KEDEPANKAN MORAL DALAM PESAN MEDIA
Sumber: www.google.co.id |
Tangga moral berkaitan erat dengan sifat etis dari
suatu pesan media, seperti apakah pesan tersebut layak atau tidak layak
(berdasarkan perspektif pribadi kita) untuk ditampilkan ke khalayak ramai.
Contohnya: Baru-baru ini kita sangat menyesalkan salah satu pemberitaan di
suratkabar Waspada, pada tanggal 14 September
2018 yang berjudul “Bayi Bermata Satu Cuma Bertahan 7 Jam: Kasus Ke-7 di Dunia”,
lantaran memuat dengan detail foto fisik anak yang dimaksud, yang merupakan
anak ke-5 dari Suriyanti yang lahir di RSU Panyabungan,
Mandailing Natal, Kamis (13/9) dengan kondisi bermata satu.
Mulanya, kita pasti merasa ‘jijik’, sekaligus
‘prihatin’ dan tidak jarang mengait-ngaitkannya dengan fenomena kemunculan ‘Dajjal’. Padahal, belum tentu, karena
belum dilakukan pemeriksaan lebih lanjut tentang penyebab anak tersebut lahir
dalam keadaan demikian. Apakah karena obat-obatan atau juga akibat mercury, jika dikaitkan dengan pekerjaan
ayah sang bayi sebagai penambang liar, ataupun juga karena virus rubella tentu masih menjadi bola liar di
pikiran kita. Sudah seyogyanya, Waspada
menghormati perasaan orangtua yang melahirkan anak tersebut. Alangkah baiknya,
jika gambar tersebut ‘diblur’ ketika akan dipublikasikan.
Pun dalam Kode Etik Jurnalistik Pasal 8, sebagaimana
dikatakan Drs. Muhammad Syahrir, Mantan Ketua PWI Sumut, amat-sangat
bertentangan, karena dalam pasal itu disebutkan, “Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan
prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras,
warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa, serta tidak merendahkan martabat
orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani”. Artinya,
prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui
secara jelas, dan diskriminasi adalah pembedaan perlakuan. Namun, sampai
makalah ini dirampungkan kami tidak mendengar langkah apapun dari Dewan Pers terkait
pemberitaan ini.
Selain itu, kami juga menyesali terkait dengan
pemuatan nama orangtua dari bayi berjenis kelamin perempuan ini, yang hanya
mampu bertahan 7 jam sebab pukul 22.40 telah menghembuskan nafas terakhir. Bahkan,
Waspada menyebutkan alamat tinggal
orangtuanya secara terperinci, dengan redaksi sebagai berikut: “Bayi tersebut merupakan anak ke-5
pasangan suami istri yang tinggal di Kelurahan Kayu Jati, Kecamatan
Panyabungan. Nama ibu bayi tersebut bernama Suriyanti kondisinya sehat,
sedangkan bapak si bayi yang belum diketahui namanya menurut perawat sangat
syok. Pasangan suami istri ini merupakan pendatang asal Pulau Jawa, dan bekerja
sebagai penambang liar. Seyogyanya, wartawan yang menulis ataupun
redaktur yang mengedit pemberitaan ini untuk tidak menjelaskan identitas mereka
secara gamblang. Sehingga, tidak menjadi target celaan, hinaan ataupun bullying warga sekitar, dengan kadar
pengetahuan agama Islam yang minim, tentu akan sangat menyakitkan sekali bagi
mereka.
Atau contoh lainnya, ketika Anda sedang menonton
Kontes Dangdut Indonesia (KDI) di MNC TV.
Dalam tayangan tersebut memperlihatkan juri KDI, diantaranya penyanyi dangdut
Iis Dahlia yang mengusir Waode Sofia, peserta dari Bau-Bau, Sulawesi Tenggara.
Jika Anda menonton tayangan tersebut, mungkin akan muncul reaksi marah, sedih
atau tidak terima, karena Anda menilai program ini secara moral telah tercela,
dengan meremehkan penampilan seseorang hanya karena baju yang dikenakannya, dan
kemudian menghancurkan impiannya dengan cara mengusirnya dari ruang audisi
tersebut. Jika reaksi negatif semacam ini yang keluar, maka bisa jadi Anda
segera mengambil remot tv, mematikannya, atau segera pindah ke saluran yang
lain.
Namun ada beberapa anggapan yang mengatakan, bahwa
sebenarnya tayangan ini merupakan rekayasa. Beberapa diantaranya (sebagaimana
dikutip dari lampung.tribunnews.com)
yaitu: 1) Tayangan tersebut kembali dipublikasikan melalui video YouTube di akun resmi KDI sendiri.
Padahal, logikanya tidak mungkin sebuah akun resmi kembali mempertunjukkan
‘borok’ program acaranya, kalau bukan kecolongan. Malah langkah yang paling
logis adalah menghilangkan jejak video tersebut, sehingga tidak dapat dikonsumsi
kembali oleh publik; 2) Tayangan tersebut seolah merupakan
rangkaian cerita yang segaja di-setting agar
menarik untuk disimak, karena memuat banyak konflik didalamnya, namun kemudian
berakhir dengan satu solusi dimana Waode Sofia kembali bernyanyi dengan riasan
terbaiknya dan memukau dewan juri. Bahkan, ia membawakan lagu Iis Dahlia, yang
notabene paling ‘keras’ memarahinya.
Dikutip dari Detik, pihak KPAI
sangat menyayangkan proses audisi yang “dihias” dengan adegan perisakan ini.
Menurut Ketua KPAI Susanto, merisak anak karena penampilannya dihadapan jutaan
penonton di seluruh Indonesia merupakan sebuah pelanggaran. KPAI pun meminta
KPI untuk menindak tegas kejadian ini supanya nggak ada lagi audisi-audisi yang pakai gimmick yang berlebihan. Susanto juga menyebutkan, pencarian bakat
muda di dunia hiburan itu penting, tapi perilaku bully nggak bisa
ditoleransi.
Sementara itu, dilansir dari Sripoku,
pihak KPI – dalam hal ini adalah KPID Jakarta – mengaku kalau mereka menerima
banyak aduan terkait kontroversi Iis Dahlia ini. Namun, KPID Jakarta belum
memutuskan tindakan apa yang akan diambil. Untuk sementara, mereka menghimbau
kepada seluruh stasiun televisi untuk mengedepankan keramahan dan kesantunan
dalam berbagai program yang ditayangkan (www.feedme.id).
Adapun
pada pemberitaan yang lain, Iis Dahlia dikabarkan telah meminta maaf kepada
Waode Sofia dan KPI.
Komentar
Posting Komentar