargai atas keberagaman yang ada. Baik itu menyangkut Suku, Agama, Ras dan Antar-Golongan (SARA). Namun, anak-anak yang menonton tayangan ini tetap harus mendapatkan bimbingan dari orangtuanya. Terutama pada adegan yang menampilkan Kak Sally; seorang laki-laki bernama asli ‘Bang Saleh’ yang bertingkah laku layaknya seorang perempuan. Sehingga, anak-anak tidak berperilaku seperti itu dalam kehidupan sehari-hari.
Berikut beberapa hasil evaluasi pendalaman Focus Group Discussion terkait tayangan kartun Upin dan Ipin di layar televisi kita, diantaranya:
Pertama, untuk indikator relevansi cerita: Tema cerita belum sesuai dengan budaya Indonesia.
Cerita dari segi kultural/pesan moral tidak sesuai dengan kondisi riil di Indonesia, akan tetapi dari segi imajinasinya sangat baik; dan Cerita kurang dekat dengan kultur Indonesia, karena merupakan produk luar yang kental dengan budaya asalnya.
Kedua, untuk indikator menghormati nilai dan norma sosial di masyarakat: Upin & Ipin masih kurang memuat nilai/norma yang dilihat dari sikap Upin & Ipin kepada kakeknya; Upin & Ipin diajarkan hidup dengan keberagaman, walaupun masih ada tokoh yang sedikit menganggu seperti uncle Mutu; dan Program Upin & Ipin diharapkan memotivasi Production House Indonesia untuk memproduksi program anak dengan menanamkan kearifan lokal, nilai dan norma yang diterima masyarakat (dikutip dari Hasil Survei Indeks Kualitas Program Siaran Televisi Periode 1 Januari – Maret Tahun 2018 KPI Pusat).
Perlindungan terhadap anak dan remaja jelas menjadi tanggungjawab primer para orangtua dari isi siaran yang menerpa mereka. Karena anak dan remaja merupakan aset masa depan bangsa, sebagaimana bunyi sebuah kata mutiara, “The future lies with the young” (masa depan suatu bangsa terletak di tangan pemuda). Pada intinya, melalui teknik interpersonal ini, para orangtua harus tetap mengontrol anak-anak mereka, sehingga anak-anak mereka hanya akan mengonsumsi tayangan yang sehat. Yaitu tayangan yang memberikan pencerahan, serta menuntun anak dan remaja untuk berlaku positif di lingkungannya.



[1] Penggambaran tentang lembaga pendidikan lebih lanjut diatur dalam Pasal 16 SPS.

Komentar

Postingan Populer