Apa yang Bisa Dilakukan?
Sumber: internet sehat (seri literasi digital)
Setelah
mengetahui beberapa teknik interpersonal yang telah disebutkan di atas,
tampaknya kita juga perlu mengetahui tiga kunci lain untuk membantu orang lain
menjadi melek media. Kunci Pertama
adalah menjadi positif dan konstruktif. Jika kita ingin berhasil membantu orang
lain, kita harus memiliki minat terbaik dalam pikiran dan perbuatan Anda untuk
membantu mereka. Kunci Kedua
adalah menjadi seimbang, yaitu kita harus memberikan penilaian yang independen terhadap
suatu kualitas media. Jika ia baik, maka baiklah ia, dan jika buruk maka
buruklah ia. Artinya tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. Oleh karena itu, kami
kurang setuju dengan pernyataan segelintir orang yang menyatakan, “MATIKAN TV-MU!”, karena menganggap bahwa media
memiliki banyak isi dan dampak yang negatif. Padahal, menurut kami, jika kita
mau sedikit lebih terbuka, maka kita akan mengakui masih banyak pula konten-konten
media yang bermuatan positif. Seperti televisi sebagai media dokumentasi
budaya. Selain sebagai media penyedia sarana (informasi), keberadaan lembaga
penyiaran sesungguhnya menyimpan potensi sebagai media dokumentasi budaya atau
videografi budaya (cultural videography).
Kunci Ketiga
adalah melibatkan proses kognitif anak-anak dan membantu mereka menjadi lebih
baik dalam berpikir untuk diri mereka sendiri, sebagai bekal ketika mereka menghadapi
isi media kedepannya. Untuk itu, para orangtua perlu membantu mereka dalam
menganalisis setiap konten yang mereka tonton, sehingga kedepannya mereka dapat
lebih mandiri dalam memilih dan memilah antara konten yang bisa mereka terima,
dan/atau konten berbahaya yang harus senantiasa mereka hindari dan jauhi.
Contoh:
Banyak iklan makanan yang tidak sehat untuk anak-anak di Amerika Serikat (R.
Page & Brewster, 2007). Beberapa studi telah menemukan, bahwa makanan yang
kerap diiklankan dengan segmentasi anak-anak adalah makanan berkalori tinggi
dan rendah nutrisi, yang tentu mengarah pada jenis makanan yang tidak sehat dan
berpotensi menimbulkan berat badan (obesitas). Pada tahun 2005 misalnya,
setelah kritik terhadap industri makanan di Amerika Serikat terkait peran iklan
makanan terhadap obesitas anak-anak, maka para pemasang iklan di negeri Paman
Sam tersebut pun berjanji untuk mengurangi paparan iklan tersebut. Namun, bak
janji kampanye politisi di Indonesia, maka janji tinggallah janji, sebab dari
analisis konten yang dilakukan pada sebelum dan sesudah 1 tahun janji tersebut,
terbukti sedikit sekali perubahan yang ada dalam iklan makanan ‘tidak sehat’
yang dilihat anak-anak. Hal tersebut dinilai wajar dari aspek sebuah perusahaan
yang memang mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya (Warren, Wicks &
Wicks, 2007).
Jadi,
pada intinya akan lebih banyak makanan tidak sehat yang diiklankan kepada
publik. Sehingga, anak-anak berpotensi untuk mengulangi kesalahan yang sama,
dengan membeli jajanan tersebut. Untuk itu, para orangtua di Amerika harus
mengajarkan anak-anaknya memilih gaya hidup yang lebih sehat, memakan makanan
yang diolah di rumah dan mengurangi ‘jajan’. Jika tidak, maka anak-anak di
Amerika akan berpotensi mengidap penyakit obesitas (kelebihan berat badan) di
usia yang masih sangat belia. Data Warren et.
al (2007) menunjukkan lebih dari tiga kali lipat anak-anak di Amerika
mengalami obesitas selama 30 tahun terakhir. Di Indonesia sendiri, iklan-iklan
‘jajanan’ tersebut kerap membuat anak-anak tidak nafsu makan terhadap makanan
‘rumahan’ yang notabene bergizi, serta memenuhi syarat 4 sehat 5 sempurna.
Komentar
Posting Komentar